Edi Dewangga memukul meja dengan keras, "Ayu Lesmana! Berdiri!"
Ayu Lesmana terkejut dan berdiri dengan tercengang.
"Tolong beritahu saya, di mana mejamu?" Edi Dewangga langsung berbicara dengannya dalam bahasa Inggris.
Ayu Lesmana tidak bereaksi banyak, jadi dia menjawab dalam bahasa Inggris juga "Aku tidak tahu, mejaku dipindahkan oleh orang lain yang tidak dikenal tepat sebelum kelas tadi pagi."
_ _ _ _ _ _
Edi Dewangga sedikit terkejut, dia tahu bahwa nilai bahasa Inggris Ayu Lesmana adalah yang terbaik di kelasnya, tetapi dia tidak menyangka tingkat lisan Ayu Lesmana barusan tampaknya lebih baik darinya! Tidak ada kesalahan tata bahasa atau semacamnya.
Ketika dia belajar dengan seorang guru asing di perguruan tinggi dulu, bahasa lisan guru asing itu persis sama dengan Ayu Lesmana. Wajah Edi Dewangga menjadi pucat dan jari-jarinya gemetar, membuatnya sedikit bingung. Bahasa lisannya telah dikritik karena setengah tata bahasanya salah dan orang asing sebenarnya tidak dapat memahaminya.
Duduk di samping Ayu Lesmana adalah Damar, dia masih sedang berbaring di atas meja. Edi Dewangga yang tiba-tiba duduk lalu berdiri tegak dan menatap Ayu Lesmana dengan serius.
"Apakah tidak ada seorang pun di kelas yang melihat itu?" Nada bicara Edi Dewangga agak blak-blakan.
Ayu Lesmana menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu, mungkin karena teman sekelas yang lain tidak ada yang berteman dengannya."
Edi Dewangga berkata lagi, "Itu karena kehidupanmu terlalu berantakan."
Ayu Lesmana merasa guru itu sedang berbicara tentang Rangga Perdana. Semua orang di kantor sekolah tahu tentang hal itu.
Ayu Lesmana sedikit mengernyitkan keningnya.
Edi Dewangga melanjutkan, "Saya tidak melihat lulus tes lisan bahasa Inggris dengan baik akan membuat kamu tahu tentang cinta, selain cinta monyet. Saya rasa kamu tidak perlu melanjutkan sekolah lagi, cukup putus sekolah dan menikah dan punya bayi. Bukan begitu?"
Edi mengucapkan kalimat itu dengan bahasa indonesia biasa dan seluruh siswa kelas memahaminya.
Ayu Lesmana memandang Edi Dewangga dengan sedikit cuek, "Pak guru, aku sudah dewasa."
"Jadi kenapa?"
"Jadi ini bukan cinta monyet."
Ekspresi Edi Dewangga berubah dan dia hendak memarahi lagi. Tapi Ayu Lesmana segera menjawab, "Masih ada lagi! Nilai yang baik maupun buruk bukan berarti kamu bisa menyangkal apakah siswa masih memenuhi syarat untuk belajar atau tidak. Dan ujian tengah semester berikutnya, aku akan menjadi yang pertama di kelas, percaya atau tidak?"
Wajah Edi Dewangga memerah dan dengan tersenyum kecut mengambil kertas ujian Ayu Lesmana dari tumpuk kertas di meja, meremasnya menjadi bola dan melemparnya ke wajah Ayu Lesmana.
Ayu Lesmana menghindar sedikit ke samping dan bola kertas itu membentur dinding.
"Keluar dari sini!" Edi Dewangga mengarahkan jarinya ke wajah Ayu Lesmana.
Ayu Lesmana mencibir, melihat buku bahasa Inggris di tangannya dan melemparkannya ke luar jendela, "Bapak tidak bisa mengajar sebagai guru. Lagipula aku tidak perlu bapak untuk mengajariku, tapi bapak tidak berhak untuk mengusirku dari kelas."
Setelah Ayu Lesmana selesai berbicara, dia duduk dengan tegas.
Edi Dewangga berteriak didepan kelas dengan marah.
Semuanya diam, berpikir Ayu Lesmana sudah gila berani melawan guru.
Ayu Lesmana baru saja duduk dan Damar yang sedang berbaring di atas meja, dengan tenang menganggukkan dagunya, "Apakah kamu pernah ke Inggris?"
"Tidak." Ayu Lesmana membetulkan rambutnya, "Aku lahir disini."
Damar melirik lagi ke arahnya dan tersenyum dengan tenang, lalu membenamkan wajahnya lagi di lengannya diatas meja.
Melihat Damar tidur lagii, Ayu Lesmana mencoba mendorong lengan Damar, "Hey, aku ingin mendiskusikan sesuatu denganmu."
Damar tidak bergerak.
Ayu Lesmana berkata dengan percaya diri, "Mari kita bertaruh, siapa pun yang kalah dalam perebutan peringkat pertama dikelas akan mentraktir sarapan selama satu semester dan harus menuruti keinginannya."
Damar berbalik dan duduk tegak, seolah-olah mengerti maksudnya lalu memandangnya dengan tatapan bodoh.
"Berapa peringkat mu sekarang?"
Ayu Lesmana mengerutkan bibirnya, dan berkata dengan sedikit ragu "Mungkin ssepuluh dari bawah?"
Damar menatapnya dalam diam untuk waktu yang lama, "Oke setuju."
Ayu Lesmana terkejut, Damar tidak menyembunyikan dirinya kali ini. Karena jika tidak, Damar pasti akan menolaknya.
Setelah kelas selesai, Widya Perdana tidak datang padanya kali ini, dan seluruh kelas melihatnya menjauh dan mungkin mengira dia bodoh.
Ayu Lesmana juga tidak perlu repot-repot berurusan dengannya, lebih baik dia memanfaatkan waktu untuk membaca dan mengulas pelajaran.
_ _ _ _ _ _
Sigit Santoso berkendara kembali ke komplek rumahnya dan melihat beberapa anak kecil sedang bermain. Dia pun bermain-main dengan mereka sebentar sebelum memasuki halaman rumahnya. Di ruang tamu ada sofa kain dan meja berwarna putih dengan taplak renda dan vas bunga di atasnya. Dan musik opera sedang diputar di radio.
Ibunya, Dewi Sastro, mengenakan daster berwarna biru dan sedang duduk di sofa, bersenandung lembut di depan radio.
Sigit Santoso berjalan mendekat, mengangkat tangannya dan mematikan radio.
"Bu, kemana nenekku pergi?"
Dewi Sastro menyipitkan mata melihat Sigit datang, "Nenek pergi ke gunung untuk lari pagi dengan kakekmu."
Sigit Santoso mengangkat alisnya, "Pagi sekali."
"Nenek selalu bangun pukul lima pagi. Dia harus lari pagi lebih awal..." Dewi Sastro kemudian melanjutkan sebelum disela oleh putranya yang sedang menuangkan secangkir teh.
Sigit Santoso menggaruk rambutnya, "Tahukah ibu kalau aku pergi bertemu dengan Ayu Lesmana?"
Dewi Sastro sudah bisa menebak melalui ekspresinya.
Sigit Santoso tertawa.
Dewi Sastro melanjutkan, "Ngomong-ngomong, kalau kamu pergi mengunjungi Ayu, jangan bicara didepan kakekmu untuk saat ini."
Ibunya Sigit Santoso tahu kalau Sigit masih merindukan Ayu Lesmana.
"Iya aku mengerti." Sigit Santoso mengerutkan kening.
"Bu, apakah kamu tidak peduli padaku?" Tanya Sigit dengan malu-malu.
"Apa maksudmu aku peduli padamu? Apa? Apa kamu ingin tinggal dirumah dengan ibumu selamanya?" Dewi Sastro bertanya. "Aku rasa ayahmu tidak akan mau."
Sigit Santoso kemudian terdengar menyerah, "Aku juga tidak mau."
Sigit sangat sadar diri dan merasa tidak akan pernah beban untuk kedua orang tuanya.
"Berapa hari libur yang kamu ambil saat ini?" Dewi Sastro bertanya.
"Tiga hari."
Kemudian Dewi Sastro melanjutkan "Jangan ajak Ayu bertemu? Dia masih harus sekolah."
Ketika Sigit Santoso tiba-tiba memikirkan sesuatu, dia bersandar di sofa dan berkata, "Bu, aku...."
"Apa?"
"Kenapa ibu tidak membiarkan aku sekolah dulu?"
Tubuh Dewi Sastro menyamping memandangi anaknya sambil mengangkat tangannya menyentuh keningnya.
Sigit Santoso sedikit mundur.
Sigit Santoso tampak sangat bingung "Sekolah itu mahal?"
"Ya, ya, itu mahal. Sudah, tidak apa-apa kan? Menjadi tentara juga menyenangkan bukan?" Dewi Sastro mengangkat tangannya dan membelai rambut Sigit.
Sigit Santoso merasa ingin memberikan Ayu Lesmana sebuah hadiah untuknya sekolah, tapi dia tidak menyangka biaya sekolah akan semahal itu.
"Ngomong-ngomong, saat aku pergi menemui Ayu lagi, aku akan membawakannya beberapa hadiah." Kata Sigit Santoso santai.
Dewi Sastro berdiri dan menatap Sigit Santoso, "Coba ingat bagaimana pamanmu meminta maaf kepada bibi mu terakhir kali? Ayo? Cokelat? Sampanye? Mawar? Bahkan jika kamu tidak seromantis pamanmu, paling tidak kamu dapat mempelajari kalau romantis itu cukup mahal. Coba berpikir seperti ayahmu, ibu sampai sekarang masih menerima mawar yang diberikannya setiap hari. Berikan saja mawar padanya."
Dewi Sastro selesai berbicara lalu pergi meninggalkan Sigit sendiri di ruang tamu.