Kenta beranjak ke sisi ranjang sambil memegangi jarinya yang berdenyut-denyut. Ia menatap Masio dengan nanar.
"Apa yang kau lakukan, tadi? Masio, kau aneh sekali hari ini. Apa yang telah kau lakukan padaku? Apa yang kau masukkan dalam tubuhku?"
Tanpa menggubris keluhan Kenta, Masio sibuk melihat-lihat lantai. Matanya bergerak liar mencari di mana alat suntik yang tadi jatuh.
"Ah, hilang sudah!" Masio berdecak, prustasi. Lalu menghela napas panjang.
Masio terdiam sesaat, menatap kosong pada karpet kamarnya.
"Jawab aku, Masio!" Kenta membentak seraya menendang lantai, melampiaskan amarah.
Kemudian muncul sebuah ide yang mengakhiri lamunannya. Masio menggaruk punggung leher tanpa melawan kilatan mata Kenta.
Pemuda itu berdiri seraya mendekati Kenta. "Gara-gara kau terlalu banyak bergerak. Mana ... sini kulihat, mana yang terluka?"
Gadis itu cukup bodoh dengan menyerahkan jari-jarinya. Seketika itu, Masio mengigit jari Kenta kuat-kuat.
"Aaaakkkkhh!!!"
Kenta berteriak sejadi-jadinya, bahkan teriakannya lebih lantang lagi. Kegaduhan dua bocah itu terdengar hingga ke luar rumah.
Jari masih berada dalam mulut Masio. Selama itu, teriakan Kenta belum juga putus. Baginya, Masio seperti zombie yang menggigit tanpa mau melepaskan mangsa.
Saking takutnya, gadis itu memukul kepala Masio berkali-kali dengan bantal dan guling.
"Paman Rai! Masio, kau gila! Kau benar-benar sudah tidak waras! Lepaskan sekarang juga!"
Begitu merasakan darah gadis itu di lidahnya, Masio melarikan diri. Ia menutup pintu kamar ayahnya dengan kencang. Meningalkan Kenta yang melongo di kamar sendirian, dengan jari yang berlumur darah.
Masio duduk di kursi. Bibir yang menyisakan darah Kenta, dilap dengan sehelai tisu kering. Tisu itu dilarutkan dengan air, diperas dalam sebuah tabung kecil. Darah yang bercampur air, diambil dengan pipet kaca dan diteteskan pada kaca objek.
Setelah diteliti dengan mikroskop, darah gadis itu terlihat normal dan tak ditemukan objek lain. Semua usahanya untuk menemukan perubahan signifikan pada darah Kenta, gagal.
Jatuh punggungnya untuk kesekian kali, bersandar dengan perasaan prustasi.
Masio mendengus, ia sudah tak menyanggupi untuk berpikir terkait formula yang masuk dalam tubuhnya.
"Jadi selama ini, ayah belum memberi formulanya pada gadis itu. Aku harus bertanya pada Kenta secara langsung mengenai gejala apa yang timbul pada tubuhnya."
Selama 15 menit menenangkan diri. Tengah malam itu, Masio keluar dari kamar sang ayah dan pergi menuju kamarnya.
"Ah, dia pasti marah sekali padaku soal tadi."
Kenop pintu diputar dan pintu didorong sedikit. Kepalanya menggembul dari balik pintu dengan bola mata yang bergerak-gerak.
Kamar itu kosong, tatapannya beralih pada pintu kamar mandi. Dan berpikir, mungkin gadis itu sedang membersihkan jari yang berdarah.
"Kenta? Kentaaa!!!" panggil Masio.
Baru melangkah dua meter ke dalam kamar, kepala belakangnya dipukul dengan sebuah wajan.
Jatuh lutut Masio di lantai dengan pandangan berkunang-kunang. Kemudian diikuti dada hingga pipinya jatuh di lantai. Hal terakhir yang tertangkap matanya, adalah jarum suntik yang berisi darah Kenta, berada di bawah ranjang.
Dengan siap siaga, Kenta memegang wajan. Posturnya seperti Batter dalam pertandingan bisbol. Kakinya menendang betis Masio, pelan. "Masio? Oi, Masio? Kau pingsan?"
Setelah menendang betis Masio beberapa kali, nyatanya tak ada tanggapan yang terjadi. Kenta alis Yunna, akhirnya panik.
"Aduh, gawat. Dia benar-benar pingsan."
Perasaan bersalah mengusik hatinya. Kenta berjalan mondar mandir sambil mengigit bibir.
"Jangan-jangan dia masih sakit. Atau mungkin sedang berhalusinasi dan mengigit tanganku? Ah, Kenta, kau benar-benar ceroboh. Seharusnya, lihat kondisinya dahulu."
Diseretnya tubuh Masio mendekati ranjang. Dengan susah payah Kenta mengangkat tubuh pemuda itu meski berkali-kali tubuh Masio terkapar di lantai karena Kenta tidak cukup kuat.
Sampai percobaan ketiga akhirnya Masio berhasil dibaringkan ke atas ranjang.
Kenta menyeka keringat di dahi, lalu menatap Masio, bingung. "Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Masio di kamar paman Rai? Dia benar-benar bengis sekali. Seperti kerasukan. Aku harus lebih hati-hati."
Kenta penasaran sekali. Ia memasuki kamar ayah Masio.
Sudut matanya melihat ke berbagai arah. Pada jendela yang tidak ditutup gorden, pada ranjang besar, meja aksesoris, karpet bulu, rak-rak besar buku dan meja panjang yang berantakan.
Kenta mendekati meja panjang. Di meja itu terdapat buku-buku tebal, buku catatan, tabung-tabung kosong, microskop dan sarung tangan latex.
"Wah, apa otaknya sudah berubah jadi pintar setelah mendapatkan injeksi dari paman Rai. Bukankah Fujia mengatakan Masio salah satu siswa paling bodoh di kelas. Dengan melihat keadaan kamar ini, dia sudah seperti ilmuan sungguhan."
Kenta masih tak menyangka apa yang dilihatnya. Gadis itu membungkuk di depan tong sampah dengan tisu berdarah serta alat suntik yang cukup banyak.
...
Sinar matahari, mencuat dari balik gorden jendela. Menyingkirkan kesuraman yang terjalin semalaman.
Masio terbangun dengan kondisi setengah sadar. Beberapa saat, ia terpaku di atas ranjang sambil merasakan kepala belakang yang berdenyut-denyut.
Tubuhnya masih terbungkus oleh selimut sehingga menciptakan sensasi cukup gerah. Perutnya bergemuruh karena sejak kemarin sore hingga tadi malam ia belum makan.
Suara air mendesir disertai teko yang bersiul menandakan air telah mendidih di dapur.
Masio beranjak dari ranjang dan membuka pintu. Dilihatnya Kenta yang berkemeja putih dan dasi kendur, sedang mematikan gas.
Gadis Sakit Mental itu menuangkan air hangat ke sebuah cangkir berisi irisan lemon.
Aroma asam manis dari lemon membawa segar indera Masio. Ia berjalan keluar tanpa ingat kejadian tadi malam.
Kehadiran Masio membuat Kenta terperanjak dan meloncat menjaga jarak.
"Kau mengagetkan aku! Sudah baikan? Bagaimana kondisimu, Masio?"
Masio mengambil air irisan lemon dan meminumnya. "Kenapa kau bertanya? Seharusnya aku yang bertanya ... kenapa kepalaku terasa berat pagi ini? Ah, apa karena penelitian darah yang memusingkan itu? Apa tadi malam terjadi sesuatu? Aku tidak ingat kapan aku tidur."
Kening Kenta mengerut. [ Dia lupa, aku memukulnya. ]
Matanya bergerak mengikuti Masio yang berjalan kembali ke kamar.
"Kupikir dia akan marah pagi ini. Tidak ... tidak! Tidak seharusnya dia lupa apa yang diperbuatnya padaku tadi malam. Dia harus super bertanggung jawab karena menyakiti salah satu jariku. Ah, aku belum mendapatkan penjelasan atas sikap kurang ajarnya itu."
Mendadak kepala Masio muncul dari balik pintu. Dengan kening dan pangkal hidung yang berkerut ia memandang Kenta. "Kau tadi bilang apa?"
Deg!
Mata Kenta melebar lantas menggeleng dan menyembunyikan jari telunjuk yang dibalut tebal oleh kain kasa.
"Sebentar lagi masuk kelas, aku harus buru-buru, aku ada tugas pagi ini." Secepat kilat, Kenta mengambil tas.
Masio masih terpaku di depan kamar, ia melihat punggung Kenta yang berlari ke luar dari rumah.
Masio mendesah saat kepalanya berdenyut. "Ada apa dengan perasaanku? Seperti ada sesuatu yang tertinggal."
Begitu tubuhnya berbalik ke dalam kamar, potongan-potongan memori tadi malam tercipta di kamar itu.
"Pantas saja Kenta berlari seperti orang ketakutan. Aku menyerangnya tadi malam dan mengambil darahnya. Itu tadi benar-benar tindakan yang bodoh."
Tangannya menyentuh benjolan kecil bagian kepala belakang, meski begitu Masio masih belum ingat tentang wajan yang memukulnya.
...
Dua puluh menit sebelum kelas pertama dimulai. Masio yang kelaparan, duduk di kantin sambil menatap Kenta dari jendela.
Gadis Sakit Mental itu sedang tertawa bersama para siswi kelas satu. "Makin hari dia makin tenar saja. Sudah berapa gadis yang telah mengajaknya bekenalan semenjak sekolah di sini?" Masio menghitung dengan jari-jarinya. "Dia akan terlihat sangat manly, kalau saja tubuhnya lebih tinggi dan lebih berisi. Kalau saja saat itu dia tidak masuk ke kamar mandiku, mungkin aku bisa tertipu dengan penampilannya."
"Kau sedang membicarakan siapa?" Shiho Matsugawa, wali kelas baru itu datang bergabung di meja Masio.
Masio memberi hormat dengan membungkuk lalu tersenyum kecil.
Shiho meletakkan onigiri di dekat mangkok mi instan Masio yang masih belum matang.
"Sebenarnya tidak sehat mengisi perut dengan makanan siap saji, tetapi demi memenuhi kalori perhari, tampaknya aturan itu dapat diringankan sedikit. Tambahkan oniggiri, akan lebih enak," ujar Shiho.
Masio tersenyum ramah lalu katanya, "Kudengar Anda wali kelas pengganti untuk kami. Anda juga yang membawaku ke UKS waktu itu. Terima kasih banyak!"
"Benar sekali. Kalau ada masalah jangan sungkan bercerita padaku. Meskipun kedudukanku hanya sementara di sini, kuharap kita dapat menjalin hubungan yang baik." Shiho beranjak meninggalkan Masio.
Punggung besar pria itu masih ditatapnya meski sudah cukup jauh. Kemudian muncul bayang kecil yang membentuk potongan-potongan ingatan.
"Kurasa, kami sudah pernah bertemu di suatu tempat? Ah, ya! Aku baru ingat, kami bertabrakan di depan toko elektronik, saat aku memenangkan promo CCTV itu."