"Tentu saja tidak!" Ayu Lesmana menyipitkan matanya, memang kejadian itu karena Rangga Perdana menjebaknya. Dia tidak hanya mencuri, tetapi juga sudah merusak banyak hal lain di kehidupan sebelumnya, dan Ayu merasa harus membetulkan semuanya satu per satu.
Dia telah terbaring di ranjang rumah sakit selama lima belas tahun, tapi bagaimana dia bisa melunasinya dalam semalam.
Melihat ekspresi Ayu Lesmana, Sigit Santoso mengangkat alisnya dengan heran.
_ _ _ _ _ _
"Jadi kamu kembali karena hal itu?" Ayu Lesmana mengangkat matanya dan menatap Sigit Santoso.
Sigit Santoso tidak berkata apa-apa.
Setelah itu Ayu Lesmana meraih celananya dengan ujung jarinya dan berpikir, di kehidupan sebelumnya, Sigit Santoso juga kembali karena kejadian itu. Dia khawatir tentang kejadian itu dan ingin membantu Ayu,
Tetapi Ayu pikir Sigit tidak akan kembali di kehidupan yang sekarang. Karena dia tidak datang lebih awal malam itu.
Tapi Sigit Santoso tidak bertanya tentang siapa yang meminta Ayu pergi ke bawah pohon beringin besar malam itu.
Sigit Santoso menatap mata gadis itu dengan menyedihkan. Dia mengulurkan tangannya, matanya semakin dalam menatap, "Ayu Lesmana, apa yang kamu maksud dengan pacar yang baru saja kamu katakan?"
Ayu Lesmana merasa sedikit gugup dan tidak nyaman, dia menggigit bibirnya, "Hanya... tidak sengaja."
Sigit Santoso menatapnya, fitur wajahnya yang dalam terlihat sangat tampan. Ayu Lesmana dengan cepat membungkuk dan menciumnya di bibir.
Sigit Santoso tercengang, tangan yang memegang bagian belakang lehernya tiba-tiba menguat.
Ciuman lembut gadis itu membawa aroma samar, yang hampir mempengaruhi isi kepalanya.
"… Sigit Santoso, aku harus pergi ke kelas sekarang." Ayu Lesmana merasakan nafas panas di tubuhnya dan keinginan untuk berhubungan lebih jauh seketika muncul. Dia buru-buru meneriakkan kata-kata itu dan membuat gerakan orang di depannya berhenti seketika.
Nafas berat terdengar di telinga Ayu Lesmana.
"Ayu Lesmana, ingat apa yang kamu katakan?" Suara dominan Sigit Santoso keluar dengan tegas.
Sekarang dia sudah setuju, jadi jangan pernah berpikir untuk menyesalinya lagi.
Gerakan pria yang memeluknya itu aneh, tetapi Ayu Lesmana merasa batu besar yang ada di hatinya tiba-tiba mengendur.
Dia berkata dan bertingkah seperti bayi dengan suara pelan, "Ingat, ingat."
_ _ _ _ _ _
Widya Perdana melangkah menjauh setelah keluar dari mobil dan tiba-tiba seseorang memanggilnya di belakangnya.
Widya! Widya! "Anjani berlari mengejar dan meraih tangan Widya Perdana.
Widya Perdana mengerutkan kening, sedikit rasa jijik muncul di matanya, tetapi lalu dibuangnya ekspresi itu dan digantikan oleh senyuman manis, "Anjani, selamat pagi. Bagaimana liburanmu?"
Anjani mengangguk dengan cuek. Setelah menjawab pertanyaan itu, dia mengedipkan matanya ke arah Widya dan bertanya penasaran, "Widya , apakah mobil itu milik keluargamu?"
Widya Perdana terkejut, "Apakah kamu melihatnya?"
"Ya! Widya, aku tidak Berpikir bahwa keluargamu begitu kaya, dan kamu punya mobil, jadi aku iri padamu." Mata Anjani penuh iri.
Meskipun orang tuanya bekerja cukup baik dan bisa memenuhi cukup makan setiap hari, Widya biasanya hanya menggunakan sepeda dan tidak pernah menyentuh mobil.
Mata Widya Perdana sedikit mengelak dan dia tersenyum kaku, "Apa yang membuatmu begitu iri dengan itu."
"Aku tahu mobil itu adalah mobil tentara militer." Karena hubungan ayahnya, jadi Anjani cukup paham dengan hal semacam itu.
Widya Perdana segera menggelengkan kepalanya: "Itu hanya mobil biasa."
"Benarkah?" Mata Anjani sedikit curiga, tetapi segera menggelengkan kepalanya, "Tapi itu tetap saja masih luar biasa, Widya, aku benar-benar iri padamu."
Widya Perdana tersenyum dan tidak menjawab untuk menjelaskan, sambil memegang tas sekolahnya dengan kedua tangan.
Hati Widya bahagia membayangkan itu "Anjani bisa melihat dengan baik, mobil itu memang terlihat bagus, wajar saja kalau dia iri! Dan pria seperti Sigit Santoso juga harusnya cocok denganku. Bukan dengan wanita bodoh seperti Ayu Lesmana!"
Widya Perdana tidak tahu apa yang salah dengan Ayu Lesmana. Tapi hari ini, dia benar-benar marah padanya. Jika bukan karena Sigit Santoso, Widya pasti sudah berduaan dengannya sekarang.
Dan kakaknya kemarin memberitahunya bahwa Ayu Lesmana berani menjebaknya, dan membuat ibunya hampir saja diperkosa oleh seorang pria, dan dilihat oleh orang banyak. Sungguh memalukan.
Untungnya, tidak banyak orang di desa mereka yang bersekolah di sekolah ini. Kalau tidak, Widya jelas tidak akan mau datang ke sekolah.
"Widya Perdana, di mana Ayu Lesmana? Apakah dia sudah datang di sini?" Begitu Widya Perdana berjalan ke pintu kelas, Bagas dari kelas berikutnya menghentikannya.
Mata Widya Perdana berkedip-kedip, karena Ayu Lesmana berani menuduh Bagas saat kejadian itu dan sekarang Bagas pasti tidak akan membiarkan Ayu Lesmana pergi. Widya Perdana mengangguk, "Dia ada di belakang."
Bagas mendengus dingin, "Gadis sialan, aku akan memberinya pelajaran hari ini."
Seseorang lalu bertanya, "Bagas, apa yang terjadi dengan Ayu Lesmana?"
"Gadis itu mencuri sesuatu dan menuduhku yang melakukannya," Bagas mencibir.
"Ah, Ayu Lesmana mencuri sesuatu? Tidak mungkin!"
"Kenapa tidak? Jika kamu tidak percaya padaku, tanyakan saja pada Widya Perdana, kami berasal dari desa yang sama." Bagas berkata sambil menyeringai.
Widya Perdana menggertakkan gigi dan ingin memukul Bagas saat itu.
Semua orang memandang Widya Perdana dan Widya Perdana tersenyum, "Kita harus bersiap-siap untuk pelajaran, sebentar lagi guru akan datang." Meskipun kata-kata itu sepertinya menutupi Ayu Lesmana, Widya tidak membantah apa yang dikatakan Bagas soal itu.
Bagas mengumpat di depan pintu kelas untuk waktu yang lama, dan akhirnya pergi sebelum kelas dimulai.
Setelah Ayu Lesmana mengucapkan selamat tinggal pada Sigit Santoso, dia akhirnya masuk ke kelas. Tapi dia merasa bahwa suasana di kelas tidak nyaman.
Meskipun dia hampir melupakan sebagian besar teman sekelasnya, dia ingat bahwa dia tidak memiliki keinginan untuk berada di sekolah.
Satu-satunya keinginan nya mau ke datang sekolah adalah karena Rangga Perdana. Jadi tiba-tiba Ayu mendapat penghinaan dari seluruh kelas, yang agak tidak masuk akal.
Ayu Lesmana melirik ke arah Widya Perdana yang duduk di baris pertama, Widya Perdana memandangnya dengan sedih, seolah-olah dia telah melakukan sesuatu padanya.
Ayu Lesmana memutar matanya ke arah Widya dan berjalan langsung ke baris terakhir. Karena nilai buruknya di sekolah, dia duduk di baris terakhir sepanjang masa sekolah menengahnya.
Dia berjalan mendekat dan langsung duduk di bangku, lalu tiba-tiba perwakilan kelas berteriak di depan, "Ayu Lesmana, serahkan pekerjaan rumah!"
Ayu Lesmana merasa putus asa. Dia tidak bisa lepas dari rasa takutnya terhadap matematika. Lalu Ayu meletakkan tas sekolahnya, "Aku akan memberikannya padamu setelah belajar."
"Tapi semua orang sudah menyerahkan pekerjaan rumah matematika mereka." Jawab perwakilan kelas itu, sambil membetulkan kacamata di wajahnya.
Ayu Lesmana memiliki sedikit kesan tentang dia dan mengeluh, dia adalah tipe orang yang harus melapor kepada guru tentang hal-hal besar maupun kecil. Si kacamata kecil itu kerap disuruh guru.
Ayu Lesmana mengeluarkan buku matematika dari tasnya, "Benarkah?" Ayu lalu meletakkan buku matematika itu ke meja dalam sekejap dan semua orang di kelas terkejut.
Perwakilan kelas matematika itu bergidik dan mendorong kacamatanya dengan panik: "Ayu Lesmana, apa yang akan kamu lakukan?Jangan lakukan itu, tanganmu licin."
Ayu Lesmana tersenyum dan menyipitkan matanya, "Basuki, bagaimana kalau menunggu sebentar, aku akan memberikan punyaku sendiri nanti jika sudah selesai."
Basuki benar-benar tidak percaya bahwa yang lain bisa menyerahkan pekerjaan rumahnya sebelum pelajaran pagi itu di kelas dimulai. Tetapi tidak untuk Ayu Lesmana. Dan untuk beberapa saat mereka sempat beradu mulut di depan kelas.
Dan setelah itu Ayu berbalik kembali ke belakang dan menyeret bangkunya dengan marah sambil berkata emosi, "Terserah kamu!" lalu duduk kembali.