"Apa?" Ayu Lesmana tertegun.
Sigit Santoso lalu tertawa, "Jangan khawatir, aku tidak akan melakukannya."
Berapa banyak cara untuk membuat orang mati? Melakukannya sendiri adalah cara yang paling tidak masuk akal. Sigit Santoso menyipitkan matanya, ada cahaya yang bersinar di mata sipitnya.
"Tidak! Sigit Santoso, apa yang kamu bicarakan." Ayu Lesmana bereaksi, jadi sekarang Sigit Santoso merasa bahwa Ayu hanya mengambil inisiatif untuk mendekatinya karena khawatir dia akan bertindak yang tidak-tidak pada Rangga Perdana.
"Aku tidak, aku tidak suka Rangga Perdana! Aku hanya tidak ingin kamu nanti menyusahkan dirimu sendiri Sigit Santoso ..."
Sigit Santoso memandang ke arah Ayu Lesmana, "Benarkah?"
"Aku mengatakan yang sebenarnya Sigit Santoso, aku mau menikah denganmu!" Ayu Lesmana meraih lengan bajunya dengan erat dan menatapnya dengan penuh rasa.
Hati Sigit Santoso melonjak dan melihat tangan Ayu yang halus dan putih, tanpa sadar ujung jarinya dengan hati-hati menyentuhnya.
Ayu Lesmana masih ingin menjelaskan, tetapi suara Teddy Lesmana tiba-tiba terdengar dari luar.
"Kakak ipar!" Teddy Lesmana berteriak lalu membuka pintu kursi belakang.
Kata-kata Ayu Lesmana yang hendak diucapkan tadi ditelan lagi.
"Sigit Santoso, kenapa kamu ada di sini?" Wijaya Lesmana terkejut saat melihat Sigit Santoso dan pada saat yang sama dia juga merasa sedikit malu. Bagaimanapun, mereka telah menolak lamaran keluarganya terakhir kali.
Sigit Santoso terlihat sangat sopan terhadap orang yang lebih tua dan mengangguk, "Om Wijaya, aku baru pulang dari barak dan kebetulan saja lewat."
Ayu Lesmana menghela nafas..
Keluarga Sigit Santoso tinggal di kota dan pulang tidak seharusnya lewat desa ini, jadi cara dia berbohong benar-benar buruk dan tidak tahan dengan pengawasan, hanya saja kepercayaan dirinya tidak berubah, sama seperti biasanya.
Dia bisa berbicara omong kosong dengan serius.
Sigit Santoso lalu mengemudikan mobil ke rumah Ayu Lesmana. Dalam perjalanan, Wijaya Lesmana sesekali mengobrol dengan Sigit Santoso tentang rutinitas sehari-harinya. Sigit Santoso menjawab dengan sopan, tidak sombong sama sekali.
Mobil akhirnya sampai dan berhenti di depan rumah Ayu Lesmana, dan Yati Wulandari keluar dari rumah ketika dia mendengar suara mobil berhenti didepan rumah. Dan terkejut saat melihat Sigit Santoso yang mengemudikan mobil itu.
"Sigit Santoso, kenapa kamu di sini? Apa kamu sudah makan?" Yati Wulandari mencoba basa-basi ketika bertemu dengannya.
"Sudah tante, tadi saya kebetulan lewat dan bertemu Ayu di jalan, jadi saya mengantarnya pulang. Tapi ini sudah larut, jadi saya akan kembali dulu." Kata Sigit Santoso, lalu berkata ke Teddy Lesmana, "Teddy, ambil tas belakangnya."
Wijaya Lesmana mendengar hal itu begitu dia keluar dari mobil, dan dengan tidak senang bertanya, "Sigit Santoso, kamu membeli sesuatu?"
"Saya tadi baru saja membelinya, tidak mahal kok." Sigit Santoso menjelaskan.
"Maaf tapi kami tidak bisa menerimanya, Yati kembalikan tas itu." Wijaya Lesmana meminta Yati Wulandari untuk tidak menerimanya.
Sigit Santoso mengerutkan kening, dia tidak menyangka bahwa Wijaya Lesmana tidak mau menerima hadiah itu. Yang artinya mereka tidak setuju.
Ayu Lesmana yang melihat situasi itu langsung mengerti dalam sekejap, ketika keluarga Sigit Santoso pertama kali datang untuk melamarnya, dia ribut dan dan menolak, sehingga membuat keluarganya tidak setuju.
"Ayah!" Kata Ayu dengan sedikit batuk, "Dia sudah membawa hadiah, bukankah lebih baik tidak menolaknya?"
Wijaya Lesmana tertegun, "Benarkah?"
Ayu Lesmana kemudian melanjutkan, "Bukankah seharusnya kita menerimanya saja, setelah semua yang terjadi kemarin."
Setelah mengatakan itu, wajah Ayu menjadi sedikit memerah.
Baik Wijaya Lesmana maupun Yati Wulandari tertegun, dan Sigit Santoso juga sedikit bingung. Tapi Teddy Lesmana yang melompat keluar dari mobil sudah membawa hadiah itu.
Lalu berteriak dengan senang, "Terima kasih kakak ipar!"
Sigit Santoso meremas setir mobil, matanya terpaku pada Ayu Lesmana.
Dulu, Ayu Lesmana tidak pernah mengakui identitasnya sebagai tunangan, setiap kali ada yang mengingatkannya dia akan menangis.
"Apakah kamu tidak ingin mampir dulu?" Ayu Lesmana mendekati pintu mobil dan menatapnya.
Sigit Santoso menyipitkan matanya sedikit dan menarik pandangannya, "Tidak, kamu beristirahat saja dulu."
Ayu Lesmana menutup mulutnya. Lalu keluar dari mobil dan menahan pintu mobil dalam keadaan bingung untuk beberapa saat dan melihat bahwa Sigit Santoso, benar-benar tidak punya hal lain untuk dikatakan kepadanya. Ayu Lesmana lalu dengan pasrah menutup pintu mobil dan berkata, "Ya sudah, pergi!"
Dan dengan sekejap, pintu mobil menutup.
"Eh, Sigit Santoso, mampirlah dulu sebentar." Yati Wulandari memanggilnya.
Tapi Sigit Santoso masih menolak, dan dengan sopan pergi.
Ayu Lesmana dalam suasana hati yang campur aduk melihat mobil pergi. Dia merasa bahwa pria seperti Sigit Santoso tidak tahu bagaimana caranya berkata-kata manis, tetapi Ayu juga bisa membayangkan kenapa dia menolak Sigit Santoso pada awalnya, dan membuatnya mengambil inisiatif sekarang dan membuat Sigit Santoso merasa bahwa dia punya rencana.
"Ayu, ada apa denganmu?" Yati Wulandari memanggilnya.
Ayu Lesmana terkejut, "Ada apa?"
"Bagaimana kamu bisa menerima hadiah dari Sigit Santoso, sedangkan kamu tidak menyukainya?" Yati Wulandari merasa meskipun keluarga mereka miskin, mereka tidak boleh menerima hal-hal seperti ini. Tidak akan pernah mau.
Ayu Lesmana sedikit terkejut ketika dia mendengar kata-kata itu lalu menjawab, "Bu, aku tidak menyukainya sebelumnya, tapi aku menyukainya sekarang."
Yati Wulandari memandang Ayu dengan curiga, jelas tidak mempercayainya.
Ayu Lesmana tidak mau menjelaskan lebih panjang, "Aku akan tidur duluan karena akan pergi ke sekolah besok."
Ayu Lesmana kemudian masuk ke kamar dan langsung berbaring di tempat tidur. Tapi masih memikirkan tentang Sigit Santoso dan tidak bisa menurunkannya, sedangkan dia akan pergi ke kelas besok, hidup terasa sangat sulit baginya saat itu.
Dalam kehidupan sebelumnya, nilai sekolahnya tidak bagus dan dia tidak menyentuh buku selama lebih dari sepuluh tahun. Membuat pikirannya seakan meledak ketika memikirkan itu. Mata pelajaran yang mengandalkan ingatan baik-baik saja karena ingatannya memang cukup baik, tetapi menurutnya matematika terlalu membosankan.
Alangkah baiknya jika Sigit Santoso berlibur dan mengajarinya matematika, karena Sigit Santoso bisa dibilang berprestasi di bidang matematika, dia adalah seorang siswa yang masuk akademi militer karena hal itu. Ayu Lesmana berpikir dengan linglung sampai akhirnya tidak tahu bagaimana dia tertidur.
Keesokan paginya, dia bersiap berangkat ke sekolah di pagi hari.
Sekolahnya adalah sekolah menengah pertama di sebuah kota kecil, hampir satu jam jauhnya dari rumah. Dia harus berangkat jam enam pagi untuk mengejar kelasnya.
Ayu Lesmana berjalan ke pintu masuk desa dan melihat sebuah jip militer diparkir di sana.
Mata Ayu Lesmana langsung berbinar dan mulai berlari, "Sigit Santoso..."
Jendela pintu mobil tiba-tiba diturunkan, "Ayu! Pagi sekali sudah ke sekolah." Wajah Widya Perdana tiba-tiba muncul dari jendela mobil itu.
Ayu Lesmana merasa tercekik.
Pintu kursi belakang mobil terbuka dan Sigit Santoso mengerutkan kening dan menatapnya, "Masuk ke dalam mobil."
Ayu Lesmana setengah menyipit ke arah Widya Perdana, "Mengapa kamu di dalam mobil?"
Widya Perdana mengernyitkan dahinya dengan ekspresi sedih, "Kakak Sigit Santoso ada di sini ketika aku keluar. Jadi kakak Sigit Santoso dengan ramah mengizinkanku masuk ke dalam mobil dan akan mengantarkan aku ke sekolah."
Sigit Santoso merasa karena dia dan Ayu Lesmana adalah teman baik, dan juga saling kenal. Jadi tidak masalah jika menawarkan untuk mengantar ke sekolah.
"Mengantarmu ke sekolah?"