Mencoba menolak, tapi selalu saja sang ayah menjadikan pekerjaan sebagai ancaman. Gary yang tidak ingin hidup susah bahkan tidak pernah hal itu terbayang sedikitpun dibenaknya. Dengan berati hati, Gary segera kembali memutarkan mobilnya untuk kembali pulang.
Melihat suasana yang tidak sependapat dengan keinginan mereka berdua, jelas-jelas terlihat Sera kembali kesal hingga wanita dengan sengaja membuang wajahnya kearah lain.
"Lagian kenapa sih Daddy kamu itu enggak suruh aja sama siapa buat jemput Larissa? Harus banget ya sama kita? Padahal jelas-jelas kita lagi jalan, tapi selalu aja diganggu. Aku itu capek kalau harus begini terus, Gary. Kamu bisa ngerasain gimana kesalnya aku kan? Udah tadi gara-gara Kya terus sekarang adik kamu. Padahal Larissa bisa pulang naik mobil taksi, enggak harus kamu yang jemput," ngomel Sera sampai membuat kepala Gary pusing mendengarnya.
Masih berusaha untuk tetap diam dan bersabar, Gary tidak ingin jika dia harus marah-marah karena hal itu akan membuat dirinya bisa kehilangan kendali akibat amarahnya, namun tetap saja Sera berusaha untuk melampiaskan amarahnya di saat orang lain lelah untuk terus mendengar setiap keluhan dari Sera. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Sera mengambil ponselnya Gary untuk menghubungi Larissa—adiknya Gary.
"Udah males aku selalu saja gagal lagi, padahal aku sengaja jemput kamu supaya bisa kita pergi jalan-jalan. Udahlah sekarang mendingan aku telepon adik kamu supaya dia bisa pulang sendiri aja. Gary, aku enggak mau kamu jemput dia apalagi pakai mobilku, lagi kali saja kita jemput dia," ucap Sera dengan sikap egoisnya.
Sontak membuat Gary marah dan langsung menghentikan mobilnya sembarangan tempat, dengan secepat mungkin ia berusaha mengambil ponselnya.
"Sera, kamu bisa ngerti sedikit kan kalau keadaannya seperti ini? Lagipula kita hari ini enggak ada janjian buat ketemuan dan kamu tiba-tiba datang ke rumahku. Mau enggak mau ya aku harus nurut buat ajak kamu pergi karena aku merasa enggak enak kamu datang jauh-jauh ke sini. Larissa juga enggak ada yang jemput, dia enggak bawa mobilnya karena sekarang dia ada di bandara. Tolong ya kamu bisa lebih mengerti," sahut Gary di saat melihat kekasihnya sudah melewat batas.
"Lagian salah kamu sendiri harus selalu manjain adik kamu itu. Meskipun memang kamu sayang karena cuma dia adik perempuan yang kamu punya, tapi kan dia juga bisa mengerti kalau sekarang kita lagi jalan, Gary. Aku sengaja jemput kamu supaya kita berdua bisa hilangkan stress. Yang ada sekarang aku tambah pusing sama kamu, mana Daddy kamu juga terang-terangan buat minta kamu nikah sama orang lain. Coba kamu pikir gimana sakitnya perasaanku sekarang?" Sera sampai menunjukkan kearah hatinya sendiri hingga membuatnya berlinang air mata.
"Iya aku sadar karena hari ini kamu yang jemput aku, dan aku cuma numpang di sini. Tapi, aku selalu berusaha kasih yang terbaik buat Larissa. Dia satu-satunya adikku perempuanku yang harus aku jaga seperti amanah ibuku dulu. Jadi, sekarang kita enggak perlu ribut panjang-panjang. Mendingan sekarang aku turun di sini, dan pertengkaran ini kita lanjutkan nanti saja. Udah ya aku turun sekarang, kamu mendingan pulang, dan biar pulang naik taksi saja." Gary pun membuka pintu mobil itu dengan cepat.
Dengan berusaha sangat keras Sera meminta agar Gary naik kembali, tapi sialnya pria itu lebih memilih pergi jalan kaki, dan tak lama mobil taksi pun tiba. Berusaha lepas dari amarahnya sendiri karena tidak ingin membuat Sera sampai harus menangis jika semakin perdebatan di perpanjang. Di dalam mobil taksi Gary meminta agar lebih cepat.
Perjalanan mulai melaju dengan kecepatan tinggi, dan Gary berusaha mengambil dompetnya agar bisa melihat jumlah uang yang dia bawa. Akan tetapi, sialnya dia kelupaan membawa dompetnya. Gary baru sadar akibat kecerobohannya hingga benda penting sampai lupa ia ambil. Seumur hidupnya, Gary tidak pernah rela membuat dirinya merasa lemah di depan orang lain, namun sekarang dia tidak ingin terlihat lemah hanya karena persoalan dompet.
Namun, saat itu membuat Gary pusing tujuh keliling hanya perkara dompet, dan ia sudah berusaha mencoba menghubungi daddy-nya. Tapi, sialnya sang ayah justru tidak menjawab teleponnya. Tidak berhenti di saat, meskipun mobil taksi semakin melaju dengan kecepatan perlahan yang sudah ia arahkan. Ketiga kalinya panggilannya baru terjawab.
"Daddy, sekarang di mana? Aku butuh bantuan mu. Dompet ku ketinggalan, dan aku sekarang naik taksi karena aku dengan Sera sedang bertengkar karena dirimu. Jadi, Daddy harus tanggung jawab. Jemput aku sekarang, Daddy, aku mohon." Berusaha merengek-rengek hingga pengemudi taksi melirik kearahnya.
"Kamu ini gimana sih malah salahin orang lain, hubungan kamu yang salah orang lain. Daddy enggak bisa jemput karena lagi banyak banget kerjaan. Udah sekarang mendingan kamu ke tempatnya Kya, minta supaya Kya membayarnya. Udah jangan kebanyakan gengsi, kamu salah sendiri siapa suruh jalan-jalan pas lagi emosi. Udah tahu orang pelupa, sekalian nanti Daddy minta kamu buat jemput Larissa sama Kya, udah ya Daddy tutup." Panggilan pun berhenti sebelah pihak.
Membuat Gary kesal hingga ia membanting ponselnya ke kursi sebelah. Namun, ia juga tidak dapat banyak mengharap bantuan dari sang ayah. Tidak lama sebuah pesan pun masuk, pesan yang berisi alamat tempat tinggalnya Kya.
"Sial! Kenapa harus banget minta bantuan sama itu perempuan. Mana pakai bayarin taksi lagi. Di mana harga diri gue sebagai laki-laki sejati ya, Tuhan," gerutu Gary dalam batinnya.
Merasa suasana sama sekali tidak mendukung, sampai pengemudi taksi dengan sengaja memperlambat laju mobilnya. "Kalau enggak ada uang ya enggak usah naik taksi dong, Mas. Bikin repot orang aja," timpal pengemudi taksi dengan ketusnya.
"Iya, maaf nanti juga saya bayar kok. Tenang saja, saya ini anaknya pengusaha sukses," sahut Gary yang tidak ingin direndahkan.
"Anak pengusaha sukses kok alasan enggak bawa dompet. Bilang aja sok-sokan kaya raya padahal enggak punya duit. Udah ini sekarang gimana? Mas tetap harus bayar. Itu ada jam tangan mahal, sini kan jamnya buat ongkos taksi. Lumayan buat saya jual nanti," ejek pengemudi taksi sembari menunjuk kearah jam tangan bermerek rolex seraya menghentikan perjalanannya dengan tiba-tiba.
"Jam ini? Enak banget. Ini itu mahal tahu! Jangankan beli taksi, kamu sepuluh orang lengkap rumahmu pun sanggup saya beli. Udah sekarang antar kan saya ke alamat ini. Nanti di sana saya bayar." Gary merasa diremehkan hingga tatapannya begitu sadis.
"Benar ini mau diantar? Kadang mau coba-coba lari lagi. Kalau sekarang mendingan turun di sini aja deh," tanya pengemudi taksi tersebut tanpa ada kepercayaan.