Entah kenapa membuat Gary sampai merasa lemah ketika melihat air mata yang terus mengalir deras dari pipi cantiknya sang istri. Padahal selama ini ia tidak pernah sampai merasa iba, namun sekarang Gary mencoba membohongi dirinya sendiri, untuk selalu berpikir bahwa itu hanyalah rasa kasihan, bukan sebuah rasa sayang yang pelan-pelan mulai datang.
Melihat kearah Kya yang sedang berganti pakaian, Gary pun melangkah masuk ke dalam kaam tersebut sembari ia bertanya. "Kamu ingin pergi ke mana?"
Membuat Kya menolah ke belakang, dan terus memakai pakaiannya, lalu ia menjawab. "Apa peduli mu, mas? Bukankah aku juga bisa pergi kemanapun yang aku mau tanpa harus mengatakan ke mana, kepadamu kan?"
Dengan keberaniannya untuk tinggi membuat Kya harus menahan kesabaran untuk tidak lagi menangis, di saat menyadari suaminya mendekat. Namun, sahutan dari Kya, justru membuat Gary merasa geram. Bahkan Gary sampai mendekat dengan langkah yang cepat.
"Hey, kamu tidak bisa menjawab seperti itu, Kya. Bagaimanapun persoalan tentang honeymoon kita belum beres, jadi kamu tidak bisa pergi dulu. Tuntaskan ke mana kita akan pergi karena Daddy akan terus bertanya kepadaku," paksa Gary dengan mencoba menahan istrinya.
"Aku sudah bilang untuk menyerahkan semua keputusan itu kepadamu, tapi aku mohon untuk kali ini saja jangan ada wanita lain di tengah-tengah honeymoon kita. Jadi, bisakah kamu berjanji padaku, Gary?" tanya Kya dengan menginginkan sebuah kepastian yang jelas, sampai-sampai ia menghentikan langkahnya untuk tidak pergi terlebih dahulu.
"Ya aku akan berjanji," sahut Gary dengan pelan. "Lagipula tidak mungkin aku mengajak Sera untuk berlibur karena tentu saja dia juga akan marah kalau seandainya tahu bahwa sekarang aku sudah menikah," lanjut batinnya.
"Baiklah kalau begitu aku akan putuskan semuanya padamu, dan tentukan saja ke mana kita akan pergi honeymoon. Tapi, sekarang aku harus pergi untuk mengunjungi makam papaku." Kya merasa sedikit tenang walaupun ia masih belum yakin dengan janji yang sudah diucapkan suaminya.
"Ya sudah aku bisa mengantarkan kamu ke sana." Dengan tiba-tiba Gary menawarkan bantuan, namun justru membuat Kya kebingungan dengan niat baik dari suaminya itu.
Dengan perlahan Kya menggelengkan kepalanya karena ia merasa tidak perlu untuk harus diantar, dan hanya bisa memilih untuk dapat pergi seorang diri.
"Tidak perlu, mas. Aku bisa pergi sendiri," sahut Kya dengan perlahan.
"Baiklah," jawab Gary tanpa adanya itikad baik untuk terus memaksa.
Lagi-lagi Kya tahu bahwa semua bantuan yang sedang suaminya tawarkan hanyalah sekedar basa-basi. Bahkan, ia juga paham jika Gary tidak ingin benar-benar mengantarkan dirinya pergi.
Tanpa lupa untuk berpamitan kepada suaminya, bahkan membuat Kya mengecup pelan tangannya Gary sebelum pergi. Melangkah pergi dengan cepat, tapi tiba-tiba saja Larissa menghentikan langkahnya sebelum ia sampai di depan pintu gerbang.
"Mau ke mana?" tanya Larissa dengan tatapan yang ketus.
"Aku ingin pergi ke makam ayahku, Larissa."
"Apa? Ke makam? Memangnya ini hari pemakaman ya sampai kamu harus ke sana segala? Sebaiknya sekarang kamu membantuku daripada harus buang-buang waktu karena besok aku akan pergi ke London, dan butuh membawa barang-barang yang banyak. Ditambah pelayan di rumah kita sedang berlibur, jadi tidak ada yang bisa membantuku sekarang." Dengan bersikap sedikit sombong tanpa bisa membuat Larissa menghargai keputusan dari kakak iparnya itu.
"Tapi, Larissa-"
"Ayolah, kakak ipar, jangan banyak tapi-tapian. Kamu harus membantuku sekarang, sebab tidak mungkin aku meminta bantuan pekerjaan wanita kepada kakakku—Gary," paksa Larissa dengan terus-terusan.
Akhirnya dengan terpaksa membuat Kya mengiyakan permintaan dari adik iparnya itu, walaupun ia harus menghembuskan nafasnya dengan perlahan.
"Baiklah," sahut Kya dengan kesabaran.
Mengikuti langkahnya Larissa untuk masuk ke dalam kamarnya, namun tanpa mereka sadari Gary sudah melihat semua tingkah laku dari adiknya itu.
Sebuah kekuatan membuat Kya untuk dapat bersabar walaupun ia merasa tidak tahan, namun karena sudah terpaksa akhirnya ia pun terbiasa. Dengan raut wajahnya yang datar membuat Kya terus mengemaskan semua barang-barang milik Larissa. Bahkan saat itu Larissa hanya berdiri sembari menghamburkan banyak pakaian yang belum tentu ia pakai.
"Ini juga kayaknya cocok deh. Ah sepertinya terlalu biasa." Larissa terus memilah mana pakaian yang cocok untuk ia pakai, dan sampai akhirnya ia hanya membawa beberapa gaun, dan selebihnya terpaksa dibereskan oleh Kya.
Membuat Kya hanya bisa pasrah, namun ia merasa jika sekarang sedang dikerjai oleh adik iparnya itu. Walaupun demikian, tidak membuat Kya melawan.
"Sebaiknya aku harus segera menyelesaikan semua ini agar nanti bisa mendatangi makamnya papa. Apalagi aku sudah lama tidak berkunjung," batinnya Kya.
Akhirnya semua pekerjaan telah selesai, dan Kya ke luar dengan tubuhnya yang merasa kelelahan, tapi ia tidak berani mengadu kepada Gary atas sikap buruk yang sudah Larissa lakukan.
"Terima kasih banyak, kakak ipar ku sayang," ucap Larissa sembari terkekeh pelan.
"Ya sama-sama."
"Emangnya enak dikerjain. Rasain, padahal rencana ku untuk pergi ke London itu Minggu depan bukan besok pagi," batinnya Larissa yang terus terkekeh geli sembari melangkah pergi.
Gary yang sudah sejak tadi mengetahui ulah buruk yang sedang adiknya perbuat, hingga membuat dia diam-diam menarik tangan adiknya itu, dan ia bawa ke halaman belakang.
"Larissa, kenapa kamu meminta Kya untuk melakukan pekerjaan seperti pelayan? Bagaimana jika seandainya Daddy tahu?" tanya Gary dengan menginginkan sebuah kejelasan yang pasti.
"Apa ini? Kakak sedang marah ya padaku? Memangnya kenapa jika aku meminta Kya untuk melakukan pekerjaan itu? Oh aku tahu sekarang, apa karena dia itu istrimu atau jangan-jangan kakak sudah menaruh rasa sayang dengannya, iya kan? Jujur saja padaku, kak." Larissa bertanya dengan cetus hingga membuat dirinya tidak takut dengan amarah dari kakak kandungnya itu.
"Hey, aku tidak sedang membahas soal rasa sayang, jadi jangan berpikir macam-macam. Walaupun Daddy memiliki dendam kepada keluarganya, tapi bukan berarti kamu bisa dengan seenaknya menjadikan dia seperti pelayan. Aku tidak terima hal itu, Larissa. Jadi, jangan pernah lagi meminta Kya untuk mengerjakan semua tugasmu karena itu adalah pekerjaan kamu sendiri," tegas Gary dengan penuh tekanan.
Larangan itu justru membuat Larissa sampai mengerutkan keningnya, tapi semenit kemudian, ia pun tertawa lepas tanpa ada rasa takut akan kemarahan dari kakaknya.
"Ya ampun, aku bahkan baru melihat kalau sekarang kakak perhatian dengan wanita itu? Ayolah, kakak, bukannya kamu juga sering bersikap kasar kepada istrimu itu? Lalu sekarang kenapa denganmu? Atau jangan-jangan memang benar ya?" tanya Larissa dengan terus ingin tahu kebenarannya. Bahkan ia mencoba melirik tajam.
"Kenapa diam, kak? Tidak ada jawaban atau memang takut salah ucap?" lanjutnya lagi.