Kejadian memalukan itu berakhir begitu saja tanpa tahu lebih jelas, siapa lelaki yang telah mengungkung Sena pada suatu malam saat dia mabuk parah.
Dia sempat tahu siapa nama lelaki yang telah membawanya ke kamar hotel waktu itu. Kalau tidak salah, namanya Vernalt. Tapi, dia bahkan tak tahu persisnya karena pihak hotel hanya bisa memberikan keterangan dengan nama Vernalt saja.
Dibuat tenang, dia memang tenang karena bahkan sudah tiga bulan berlalu, Scenasia tak juga hamil. Lalu di buat tak tenang, ya memang sama sekali tak tenang. Bisa-bisanya dia dengan mudahnya menjadi jalang hanya karena mabuk, ditambah dengan feromon menggoda yang lebih memabukkan dari alkohol yang telah ia tenggak saat itu.
tapi sudahlah! Masa bodoh dengan hal itu. Toh, di negara ini juga bukan hal yang tabu melakukan seks dengan sembarang orang. Yang jelas, ia harus rutin mengontrol rahimnya, juga memeriksakan lagi dirinya. Jaga-jaga, jangan sampai dia kedapatan penyakit seks menular setelah itu, meski sampai hari ini dia bahkan sama sekali tidak melakukan hubungan intim lagi.
Meninggalkan semua itu, kini hari-hari Scenasia tengah dirundung sebuah kelabu karena masalah kesehatan ayahnya yang makin hari makin drastis saja turunnya.
Seingat Sena, tak ada yang terasa berat sekali dalam hidupnya selama 24 tahun ini. Dia lahir di tengah keluarga yang hangat dan harmonis kendati dia punya dua adik yang jarak usianya sangat berbeda jauh. Yakni 18 dan 20 tahun. Adik pertamanya baru berusia enam tahun, perempuan—Lily, namanya. Dan, adik keduanya baru berusia empat tahun, laki-laki dengan sepasang pipi gembil menggemaskan—Geska, namanya.
Bukan masalah bagi Sena kendati jaraknya memang cukup membuatnya tercengang saat ibunya tahu hamil dan melahirkan adik-adiknya. Dia tak bahagia, juga tak sedih. Biasa saja, seolah sudah takdirnya bagi kedua adiknya itu lahir saat dirinya sudah menginjak usia matang.
Namun, rasa tidak berat dalam menjalani hidup itu seketika sirna ketika tiba-tiba ayahnya dinyatakan sakit parah dan harus istirahat total dan menjalani serangkaian pengobatan dari rumah sakit.
Sena tak percaya bahkan merasa tak siap. Bukan masalah dia yang harus menjadi sosok tulang punggung setelah ini. Karena bahkan sebelum lulus kuliah. Dia sudah bekerja di sebuah kantor hukum kenamaan di Swiss dengan gaji yang cukup. Tapi tak percaya dan tak siapnya adalah kenapa sakit ayahnya itu seperti dipercepat saja datangnya.
Kemarin ayahnya masih terlihat baik-baik saja, membantu ibunya menjalankan bisnis keluarga. Yakni satu toko bunga dan satu kedai kopi. Lalu sekarang, ia hanya bisa melihat ayahnya terbaring lemah dengan banyaknya peralatan medis yang menempel di tubuhnya.
Dari hari ke hari setelah ayahnya dinyatakan sakit. Kondisi lelaki itu makin turun dan turun. Sena sampai tak bisa memberi tanggapan apa pun perihal keadaan ayahnya. Dia dan ibunya hanya bisa diam karena terkejut.
"Bagaimana kabar ayahmu, Sen?" Satu tanya membuyarkan lamunan sena setelah ia menutup toko bunga yang ia buka sehabis pulang kerja sore tadi.
"Tidak tahu, Jim. Makin hari makin turun saja," lirih Scenasia. Iya, itu adalah Jimmy yang bertanya. Lelaki yang tengah menyandarkan tubuhnya pada badan mobil untuk menjemputnya malam itu.
"Tidak ke rumah sakit?" Sambung Jimmy dan Sena menggeleng. "Ayo ikut aku. Tidak masalah jika hanya satu atau dua tegukan saja, bukan?" Sambung lelaki itu lagi.
Sena mengerti maksudnya. Ya, mungkin malam ini akan ia habiskan dengan menenggak satu atau dua tegukan alkohol di bar langganan mereka. Bukannya ia tengah bersenang-senang atas keadaan ayahnya. Tapi, dia juga butuh pengalihan dari penat isi otaknya. Tentang pekerjaannya, tentang keadaan ayahnya dan tentang toko bunga yang tetap harus beroperasi. Jika soal kedai kopi, kedai itu dipegang oleh saudara dari keluarga ayah. Jadi, dia tak terlalu memikirkan hal itu.
Setelah mengangguk. Keduanya segera membelah jalanan kota yang rasanya tak pernah sepi. Sena sepenuhnya membuang muka ke arah jendela samping sisi kanan sedang sahabatnya itu hanya diam dengan mata yang awas pada jalanan di depannya.
Tak butuh waktu lama bagi Sena dan Jimmy untuk sampai di bar langganan mereka. Di Swiss itu, tidak ada bar dengan tingkatan kelas bawah dan bar elite. Semuanya dimulai dari bar mewah kendati yang datang hanya mampu membeli segelas koktail paling murah sekalipun.
Minum kali ini. Dia tak akan lagi sampai kelewatan seperti sebelumnya. Dia harus bisa mengendalikan dirinya lagi dan memastikan saja, jika Jimmy akan terus ada di sisinya sampai akhirnya mereka memutuskan untuk pulang.
Sayangnya, baru juga satu gelas pendek yang ia tenggak. Dia mendapat kabar mengejutkan dari ibunya jika ayahnya sudah meninggal.
Sialnya, dia bahkan tak mendengar dan tak merasakan getaran pada ponselnya saat ibunya yang mencoba menghubunginya selama berkali-kali itu.
saat Scenasia memberitahu Jimmy di antara bisingnya suara kelab. Keduanya segera bergegas untuk keluar dar bangunan.
Sialnya lagi, karena terburu-buru dengan pikiran yang kalut. Scenasia kembali menabrak satu tubuh seperti sebelumnya.
Satu ingatan Scenasia itu seolah ditarik paksa pada beberapa bulan yang lalu ketika kesadarannya sudah menipis.
Parfum dan feromon yang tak asing seperti saat itu. Ia segera mendongak dan memastikan siapa yang ia tabrak.
Dia terdiam beberapa detik lamanya dan tersadar jika itu bukan lelaki yang sama seperti yang telah ia tubruk waktu itu jika dikaitkan lagi dengan sisa ingatannya.
Dia meminta maaf dengan cepat, namun langkahnya dicekal oleh jemari panjang persis di bagian lengannya.
Ada gurat penasaran yang Scenasia tangkap dari wajah lelaki itu. Dan beruntungnya ada Jimmy yang menengahi saat dia berontak melepas begitu saja jemari panjang itu dengan seketika.
Jimmy tengah bernegosiasi sekaligus meminta maaf lagi perihal jalan Scenasia yang kurang benar baru saja.
"Siapa namanya?" malah tanya Si lelaki.
"D-dia? Scenasia," jawab Jimmy setengah meninggi nada bicaranya karena dalam ruangan itu benar-benar bising. Setelahnya, Jimmy segera mengacungkan jempolnya pada Si lelaki dan segera mengambil langkah lebarnya guna menyusul Scenasia yang pasti sudah ada di depan mobilnya yang terparkir begitu saja di bahu jalan.
"Tenang, Babe! Aku tahu ini mengejutkan sekali untukmu," ujar Jimmy kala ia sudah duduk persis di sisi Scenasia di balik kemudi mobil.
Sedang wanita itu hanya mampu diam sembari meremas jari-jemarinya dengan wajah paniknya.
Perjalanan setengah jam itu terasa bak berpuluh jam lamanya bagi Scenasia. Sampai akhirnya dia menyaksikan sendiri tubuh ayahnya sudah kaku dan sudah akan dirias untuk dimasukkan ke dalam peti.
Scenasia sedih. Tapi ia tak bisa menangis. Sejujurnya, daripada sedih. Dia itu lebih merasa pada terkejut. Bagaimana bisa ayahnya meninggal dengan secepat ini.
Dia bahkan tak sempat mengucapkan salam perpisahan dengan ayahnya.
Selama proses persiapan pemakaman ayahnya. Scenasia hanya banyak diam dengan tatapan kosong. Termasuk tetap diam dengan tatapan kosong ketika peti ayahnya telah dikubur dengan rapi di bawah sana.
Dia hanya berharap jika semua ini hanya lah mimpi.
Sayangnya, tidak. Semua memang nyata. Sampai-sampai dia tak sempat untuk membuatnya menjadi sadar, karena terlalu cepat bagi dirinya.
Bahkan untuk Jimmy sendiri yang terus mengikuti proses pemakaman itu. Dia sampai dibuat bingung. Bukan bingung dengan meninggalnya ayah sahabatnya ini. Melainkan dengan reaksi diam Sena.
Bagaimana seorang Scenasia yang teramat dekat dengan ayahnya selama ini, hanya bisa diam bahkan saat peti bercat putih itu telah sempurna dikubur dengan tanah.
"Aku tahu jika kau pasti tidak baik-baik saja, 'kan, Sen?" coba pastikan Jimmy.
Scenasia mengangguk dengan tatapan kosongnya.
"Mimpi?" balik tanya wanita itu setelahnya dengan tatap meminta sebuah kepastian pada jimnya.
"Bukan," jawab Jimmy dengan cepat sembari menggeleng kepala.
"Oh,"
Hah?! Oh?! Maksudnya, oh?!
Jawaban macam apa itu! Jimmy sampai tak percaya juga ikut panik dengan sahabatnya sendiri saat ini.
Tidak! Tidak! Scenasia hanya sedang terkejut saja karena kematian ayahnya. wanita itu pasti akan baik-baik saja setelah beberapa waktu nanti.
Ya, Jimmy yakin itu!