Chereads / YOU, ME, DEATH / Chapter 4 - Perjanjian

Chapter 4 - Perjanjian

Selesai aku makan, ayah memberi kode dengan menggerakkan wajahnya ke arah pintu belakang.

Ia beranjak lebih dulu, memintaku untuk mengikutinya. Perang dingin antara aku dan ayah dilanjutkan ke halaman belakang. Kami meninggalkan Kenta yang makan sendirian.

Halaman belakang memiliki suasana yang asri dan penuh tumbuhan-tumbuhan segar. Beberapa tamaman bunga yang wangi di tanam sendiri olehku.

Di tengah-tengah halaman, ada pohon persik. Pohon itu terbelah menjadi tiga dahan. Dahan yang paling rendah paling nyaman digunakan untuk bersantai sambil mengayunkan kaki.

Hanya melihat punggung ayah, duduk di dahan itu, amarahku langsung terpancing keluar. Sambil mengembuskan napas, aku duduk di sampingnya.

Kulihat pisau tajamnya sedang mengupas sebuah apel merah.

"Jangan memasang wajah masam begitu. Walau bagaimanapun, Yunna adalah pasien Ayah yang berharga. Dia harus membiasakan diri denganmu. Formula yang tengah kukembangkan tak begitu banyak memberi manfaat kalau tidak diselingi dengan rangsangan dari luar."

"Yunna memerlukannya. Masio bantuanmu sangat berarti. Ayah ingin, kau dapat merebut hatinya dan menyadarkannya tentang dunia yang sekarang adalah palsu,"ujar Ayah.

"Kau, lagi-lagi menarikku dalam masalahmu sendiri," ucapku sinis. "Kali ini jangan menutupi apa pun dariku lagi."

Aku bertanya lebih intens, "Bagaimana kau membuat identitasnya? Kalau pihak sekolah tahu dia wanita, bukankah akan dilakukan penyelidikan dan bisa jadi identitas Yunna sebenarnya, akan terbongkar."

Sinar matahari memancarkan cahaya biru pada lensa kacamata ayah. Pria tua dengan rambut diikat itu mencopot rokok dari bibirnya, lalu mengembuskan asap yang langsung menerpa wajahku.

Aku kembali melanjutkan, "Ah ... sudahlah, aku tidak perlu tahu bagaimana kau mengurusnya. Aku tak suka Yunna di sana, pindahkan dia, di kelas manapun terserah!"

"Masio, kau harus membiasakan memanggil Yunna, sebagai Kenta!" Ayah mengingatkan aku.

"Ayah tidak bisa. Selama aku melakukan pengobatan, Yunna harus membiasakan diri dan berinteraksi dengan lingkungnnya. Jika ingin masalah ini cepat selesai ...," Ayah berbalik menghadapku. "Kau harus ikut membantu. Buat dia belajar tentang wanita, akan tetapi ini perlu penyesuaian. Gunakanlah otakmu yang pintar itu."

"Apa balasannya jika aku membantumu?" Aku menoleh, memperhatikan si tua itu membuang asap nikoten ke udara.

"Tidak ada apa-apa yang dapat kutawarkan padaku, Masio. Kita sama-sama punya otak yang bagus. Kalau kau ingin ini cepat usai, buat dia mengingat masalalunya. Sekarang ini Yunna terjebak dalam ingatan palsu. Aku kasihan dengan gadis itu."

Lagi-lagi aku mendengus saat menatap wajah ayah. [

Dia tidak menemukan keanehan dalam kamarnya? Sepertinya, aku tidak perlu mengatakan soal rekaman CCTV itu. ]

"Pelan-pelan buatlah Yunna tertarik dengan wanita dan munculkan sifat kewanitaannya. Karena kalau obat saja, perkembangannya akan lambat. Makanya kuminta dia tidur denganmu." Ayah menarik kacamata di tengah hidung lalu menatapku dengan matanya.

Ayah berucap lagi, "Kau tidak tertarik dengannya kan? Kalau pun iya, seleramu benar-benar payah!"

"Hah!" Aku mendengus kesal mendengar hal itu keluar dari mulutnya yang bau asap. Lantas aku berkata, "Yang kurasakan terhadapnya tak lebih dari gangguan. Dia itu pengganggu!"

Ayah tertawa dan berkata, "Oh, ya omong-omong sejak datang tadi, aku tak melihat kucing gembul itu. Kau kemanakan dia?"

Aku langsung menatap tajam pada Ayah. [ Ayah tidak sadar atau bagaimana? Injeksi waktu itu hampir membuat Yubi tidur selamanya! Sekarang, dia mempertanyaan kondisi kucing itu. ]

"Jangan mematap ayah begitu!" kata Ayah lalu memutus pandangannya dariku.

"Ayah mengujicobakan temuan baru untuk Yunna pada Yubi, kan?" Aku menudingnya dengan keyakinan 100 persen.

Ayah mengigit ujung rokoknya dan terkekeh, "Mau bagaimana lagi, kucing itu satu-satunya yang kulihat berkeliaran di rumah ini."

"Sudah kuduga!" Aku berdecak, pandanganku tak sengaja menangkap Yunna yang sedang bersembunyi di balik jendela kamarku. "Dia menguping!"

<>

Dia, gadis yang jatuh dari langit tepat di kamar mandiku, bernama asli Minami Yunna, anak dari seorang wakil walikota Sapporo, yang diagnosa amnesia karena sebuah kecelakaan.

Dan menanggap dirinya sendiri adalah seorang laki-laki. Yunna memperkenalkan diri dengan nama Yamagichi Kenta, yang seketika itu tumbuh firasat buruk akan kehadirannya.

Gadis yang sama tingginya dengan Fujia itu, bahkan kelakuannya sedikit menyerupai Fujia.

Dalam hidupku, Yunna bagaikan duri yang terselip dalam daging. Selalu setiap saat membuat rasa sakit dan khawatir.

Sekarang, ayah sudah benar-benar menekankan maksudnya terhadapku. Bahwa aku akan dilibatkan dalam proses penyembuhan mental gadis itu.

Bagaimana tidak emosional, pak tua yang maniak penelitian ini sudah cukup banyak mencemari kehidupanku.

Kehadiran gadis itu untuk saat ini adalah masalah paling besar. Aku ditekankan harus selalu bersamanya, dengan tugas yang diemban oleh pundakku, yaitu membawa Kenta pada kehidupannya yang sebenarnya. Menjadikannya sebagai seorang gadis kembali.

Sebagai seorang laki-laki bagaimana menjadikannya seorang perempuan? Aku sendiri tidak tahu trik atau prosedur untuk membuat Yunna menjadi seorang perempuan tulen.

Ini tidak semudah; kau memberitahukan padanya tentang jati dirinya, karena Yunna ternyata juga mengidap trauma pasca kecelakaan yang mengkibatkan dirinya bisa mengalami kenaikan denyut jantung dan berakhir gagal jantung.

Hal pertama yang harus kuhindari adalah, tidak menyatakan secara terang-terangan kalau dia adalah seorang perempuan. Ini rumit!

Kutinggalkan ayah sendirian di halaman belakang. Ketika memasuki kamar, aku berkacak pinggang dengan tatapan kesal. Kemudian berkata pada Yunna yang sedang bersembunyi di balik selimut.

"Mari buat perjanjian!"

Yunna muncul dari balik selimut begitu mendengar suaraku. "Eh, perjanjian?" tanyanya bingung.

"Meski ayah ... Ah maksudku Paman membolehkanmu tidur di sini, kau hanya boleh tidur setelah aku tertidur. Kau yang menumpang tidur di kamar ini harus menuruti kemauan sang pemilik kamar, yaitu aku!"

"Jangan menyentuhku sembarangan! Satu hal lagi, jangan ajak Fujia kemari kalau tidak ada persetujuanku, kau mengerti? Kau boleh tidur di kamar ini hanya dengan perjanjian itu!"

Emosiku mengokoh melihat wajahnya yang sangat keberatan. Yunna keluar dari selimut dengan tatapan merengut. Lalu katanya, "Bukankah itu keterlaluan! Paman bahkan membolehkan aku membawa teman kemari. Untuk yang satu itu, aku tidak akan meminta ijin padamu!"

Aku mendekatinya dengan tatapan tak suka. Gadis Sakit Mental itu menatapku seperti ancaman. Ketika aku hendak menyentuhnya tiba-tiba ia berteriak amat lantang.

"Paman! Masio membuat peraturan yang aneh! Paman Rai!"

"Hi, tutup mulutmu! Siapa yang mengizinkanmu berteriak!" Aku membentaknya seraya melotot.

Brak!

Kenta berlari keluar dan membanting pintu, jantungku meledak, kaget. Suaranya mengema di luar kamar, sukses membuatku makin panik.

Lekas kubuka pintu kamar hendak mengejarnya. Tetapi, mendadak ayah muncul di samping pintu dan menyuntikku tepat di pantat.

Nyeri dan ngilu melumpuhkan otot kakiku. Ketika dicabutnya jarum itu, aku tak mampu mempertahankan diri dan ambruk di lantai.

Aku menatap Ayah dengan perasaan bingung.

"Apa yang—kau suntikkan—kali ini—ayah?"

Aku tergagap-gagap menahan sakit yang menjalar di sekujur tubuh.

[ Rekasi obat yang disuntikkan sangat kuat, formula kali ini bukan sembarangan. ]

Aku merentangkan tangan lalu mencengkeram kaki ayah. Pandangan mataku mulai berat dan terasa sakit.

"Aku lengah lagi. Sialan, kau melakukannya lagi."

Aku merintih kesakitan.

Ayah menarik kakinya dari tanganku dan bersandar di dinding sambil memperhatikan aku. Tatapannya begitu dingin dan datar. Tak tersirat sedikitpun kekhawatiran melihat aku terus merintih.

Pipi yang menyatu dengan lantai merasakan getaran makin besar di permukaan lantai.

Samar-samar kudengar Gadis Sakit Mental itu memanggil-manggil namaku.

Tubuhku gemetar dan mataku sudah buta. Perlahan kesadaranku mulai menghilang dan suara gadis itu mulai tenggelam.