Pagi ini pada jam pelajaran pertama, tempat duduk telah diubah. Untuk mengembangkan suasana belajar yang tidak membosankan, kadangkala beberapa guru memberikan opsi perubahan tempat duduk sesuai undian.
Kali ini pada barisan kedua tempat paling dekat dengan meja guru adalah Kenta. Adapun di belakang gadis itu, tempat duduk Fujia.
Aku bersama Erika berada di sebelah kiri dekat jendela dan hanya mundur satu tempat duduk dari sebelumnya.
Erika, salah satu gadis berwajah cantik yang memancarkan nuansa lembut, tetapi salah satu yang paling beringas di kelas Judo.
Wajahnya berseri-seri hari ini, dagunya di tumpu dengan tangan dan sedang menatap padaku lalu pada Kenta. Dia tampak sedang membatin memperhatikan kami.
Kuperhatikan punggung Kenta yang tampak tegang. Dari tadi Gadis Sakit Mental itu, tertangkap melirik padaku.
"Mungkin saja reaksinya akan terlihat jika darahnya diambik 30 menit setelah mengonsumsi obat dari ayah. Tadi malam terlalu gegabah mengambil sampel darahnya."
Ketika Kenta menoleh ke belakang, mata kami lagi-lagi bertemu. Aku menatapnya.
Kenta berbalik dengan cepat.
"Apakah terjadi sesuatu di antara kalian? Seperti ada sesuatu yang menegangkan. Sejak tadi kau tak pernah memindahkan matamu dari Kenta. Mukamu yang datar dan mata seperti laser itu akan terlihat seolah-olah kau punya dendam pada Kenta." Erika memecah lamunanku.
Untuk otak dengan kapasitas rata-rata, dia cukup pandai menafsirkan mimik wajah. Kuakui, Erika memang tidak sebodoh yang lain.
Aku memperbaiki posisi duduk, mengarah padanya. Tersenyum tipis untuk menepis anggapannya.
"Kau terlalu berpikir jauh. Aku hanya memandangi apa yang dilakukan Fujia. Sedari tadi bocah itu sibuk menulis sesuatu. Fujia bukan tipe orang yang senang menulis penjelasan guru, bukan." Kemudian aku tersadar lalu berkata sambil menatap intens pada Erika.
"Ouh, jadi kau diam-diam senang memperhatikan aku?"
Aku hendak tersenyum melihat dia gelagapan.
"Kenapa ... kenapa kau malah menyudutkan aku dengan pertanyaan itu?" Wajah Erika berubah cemberut. Ia berbalik membelakangiku dan menatap lurus ke papan tulis.
Aku berbisik padanya, "Aku tidak melarang. Semua orang bebas menggunakan matanya secara maksimal, termasuk memandang yang indah-indah."
Kulihat dari belakang, pipi Erika menggembul seperti dia sedang tersenyum mendengarku.
Ia balas berbisik, "Aku merasa gemas sendiri, tiap kali kau sangat percaya diri."
<>
Hari hampir menuju sore, matahari masih tinggi dan cukup panas. Para siswa berbondong-bondong meninggalkan gedung sekolah dan menuju aktivitas selanjutnya. Aku berjalan bersama Fujia yang sedang membawa beberapa kotak hadiah dari gadis-gadis.
Aku mengubar senyum pada siapa pun yang bertatapan denganku. Kulihat, Fujia juga begitu.
Ia tampak begitu senang karena akan mendapatkan jatah hadiah milikku.
Kupikir, mungkin Fujia punya fantasi tersendiri terhadap hadiah-hadiah itu. Meski bukan untuknya, aku memberikannya dengan suka rela.
"Makin hari kau makin populer saja, jangan dibawa hati kalau semua hadiah ini untukku. Demi agar gadis-gadis manis itu tetap gembira," katanya.
Senyum lebar mirip joker itu menciptakan kesan lucu dan matanya yang makin sipit, secara keseluruhan membuat ia menggemaskan.
Tak jarang tiap kali aku melihat Fujia tersenyum gembira, mood-ku membaik dengan cepat sesudah bertengkar dengan ayah.
"Apa ibumu tidak komplin tiap kali kau bawa kado-kado ini? Kau letakkan di mana? Kamarmu? Hati-hatilah kalau menerima makanan buatan orang, jika orang yang memberi sedang kesal padaku, makanan itu mungkin bahaya untukmu. Periksalah barang-barang pajangan sebelum diletakkan di kamar, kadang-kadang ada CCTV tersembunyi," aku berceloteh memperingatkannya.
"Eh, benarkah?" Fujia terkesiap dan menatap padaku. "Oh iya, sejak tadi pagi, Kenta terlihat sedang ketakutan. Sampai-sampai dia membawa wajan dalam tasnya. Adakah dia menceritakan sesuatu padamu? Mungkin ada orang sedang menguntitnya."
"Ouh, benarkah? Kurasa tidak ada."
[ Untuk apa dia bawa wajan ke sekolah? Hari ini dia terlihat ketakutan mungkin gara-gara aku menggigit jarinya. Tapi ada apa dengan wajan itu? Kurasa ada hubungannya dengan kepalaku yang benjol ini. Terasa ada yang terlupakan, tapi apa? ]
Kenta berjalan bersama gadis-gadis, tiga meter dari aku dan Fujia. Kakiku melenggang dengan lebar, bermaksud hendak bertanya pada Kenta.
Lalu kupegang pundah Gadis Sakit Mental itu, seraya berseru, "Kenta!"
Platang!
Seketika, mataku berkunang-kunang.
Kenta bebalik dan menghantamku dengan wajan itu. Hidung dan dahiku terasa nyeri. Sesuatu mengalir hingga terasa asin dan amis ke bibirku.
Sambil menahan rasa sakit, kutunjuk wajan di tangannya. "Kenapa ... kau ... bawa benda itu?" Aku tumbang ketika penglihatanku gelap.
"Dia berdarah!"
Sensasi pening bersarang di kepala.
Kudengar beberapa gadis berteriak di sekitarku. Mataku tertutup oleh layar hitam dan kesadaran mulai melemah. Ketika itu masih dapat kudengar pembicaraan di sekitar.
"Kenapa bawa barang itu sampai ke sekolah, hah? Jangan-jangan habis ini dia amnesia!" Suara Fujia yang lantang dan gusar, terakhir kali kudengar.
.....
Aku membuka mata. Rasa nyeri pada kepala dan hidung mulai menghantamku bertubi-tubi. Membuat aku mengerang sesaat.
Aku menatap pada langit-langit lalu beralih pada Kenta yang duduk di pinggir ranjang. Ia memeras handuk dingin lalu meletakkannya di dahiku.
Dinginnya handuk itu memudarkan sejenak rasa pening.
"Kapan aku di sini?" suaraku parau.
"Kusebut hal tadi sudah impas. Kau menyerangku 2 kali, dan kau kuserang 2 kali. Kau ingatkan?"
Aku menatapnya dalam-dalam, lalu berpindah pada beberapa interior kamar sambil berpikir keras.
Ketika itu, Kenta bertanya, "Kau tidak amnesia, 'kan?" Mendadak gadis itu panik. "Tunggu akan kupanggilkan Fujia!"
Begitu tubuhnya berdiri, kutarik lengannya hingga jatuh ia di dekatku. Keningku mengerut dan menatapnya tak suka.
"Hah! Kau bawa dia kemari? Lagi?"
"Tuan Shiho memberikan tumpangan dan membawamu ke sini. Dia dan Fujia memindahkanmu, tak mungkin aku bisa membawamu sendirian. Tolong mengertilah. Untuk sementara dan ini keadaan darurat, abaikan peraturan kamar ini, oke?"
"Kau bikin masalah lagi!" aku mendengus dengan suara lemas. Kuhempaskan lengan Kenta lalu membuang muka.
Ranjang sedikit bergoyang ketika ia duduk di tepi. Kudengar ia berucap, "Sebenarnya aku penasaran pada satu hal terhadapmu. Apa terjadi sesuatu saat mendapat suntikan dari paman Rai? Kau mendadak, Ah ... gimana mengatakannya, ya?"
Aku menoleh saat ia bedecak. Gadis Sakit mental itu seakan-akan tertekan.
"Kau seperti maniak, psycho! Aku hampir melaporkanmu lagi pada paman karena takut kau tambah parah."
Aku mendesis sambil meluncurkan tatapan mengancam. "Aiss ... awas saja kalau kau berani!" kulihat ada balutan tebal di salah satu jarinya. Kemudian aku teringat kejadian itu.
[ Itu sebabnya dia bawa wajan, karena aku mengigitnya seperti orang sakit jiwa. ] Aku menggerutu dalam hati. Kemudian berkata padanya, "Yang tadi malam ... aku minta maaf!"
"Eh, bisa kau ulangi? Aku tidak mendengar," Kenta mengedipkan mata, memandangku.
"Tidak akan, aku tidak akan mengulanginya!"
"Berkatalah yang serius. Kalau aku tidak mendengar lalu apa manfaatnya ucapanmu!" Gadis Sakit Mental ini secara mengejutkan naik ke ranjang.
Gelagatnya yang mencurigakan membuat aku menatapnya dengan garang. "Mau apa kau?"
Deg!
Tiba-tiba Kenta duduk di atas perutku dengan tatapan menyeringai.
"Enyah dari tubuhku!"