Semua berubah. Untuk pertama kalinya Ansel melihat raut wajah Elea yang penuh dengan kekecewaan dan kemarahan. Setelah Ansel duduk sesuai permintaan Elea, Elea pun menyusul Ansel dan duduk di depannya.
"Ada apa kamu datang kemari?" tanya Elea tanpa melihat wajah Ansel. Elea terus memandang ke depan walau air mata jatuh sedikit demi sedikit membasahi kedua pipinya.
"Elea, kenapa kamu bersikap seperti ini padaku?" Sebuah kalimat pertanyaan yang dilontarkan oleh Ansel membuat Elea semakin kecewa dengan sikap yang ditunjukkan oleh Ansel.
"Kenapa? Kamu masih tanya kenapa?" tanya Elea memancarkan raut wajah yang sangat sinis terhadap Ansel.
Ansel memaklumi ucapan Elea yang terdengar sangat kecewa padanya, lalu Ansel memejamkan sejenak kedua matanya diiringi dengan helaan napas panjang yang membuat degupan jantungnya memompa sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
"Elea ..., aku tahu kamu sudah pasti sangat kecewa padaku. Tapi semua ini aku lakukan demi hubungan kita," ujar Ansel memancarkan raut wajah memohon pada Elea agar Elea mau memakluminya. Namun tampaknya harapan yang diharapkan oleh Ansel tak mudah didapat dari Elea yang terlanjur kesal dan marah pada Ansel.
"Demi hubungan kita kamu bilang? Apa selama ini kamu merasa paling benar? Apa kamu tidak peduli terhadapku, hah?" Elea semakin geram.
"Aku ..., aku hanya tidak ingin ayah kamu terus menerus merendahkan aku. Jadi, aku rasa lebih baik kita tidak bertemu dulu sampai aku bisa menjadi laki-laki yang diharapkan di keluarga ini, Elea!" ujar Ansel.
"Egois! Lalu, apa dibenarkan juga saat kamu menjauh dariku tapi malah mengencani wanita lain, hah?"
"W---Wanita lain? Apa maksud kamu Elea?" tanya Ansel tak mengerti dengan ucapan Elea yang menuduh dirinya.
"Sudahlah, Sel. Tidak usah pura-pura seperti itu. Kamu selingkuh, kan?" tanya Elea.
"Elea, kamu pasti salah paham. Ayo ceritakan padaku, apa yang sudah kamu ketahui?"
"Jujur saja padaku, Sel. Apa kamu selingkuh dengan wanita yang pernah kamu bawa ke Rinjani Cafe beberapa waktu yang lalu?" tanya Elea tanpa basa-basi.
"Tunggu, tunggu! Wanita? Rinjani Cafe? Jadi kamu lihat aku sedang bersama Raya waktu itu? Elea, kamu benar-benar salah paham. Dia bukan siapa-siapa aku. Aku dan Raya hanya teman kerja. Tidak ada hubungan spesial di antara aku dan Raya. Saat itu aku bertemu dengan Raya untuk membicarakan pekerjaan karena saat ini aku bekerja di kantor milik Alex, sahabat kamu, Elea!"
DEG~~~
"Apa? J---Jadi, selama ini kamu bekerja di kantor milik Alex? Dari mana dan sejak kapan kamu kenal dengan Alex?" tanya Elea.
"Ya, Elea. Semua aku lakukan agar hubungan kita tidak dibenci lagi oleh keluargamu. Alex ternyata adalah bos ayahku. Alex saat itu datang ke rumah untuk menjenguk ayah, dan dia pun bertanya apakah aku adalah Ansel kekasih kamu atau bukan. Dari situ, saat aku ceritakan semua pada Alex, Alex menawariku sebuah pekerjaan yang ku harap bisa menyetarakan kedudukanku dengan keluarga kamu Elea! Tapi, aku sangat terkejut saat mengetahui bahwa kamu akan menikahi laki-laki lain selain aku," ungkap Ansel.
"T---Tapi ..." Elea bingung harus mengatakan apa pada Ansel. Semua kesalahpahaman yang terjadi benar-benar membuatnya setengah gila.
"CUKUP! Cukup, Elea!" tegas pak Bakrie yang seketika muncul kembali. Ternyata selama percakapan antara Elea dan Ansel berlangsung, beliau berada tak jauh dari mereka sehingga semua yang dibicarakan oleh Ansel juga Elea, dapat ia dengar dengan baik.
"A---Ayah!"
"sudahlah, lebih baik kamu menyerah saja," ucap pak Bakrie pada Ansel.
"Ayah, jangan bicara seperti itu. Aku mohon!" rengekan Elea sepertinya tak akan mampu membuat lunak hati pak Bakrie.
"Diam, Elea! Kamu masuk ke kamar!"
"T---Tapi, Yah!"
"ELEA! MASUK!" teriak pak Bakrie. Elea pun terpaksa meninggalkan Ansel dan pergi ke kamarnya dengan menangis hebat.
"Eleaa!" teriak Ansel.
"Kamu terima saja apa yang sudah menjadi takdir kamu dan Elea. Kami harus sadar bahwa Elea tidak pantas mendapatkan laki-laki yang tak berpendirian seperti kamu! Pergi sekarang juga!" titah pak Bakrie. Meski hatinya sangatlah terluka dengan kalimat yang dilontarkan oleh pak Bakrie, Ansel masih mencoba untuk tetap tenang dan melupakan sejenak tentang harga dirinya dengan memohon pada laki-laki paruh baya yang ada di hadapannya tersebut.
"Om, saya mohon. Beri saya dan Elea kesempatan untuk memperbaiki semua yang seharusnya tidak kami lakukan. Maaf kalau saya dan Elea pernah membohongi Om. Saya sangat mencintai Elea, Om!" rengek Ansel. Ia berlutut memohon pada pak Bakrie. Namun aksinya tersebut tak mampu melunakkan hati pak Bakrie yang sangat keras.
Tanpa memandang wajah Ansel yang penuh dengan air mata, pak Bakrie pergi begitu saja saat posisi Ansel masih berlutut. Pak Bakrie benar-benar tak peduli dengan Ansel sekuat apapun Ansel memohon.
Tak lama kemudian, dua ajudan pak Bakrie pun menyeret Ansel hingga keluar dari pintu gerbang rumah mewah Elea.
Elea yang berada dalam kamar dilantai dua, hanya bisa melihat Ansel dari balik jendela dengan hati yang meraung-raung ingin memeluk Ansel.
"Maafkan aku, Sel!" batin Elea.
Selama hampir lima belas menit Ansel berdiri seraya memegang gerbang rumah Elea, akhirnya ia pun pergi.
Hancur seluruh harapannya ketika Elea pun tak bisa menentang sang ayah. Ansel sangat menyesal karena telah menimbulkan kesalahpahaman antara dirinya dan Elea sehingga membuat Elea berpikir macam-macam.
"Bodoh! Kenapa kamu menjauhi Elea!?" gumam Ansel sambil berjalan meninggalkan rumah Elea. Sesekali ia pun memukul kepalanya hingga meremas keras rambut dikepalanya.
Tiga puluh menit kemudian, saat Ansel masih berjalan menyusuri jalanan yang kini telah jauh dari rumah Elea, seketika suara klakson mobil terdengar kencang dari belakang hingga membuat Ansel terperanjat.
Tin ... Tin ... Tin!
Ansel pun menoleh.
"Sel!" Itu Alex.
Setelah melihat bahwa laki-laki yang memanggil namanya adalah Alex, Ansel pun tak menggubrisnya. Dengan tatapan penuh kecewa, Ansel melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan Alex yang terus memanggil-manggil namanya.
Karena kesal, Alex pun menancap gas dan menghentikan mobilnya tepat di hadapan Alex.
BRUG!
Alex turun dari mobil. Sedangkan Ansel yang menghentikan langkahnya, berdiri mematung di hadapan Alex.
"Sel, ada apa? Apa kamu sudah menemui Elea?" tanya Alex.
Ansel hanya terdiam. Ia bahkan tak menatap wajah Alex. "Sel! Jawab saya! Apa kamu sudah bertemu dengan Elea?" teriak Alex.
Ansel pun mengangguk dengan lemas. Lalu ia kembali berjalan meninggalkan Alex. Alex pun tak menahan Ansel lagi karena ia sangat mengerti dengan keadaan Ansel. Dengan raut wajah Ansel yang seperti itu, Alex sudah bisa menyimpulkan bahwa hubungan Ansel dan Elea sepertinya tidak bisa tertolong lagi. Itu sebabnya Alex tak menahan Ansel lagi karena ingin memberinya sebuah privasi.
Akan tetapi, Alex sangat khawatir dengan Ansel. Melihat keadaanya yang seperti itu, Alex memutuskan untuk mengikuti Ansel tanpa sepengetahuan Ansel.