Dua puluh tahun. Butuh waktu selama itu untuk membawanya kembali ke negeri kelahirannya ini, butuh waktu bertahun-tahun lamanya, begitu panjang dan pahit, tetapi pada akhirnya semua itu menjadi sebanding.
Seorang pria tinggi dan besar turun dari mobilnya, ia menatap rumah lama di depannya yang sebelumnya dia tinggali bersama keluarganya. Tetapi sekarang rumah itu sudah berubah menjadi tak lebih dari bangunan tua terbengkalai dengan pagar besi yang sudah berkarat. Semak belukar memenuhi sekeliling tempat itu, tanaman menjalar yang nyaris memenuhi seluruh dinding batu, menciptakan aura suram di rumah yang dahulu merupakan bangunan paling mewah di kota tersebut.
Tetapi, reputasi megah itu harus hancur dengan begitu menyedihkan. Tidak menyisakan apa pun, kecuali amarah yang tak pernah bisa padam dan bekas fisik permanen yang tak akan pernah bisa disembuhkan. Dengan apa pun dan cara apa pun itu. Bahkan dengan nyawa semua orang yang harus bertanggung jawab sekalipun, semua itu tidak akan pernah sembuh.
Kehormatan dan harga diri ayahnya hancur terinjak oleh sebuah pengkhianatan besar. Perusahaan yang dibangun dengan bersusah payah oleh kakeknya harus diserahkan kepada orang lain. Rumah yang selama beberapa generasi ditinggali harus disegel demi penyelesaian hutang. Dan seakan kehilangan semua itu belum cukup, orang tersebut mengatur sebuah kecelakaan yang harus merenggut hidup keluarga dan segalanya.
Ayah, ibu dan adik lelaki satu-satunya. Semuanya mati dalam kecelakaan nahas yang telah diatur oleh pria jahat itu. Bahkan tidak menyisakan apa pun baginya, kecuali bara panas abadi yang membakar bagian tengah dadanya, hingga dulu ia berharap kenapa dia tidak mati terbakar saja agar tidak perlu menderita terlalu lama.
Lucas sudah menunggu terlalu lama. Ia sudah berjuang terlalu keras. Lucas merangkak dari bawah, melakukan segalanya hanya untuk sampai di titik ini. Sudah terlalu banyak yang ia korbankan untuk bisa mencapai semua ini. Bagaimana ia mengumpulkan serpihan-serpihan yang tersisa dan menyambungkannya kembali dengan air mata, dengan penyesalan dan keputusasaan, dengan kemarahan yang tak berujung dan keinginan untuk kembali membalas dendam.
Tetapi, tahun-tahun penuh rasa sakit dan kepahitan yang membunuh akan segera berakhir. Kini ia kembali, untuk membalaskan dendam yang telah tertanam di dalam dirinya selama bertahun-tahun ini. Meminta pertanggung jawaban atas banyaknya orang yang telah berkorban atas segala-galanya. Sekarang tidak susah menghancurkan pria tua itu, karena Lucas sudah memiliki kekuatan yang besar.
Telepon genggamnya berbunyi, sejenak mengalihkan perhatian pria itu. Lucas segera menjawabnya di deringan pertama. "Semuanya sudah selesai?"
Orang di seberang sana itu menjawab dengan cepat. "Iya, sudah selesai!"
"Bagus."
Lucas lalu menurunkan ponselnya dan tersenyum lebar pada dirinya sendiri, gerakan bodoh yang membuat wajahnya tertarik kencang yang serta merta tusukan nyeri membekukan senyumannya. Secepat senyum itu muncul, secepat itu pula lenyap tak berbekas. Lucas memaki kasar dan kembali mengutuk keluarga tersebut—mengutuk ketamakan dan kekejaman mereka yang membuatnya harus menanggung kutukan ini seumur hidupnya.
Pria itu mencoba menghembuskan napas dengan berat, berusaha merelakskan otot-ototnya yang tegang. Well, amarah selalu membuatnya tegang. Dan bisa dibilang ia selalu marah setiap saat. Dadanya mengembang oleh tarikan napas, memperlihatkan cetakan di balik kemeja biru toska yang ia kenakan. Setelah yakin ia bisa mengendalikan diri, Lucas mulai bergerak mendekati pagar rumah lamanya itu. Dua orang pekerja yang sedang mengikis karat yang menempel di sana buru-buru menyapanya cepat saat ia melintas di dekat mereka.
"Selamat datang, Tuan!" sapa mereka secara bersamaan, sembari menunduk sopan.
Lucas sama sekali tidak menyahut. Pria itu juga tak mau repot-repot memandang keduanya—ia juga yakin kalau mereka lebih senang jika tidak berurusan dengannya. Pria buruk rupa yang memiliki amarah yang tak terkendali. Bukankah sebaiknya beruang yang sedang terluka sebaiknya dijauhi, bukan?
Tidak mudah ternyata berjalan memasuki rumah tua yang sudah ditinggalkannya begitu lama, apalagi dengan kenangan-kenangan yang masih segar berkejaran di otaknya, yang saling mencoba untuk hadir lebih dulu. Tempat ini memang sudah tua, dicengkeram kesuraman dan keputus asaan, tetapi tak pernah benar-benar mampu mengikis hangat yang dulu pernah memenuhinya. Berjalan melewati halaman luas ini seakan membawa Lucas kembali membalik waktu, ke masa-masa yang lebih membahagiakan dalam hidupnya, masa-masa di mana ia dipenuhi dengan harapan serta mimpi-mimpi yang besar.
Lucas nyaris bisa membayangkannya kembali, menghadirkan sosok ibunya yang sedang berlutut menggunting tanaman-tanaman bunganya yang terjulur melewati jalur sambil mengingatkan ia dan adiknya untuk tidak saling berkejar-kejaran. Lalu, biasanya ayahnya akan muncul tiba-tiba dan menyergap mereka dari belakang, ia akan tertawa keras saat melihat pria yang sangat disayanginya itu mengangkat Leon, sementara adik kecilnya itu akan menjerit kencang dengan kaki-kaki mungilnya yang menendang-nendang udara dengan bebas.
Sepenuhnya bahagia, sepenuhnya lengkap.
Sampai ayahnya membawa pria itu memasuki kehidupan mereka yang sempurna dan mengacaukan segalanya. Lucas dengan wajah datar kembali melangkahkan kakinya, membuka pintu ganda jati kokoh itu dan membentangkannya lebar, menghirup udara setengah apek yang menyerbu keluar. Bersama dengan sergapan kenangan bercampur aduk menjadi satu. Kenangan terakhir sekaligus menjadi yang paling menyakitkan.
Mereka sekeluarga akan berkumpul bersama, persis di foyer ini, memandang pria-pria yang datang untuk meminta agar mereka segera meninggalkan rumah. Ibunya sesenggukan di tengah ruangan, tampak pucat pasi dan berantakan, sementara adik kesayangannya itu, Leon tengah memeluknya dengan erat. Lucas sudah berusaha keras untuk mencegah pria itu menyegel rumah mereka, tetapi apalah daya dirinya yang waktu itu masih berusia tiga belas tahun, hanya bisa berteriak dan memaki keras, berharap hal itu bisa menghentikan kegilaan mereka.
Tetapi, ia sama sekali tidak berhasil melakukannya. Sementara itu, ayahnya ada di ujung ruangan lain, tampak sibuk membuat serangkaian panggilan yang sepertinya tak digubris. Lucas masih ingat kata-kata yang dilontarkan para pria berseragam itu saat mereka meminta maaf secara halus dan menyuruh Lucas beserta keluarganya agar meninggalkan rumah ini. Rumah yang bukan lagi menjadi milik mereka. Sepanjang hidupnya, baru pada saat itu Lucas melihat ayahnya lepas kendali dan dikuasai oleh kemarahan yang besar. Dia berteriak keras, mengagetkan semua orang dan semua kegiatan yang sedang berlangsung.
Pria itu berkata bahwa dia menolak meninggalkan rumahnya sendiri, bahwa tak ada yang bisa memaksanya melakukan hal itu kecuali bila dia mati. Ayahnya kembali berteriak kepada Lucas, menyuruhnya membawa ibu dan adiknya ke dalam mobil, bahwa mereka akan mendatangi pria yang sudah menjebak keluarganya itu. Mendatangi rumah pria yang sudah mengkhianatinya habis-habisan, yang merampas perusahaan dan seluruh kekayaan keluarganya tanpa bersisa, menghancurkan reputasi dan kehormatan keluarga William yang tak bercela.