Chereads / Tulang Emas Tuan CEO : Ceraikan Dia dan Pilih Aku! / Chapter 22 - Perasaan yang Terpendam

Chapter 22 - Perasaan yang Terpendam

Tatapan mata Giandra yang lembut mengarah ke wajah Karin yang agak sedikit lemas, jantung Karin pun tiba-tiba berdebar dengan kencang. Dia merasa tangan yang dipegangnya sangat ini terasa panas.

"Giandra, aku menyayangimu." Dia hampir mengeluarkan kata-kata itu dan mengatakan bahwa dia telah menyembunyikan perasaan itu di dalam hatinya!

Caron duduk di atas tempat tidur dan memandangi mereka dengan rasa ingin tahu, tetapi Carel yang sedang membaca buku tiba-tiba berdiri dan sergap mengatakan, "Caron, pergilah bersamaku untuk membeli kartu buat bermain."

Johan adalah cucu dari Kakek Jay yang ada di rumah sebelah. Aku tidak tahu bagaimana cara melarangnya dengan halus, tapi aku tidak akan membiarkan Caron bermain dengannya nanti. Rapi aku juga tidak mengerti mengapa akupunya inisiatif untuk membeli kartu sekarang?

Dengan tanda tanya yang ada di wajah Caron, Carel berjalan mendekatinya dan langsung menariknya keluar dengan cepat.

Karin terkejut dan terdiam, "..."

Di rumah sakit, Giandra masih tetap menatap punggung kecil Caron sambil tersenyum dan berkata dalam hatinya, "Sungguh anak yang tidak tertebak."

Lalu, Giandra menatap Karin lagi dan mengangkat tangannya dengan lembut untuk membelai pipi Karin. Dia seperti bayi yang sedang rapuh dan lembut saat bernostalgia, "Tetap disini ya hari ini, kamu telah kehilangan banyak berat badanmu. Kamu bekerja sangat keras dan aku tidak suka itu."

Wajah cantik Karin persis seperti bunga sakura di musim semi yang diwarnai dengan lapisan merah muda.

"Giandra, jangan katakan itu. Kamu telah merawat dan menyayangi kami selama ini dan aku akan menjagamu sekarang."

Giandra, untukmu, tidak peduli apapun yang terjadi. Saya bersedia melakukan apa saja.

Giandra melihat wajah Karin yang memerah, membuka mulutnya, dan hampir mengatakan apa yang ada di hatinya, tetapi dia merapatkan gigi untuk menahan kata-katanya.

"Sayang, aku mencintaimu!"

Dia awalnya ingin mengucapkan kalimat ini pada ulang tahunnya yang kedua puluh, tetapi kehendak Tuhan berkata lain, dan dia kebetulan jatuh sakit saat itu.

Sekarang dia menghabiskan waktunya di ranjang rumah sakit. Waktu mungkin akan hampir habis dan dia tidak akan bisa lagi mengatakan hal-hal seperti itu. Bahkan, jika dia mati, pengakuannya sekarang akan menjadi dosa yang paling besar akan keegoisannya ini.

Hubungan yang datang terlambat tidak akan pernah menjadi kenangan manis bagi Karin, tapi hanya akan menjadi beban rasa sakit. Giandra tiba-tiba ingin disengat lebah dan melepaskan tangan Karin karena ekspresinya yang tiba-tiba menjadi dingin.

"Jaga dirimu. Aku lelah. Aku ingin istirahat."

Kehangatan Karin pun ikut pergi. Giandra menutup matanya dan dia pun beranjak untuk berdiri dan menyelimuti badan Giandra dengan selimut. Kemudian dia mengambil bunga yang sudah mati dan telah berubah menjadi layu.

Giandra tidak sanggup untuk melihatnya dan diam-diam dia membuka matanya di belakang Karin. Dia mempertajam tatapannya dalam-dalam dengan penuh air mata saat bernostalgia.

Karin membuang bunganya ke luar ruangan. Dilihatnya melalui jendela kamar, Giandra telah tertidur.

Wajah Giandra memang terlihat kurus namun sangat menawan saat di bawah sinar matahari. Dengan suasana yang damai dan tenang, membuat orang tidak bisa mengalihkan pandangan matanya.

Karin berdiri dengan senyuman yang manis saat menatapnya tanpa sadar. Sudut bajunya tiba-tiba ditarik dari bawah. Karin menundukkan kepalanya dan melihat bahwa Carel sudah berdiri di sampingnya beberapa waktu lalu.

"Bunda, apa kamu menyukai ayah Giandra?"

Wajah Karin memerah, "Hey, apa yang sedang kalian bicarakan?"

Caron menggelengkan kepalanya dan berkata dengan serius, "Jika bunda menyukai ayah Giandra, biarkan Ayah Giandra menjadi ayah kita. Kebahagiaan ibu adalah yang terpenting bagi Carel dan Caron."

Karin terkejut lagi, berjongkok, dan menatap Caron dengan serius, "Caron ingin ayah Giandra menjadi ayahmu?"

Kerapuhan terlihat melintas di wajah kecil Carel, "Bunda, Caron dan aku tidak membutuhkan seorang ayah. Kami sudah punya bunda sekaligus ayah. Tapi jika dengan Bunda menikah dengan ayah Giandra, bunda akan bahagia, Caron dan aku juga akan mendukung bunda. Bagaimanapun juga, ayah Giandra sudah baik dengan kami selama ini."

Mata Karin merah, lalu dia memeluk carol dengan erat. Dia tersenyum mendengar apa yang dikatakan si kecilnya itu. Giandra memang sudah baik pada mereka selama ini, dan Carel pun sudah menerimanya. Hal itu memang bukanlah kedekatan satu darah, tapi sudah tumbuh secara natural.

Carel masih memiliki harapan dan keinginan untuk dapat bertemu dengan ayah kandungnya, tapi orang itu....

Memikirkan sosok dan wajah samar pria saat malam itu, lima tahun lalu, Karin merasa tubuhnya terguncang dengan keras.

"Tidak, orang itu bukan ayah Carel dan Caron. Dia adalah seorang iblis!"

Dia tidak akan pernah ingin melihat orang itu lagi dan tidak akan pernah membiarkan Caron dan Carol tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Keesokan harinya, Karin pun bergegas menuju villa yang berada di kaki gunung, villa nya Axelle. Dia pun berangkat sebelum fajar.

Dion secara pribadi menjemput dan membawanya ke vila. Desain ruang tamu bergaya Eropa ini sangat bersih dan lantai marmernya memantulkan cahaya lampu kristal mewah yang ada di atasnya.

Pelayannya yang bekerja pun berpakaian rapi dengan tenang dan teratur. Semua yang di sini menunjukkan kemewahan tapi juga sederhana.

Karin dipersilahkan masuk oleh seorang lelaki tua dengan setelan jas lurus, rambut setengah putih, dan alis yang tebal. Dia sungguh sangat baik hati.

"Ini Bu Karin. Kemarin tuan muda secara pribadi sudah memberitahu bahwa dia telah memerintahkan bu Karin untuk datang dan mengurus kebutuhan sehari-hari Pak Axelle."

Dion memperkenal kan lelaki tua itu dan berkata kepada Karin, "Ini adalah pengurus villa ini. Anda bisa memanggilnya Paman Zeze."

Karin melihat Dion yang sedang memanggil Presiden Axelle yang ada di luar villa, tetapi dia terheran kenapa dia menelpon bosnya itu, kan dia berada di dalam rumah yang sama?

Dia membungkuk kepada Paman Zeze dan berkata sambil tersenyum, "Saya tidak tahu apa yang seharusnya saya lakukan disini. Paman zeze bisa memerintahkan saya."

Gadis kecil itu memang terlahir dengan pribadi yang sangat baik, cantik, lembut, murah hati, sederhana, dan sopan. Paman Zeze tampak tersenyum lebar dan bahagia.

Selama ini, bosnya itu selalu memimpikan seorang wanita di musim semi. Tapi selama lima tahun ini, dia tidak pernah bisa menemukan wanita yang cocok dan serius dengannya. Hingga akhirnya, datanglah sosok Karin, bahkan dia menginkan Karin untuk tetap disini. Mungkin, ini bisa jadi harapan yang baik.

Dia maju selangkah dan meraih lengan Karin, lalu berkata, "Jangan terburu-buru, tenanglah. Mari bu Karin ikut dengan saya terlebih dahulu."

Karin digandeng oleh Zeze untuk pergi ke ruang tamu dan bertanya, "Berapa umurmu sekarang? Apakah kamu punya pacar? Saya tidak tahu bagaimana kamu bisa bertemu dengan bosnya itu? Lalu, mengapa pak Axelle bisa memanggil bu Karin untuk melayaninya."

Karin terlihat bingung, "..."

Dion mengikuti mereka dan melihat Paman Zeze mengatakan hal itu, dia mencibir lalu mencondongkan badannya ke telinga Paman Zeze, "Paman Ze, berhati-hatilah dan jangan banyak bertanya dengan gadis ini. Dia sangat berbahaya."

Zeze pun melihat Karin yang tampak malu. Dia tersenyum dan berkata, "Oke, oke, saya tidak akan bertanya apapun lagi, saya akan diam. Saya minta maaf ya."

Karin buru-buru berdiri dan berkata, "Tidak apa-apa Paman Zeze, anda bisa memanggil saya Karin. Saya juga tidak tahu apa yang akan saya lakukan disini."

Paman Zeze juga berdiri dan menatap Karin. Lalu mengangguk lagi dan lagi, "Baiklah, Paman Zeze akan memanggilmu Karin. Mungkin aku akan mengubahnya nanti jika diperlukan."

"Ganti dengan apa? Apa yang harus diubah?"

Karin bingung, "Mengubahnya?"

Dion tersenyum dan ingin menjelaskan bahwa ketika nanti Karin sudah menjadi istri pak Axelle. Dia harus mengganti nama itu dengan sebutan "Nyonya Karin atau Nonya Axelle." Namun, dia tidak bisa mengatakan hal ini di depan Karin sekarang.

Dia hanya bisa terkekeh dan merubah topik pembicaraan, lalu berkata, "Pak Axell bangun pada jam 5 setiap hari. Karin, kamu bisa pergi ke kamar bapak untuk melayaninya sekarang."

"Baik, Paman Ze. Lalu apa yang harus saya lakukan disana?" Ucap Karin dengan patuh sopan santun.

"Iya, setelah bosnya itu bangun. Sprei dan selimutnya harus diganti dengan yang baru. Ingat, kalian harus menggantinya sebelum bosnya keluar dari kamar mandi. Bosnya itu sangat bersih, kalau tidak dia akan marah besar. Letakkan sprei dan selimut yang kotor itu di ruang pertama di sisi timur lantai atas. Kamar Axelle ada di tengah di lantai atas. Silahkan Karin lakukan apa yang sudah saya jelaskan barusan."