Chereads / YOU, ME, DEATH / Chapter 6 - Sampel Darah pt. 2

Chapter 6 - Sampel Darah pt. 2

Aku menggerakkan mata dengan normal, berkedip dengan normal seolah tak ada gangguan sama sekali.

Kulihat beberapa siswa berkumpul di depan pintu, dan pria bernama Shiho itu berusaha menutup pintu.

"Kau yakin tidak ingin disuntik? Kalau begitu kami akan membiarkanmu istirahat dan mengawasimu," kata dokter itu. "Jangan paksa dia, mari awasi saja."

"Bolehkah aku tidak masuk kelas hari ini? Aku akan beristirahat sampai pulih." Aku mengambil kantong kompres dan mengompres diri sendiri. Membiarkan mereka keluar satu persatu.

[ Aku tidak tahu bagaimana respon selanjutnya jika obat dalam suntikan itu memasuki tubuhku. Sampai ini kuanalisis sendiri, tak akan ada obat yang boleh mencemari tubuh ini. ]

Reaksi tubuhku yang bertarung melawan formula ayah menumbuhkan ketertarikan untuk mengetahui apa yang terjadi pada darahku saat ini. Sudah lebih dari 13 jam saat diinjeksi, dan rasa sakitnya kumat lagi.

Ada pertarungan dahsyat antara antibodi dalam darah dengan formula itu. Bahkan pil yang kumakan pagi ini tak berfungsi sama sekali. Hal ini menumbuhkan kegelisahan.

Mataku kembali dapat melihat dengan jelas ketika demam mulai perlahan turun. Suasana begitu sepi, mungkin karena telah memasuki jam pelajaran.

Maka ketika itu, munculah sebuah ide untuk segera mencari tahu apa yang terjadi dalam darahku.

Kurang lebih satu jam istirahat, aku keluar dari ruangan UKS. Dengan tubuh yang masih demam, aku pergi ke ruang labulatorium yang letaknya hanya 15 meter dari UKS.

Kuambil sedikit sampel darah lalu diletakkan pada kaca objek.

Aku duduk di kursi dan mengamati dengan microskop. Butir-butiran eritrosit mulai bergerak mengalir, bersama kepingan sel darah putih yang bergerak agresif pada antigen yang kuduga adalah formula ayah.

Antigen itu mendapatkan reaksi perlawanan oleh antibodi dan menyebabkan regenerasi sel. Sel darah terus mengalami regenerasi karena proses interaksi antara zat aneh itu.

Aku terkejut sekali, menyaksikan hal itu terjadi dalam tubuhku.

TRAP!

Sesuatu terdengar dari luar ruangan. Aku mengedarkan pandangan ke jendea-jendela.

Bergegas kumatikan mikroskop led dan membuang kaca objek bekas darahku ke tempat sampah.

Kubuka pintu dan keluar, menengok ke kiri dan kanan. Kutemukan sebuah bungkusan permen rasa strowberi di dekat salah satu jendela lab.

Kupunggut lalu kujatuhkan lagi sebungkus permen itu untuk memastikan suara inilah yang kudengar tadi.

[ Ada orang di sini beberapa saat lalu. ] dugaku.

Keluar dari ruan lab, aku pergi ke perpustakaan untuk mencari beberapa buku jurnal.

Perpustakaan sangat sepi, hanya ada dua petugas yang lagi memasukkan beberapa buku baru dalam daftar komputer. Aku menyapa sebentar, lalu pergi menggeledah beberapa rak.

Kuambil buku-buku besar dan membacanya sambil berdiri. Hanya dalam kurun waktu dua puluh menit, buku-buku itu selesai kubaca.

[ Aku yakin, formula ayah memicu perkembangan sel. Tetapi, mereka bertarung sebelum dapat merasuki satu sama lain. Jika ini terus terjadi, semua sel yang ada dalam tubuhku akan terus berproduksi karena rangsangan dari formula itu sangat cepat. Ini bisa menyebabkan efek sakit yang berkelanjutan. Aku harus menemukan cara agar formula itu berhenti bekerja. ]

Dengan hipotesa yang kubuat sendiri, aku memutuskan kembali ke ruang labulatorium.

Begitu masuk, aku merasakan perubahan di ruangan lab.

Posisi mikroskop seperti digeser, dan terdapat tisu di tepi tong sampah seperti bekas digunakan. Kaca objek yang terdapat darahku, hilang.

"Ah, aku yakin tadi kubuang di sini," sambil menggeledah tong sampah aku bergumam.

Meski sampah-sampah telah berserakan di lantai, kaca objek itu tidak kunjung ditemukan.

"Gawat! Ada yang mengambilnya! Ah, bagaimana ini?"

Panik, aku menoleh ke sekitar, mungkin terjatuh di suatu tempat di ruangan itu. [ Kuharap yang menemukannya cukup bodoh. ]

"Yushimaru Masio, benarkan? Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku terperanjat dan lekas menoleh pada seorang guru seni bernama Hanami Yura yang berdiri di ambang pintu sambil membawa beberapa buku.

[ Aku tidak bisa melanjutkan pencarian ini. Sial benar, kenapa harus hilang. Sampahnya masih penuh, hanya kaca objek bekas darahku yang lenyap. Pasti orang yang tadi melihatku yang mengambilnya. ]

Kututup pintu dan berdiri di depan Bu Hanami. Aku membantunya mengangkat buku-buku itu.

"Kurasa, barangku tertinggal di sini. Aku baru ingat."

"Ah, pasti sudah dibuang. Kudengar kau sakit, apa sekarang sudah lebih baik?" tanya Nyonya Hanami. Dia guru muda yang sedang hamil empat bulan.

Aku mengangguk sambil berjalan bersamanya. Saat melewati beberapa kelas, beberapa orang menyapaku. Bersamaan dengan itu, bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Setelah mengantarnya ke kelas yang dituju, aku pergi ke kelasku untuk mengikuti pelajaran kedua.

Kehadiranku disambut oleh beberapa kaum hawa yang mulai berisik mempertanyakan kondisiku.

Teman-teman di kelas berdatangan mengelilingiku. Kebisingan dari pertanyaan yang dilontarkan bersamaan menciptakan rasa pening di kepala.

Menjaga image itu penting, meski tak senang, aku tersenyum pada mereka.

Beruntung ada yang peka, Fujia datang bak pahlawan, dia melerai para gadis dan membawaku keluar dari kerumunan.

Begitu aku duduk, gadis-gadis itu kembali mengelilingiku dan Fujia tersingkir dalam sekejap.

"Masio, bagaimana keadaanmu?" tanya beberapa gadis yang duduk di bagian depan, dekat Erika yang saat ini menoleh padaku.

"Pagi tadi kami terkejut sekali karena anak-anak kelas lain ramai menyambutmu di depan gerbang. Kami yang berada di lantai dua jadi berlari untuk mencari informasi tentang kondisimu," papar gadis berparas cantik, giginya berbehel.

Aku mendongak, menatap mereka seraya mempertahankan senyum tipis.

"Permisi, hai! Biarkan aku lewat!" suara Fujia tenggelam dalam barisan.

Ia yang berada di belakang, sedang berusaha menerobos barisan gadis-gadis.

Tangan kecil Yunna, ah maksudku, Kenta sedang menjunjung tinggi smartphone, seperti sedang mengambil gambar.

Aku mengabaikan pertanyaan mereka dan memilih mencuri kesempatan melihat Yunna.

[ Ayah pasti memintanya melakukan itu. Memantau kondisiku untuk mengetahui seefektif apa temuannya kali ini. ]

"Benar kau tidak apa-apa?" Aku terkesiap lalu menoleh pada Erika yang bertanya.

"Kalian ini berlebihan sekali," ucapku, melerai pertanyaan semua orang. "Aku hanya kelelahan saja, semua orang bisa duduk sekarang."

"Permisi, oi sahabat sejatinya mau lewat! Biarkan aku lewat!" Fujia masih berusaha menerobos. Tangannya sesekali melambai-lambai, minta perhatian orang-orang.

"Kau harus jaga kesehatan mulai sekarang, Masio. Tidak ada kamu rasanya kelas ini kehilangan warnanya," kata seorang gadis berambut keriting. Ia meletakkan beberapa bungkus vitamin yang diikuti oleh beberapa gadis lainnya. Kemudian kembali ke tempat duduk masing-masing.

Saat itu datang Fujia yang kebingungan melihat semua orang membubarkan diri.

"Sudah selesai? Apa tadi yang kalian bicarakan?" Fujia bertanya seraya melirik satu per satu gadis-gadis yang kembali ke tempat duduk.

"Setelah aku datang, mereka menghilang. Dasar gadis-gadis ini!" Fujia berucap jutek, ia mengambil kursi dan duduk di sebelahku.

Sesuatu terjatuh dari laci meja dan mengenai sepatuku. Senyumku tak bisa ditahan begitu menemukan surat dengan peta merah, milik si pengagum rahasia.

"Aku langsung berdiri melihat beberapa siswa berlari menuju gerbang depan. Saat itu dramatis sekali, kata orang-orang kau jatuh di punggung Tuan Shiho ...,"

Lekas kumasukkan surat peta merah itu ke laci meja lalu menyimak perkataan Erika.

"Dia yang mengantarmu ke UKS. Kebetulan sekali, ternyata Tuan Shiho adalah wali kelas sementara di kelas kita," lanjut Erika.

SLAP!

Mataku berkedip-kedip seraya melirik pada Fujia yang menempatkan telapak tangan di dahiku. "Aku hanya memastikan kau baik-baik saja," kata Fujia.