Chapter 28 - Pemanasan

Axelle menggenggam tangan Karin dan memutarnya dengan tangannya yang panjang. Kemudian Axelle menundukkan kepalanya dan menatapnya, "Seru kan? Apakah aktor itu juga terlihat menawan?"

Karin berkedip, "Apa?"

Axelle lalu menyipitkan matanya dan berkata, "Di TV tadi. Bukannya wajahnya yang putih dan kecil itu terlihat sangat tampan?"

Aktor utama dalam "Fall In Love "di TV tadi itu adalah Melvino. Dia sangat tampan dan memiliki kemampuan akting yang baik. Dia merupakan aktor pria milenial yang sangat terkenal. Tidak hanya itu, dia juga merupakan senior Karin. Meskipun dia telah lulus selama bertahun-tahun, dia masih bisa mempertahankannya.

"Bagus sekali. Sekarang dia sangat terkenal. Dia memiliki banyak sekali penggemar. Bahkan penggemarnya juga punya sebutan lucu untuknya, yaitu Tartan." Axelle memanyunkan bibirnya. "Oh jadi menurutmu dia lebih baik dan lebih tampan dariku?"

Saat Axelle mengatakan ini, dia menekan Karin dikit demi sedikit dan membuat Karin terpaksa mundur selangkah demi selangkah lalu menekuk lututnya ke sofa.

Axelle mencondongkan tubuh ke depan Karin yang sedang bersandar dan jatuh ke sofa.

Axelle menopangnya dengan tangannya dari bagian belakang sofa kulit. Itu juga membuat Karin terjebak diantara Axelle dan sofa. Aroma maskulinnya yang bercampur dengan sedikit aroma tembakau pun mengalir ke hidungnya.

Karin menahan napas, mengangkat wajahnya, dan menatap mata Axelle yang menyipit berbahaya, "Gimana gimana? Padahal penampilan anda jauh lebih mengagumkan dari Melvino. Tidak ada seorangpun yang lebih baik dari seorang direktur utama Axelle. Bahkan, aroma maskulin kejantanannya berhasil membuat wanita mana pun ingin memilikimu. Bagaimana bisa dia menandingi wajah manismu ini?"

Karin pun memujinya dengan mata yang tak berkedip sama sekali. Dia juga tidak lupa untuk mengangkat tangannya untuk bersumpah. Dia berakting sangat lucu untuk meyakinkan Axelle. Tetapi karena aura Axelle terlalu kuat, dia tidak berani menatap matanya, dan matanya menjadi ciut.

"Heh!" Axelle mencibir, membelai setengah dari wajah Karin dengan telapak tangannya yang besar, dan dengan lembut mengusap pipi putihnya dengan ibu jarinya yang kering dan hangat.

"Sejak aku dilahirkan, aku memang begitu tampan, tapi kenapa kamu tidak berani menatapku? Kamu seperti itu karena aku sangat menakutkan bagimu?" Suaranya mengejek seolah mengejek Karin karena takut, bahkan dia juga menatapnya.

Karin berpikir dalam hatinya. Axelle memang tidak hanya menakutkan. Dia terlahir dengan pribadi yang sangat baik, tetapi memiliki temperamen yang terlalu dingin. Matanya selalu setajam pedang es dan banyak orang yang tidak berani menatapnya dalam waktu lama. Dia tidak pernah bersikap ramah.

Giandra yang baik dan putranya yang anggun selembut batu giok pada umumnya. Dia pun juga berfikir dengan senyuman yang mengembang, "Aku tidak bisa melihat ada yang kurang dari diri Axelle. Aku menyipit dan tidak berani menatapmu karena cahaya yang ada di belakangmu terlalu terang. Bahkan wajah dan matamu pun terlihat begitu terang dan berbinar."

Dia begitu menyanjung nya dengan sedikit memancingnya. Dia pun tersenyum kepada Axelle dan mengangkat bibirnya, lalu ibu jari yang membelai pipinya itu tiba-tiba berpindah ke bibirnya.

"Ternyata mulutmu tidak hanya manis, tapi juga bisa mengeluarkan kata-kata manis, ya?" Ucapnya sambil menggesek dagunya, lalu membungkuk dan menciumnya lagi.

Dia membuka matanya sedikit, bahkan wajahnya yang sempurna itu terpantul di matanya. Lampu kristal di ruang tamu yang bersinar terang dan bulu matanya yang tebal melengkung membuatnya terlihat sangat tampan seperti pangeran yang datang dari cahaya dan bayangan surga.

Kelembutan ciumannya seperti rasa sayang sang pangeran kepada sang putri.

Mungkin setiap wanita memiliki mimpi untuk menjadi seorang putri dan Karin saat ini seperti sedikit tersihir.

Setelah waktu yang lama, Axelle pun segera melepaskan Karin, dan dia tertawa kecil ketika matanya yang kenyal mengenai pipinya yang kemerahan.

Tawanya itu terdengar menyenangkan dan membingungkan bagi Karin.

Melihat bahwa dia akhirnya berani untuk menatapnya. Menatap mata Axelle yang gelap dengan dalam-dalam dan berkata dengan suara yang sangat bodoh.

"Aku masih ingat jika tadi aku memintamu untuk tetap di kamar dan menungguku sampai selesai. Tapi apa ini? Siapa yang mengizinkan kamu memakai baju itu?" Dia berkata sembari menarik pakaian Karin yang sudah melekat di tubuhnya.

Karin jelas tau niat Axelle. Dia melihat ketidakbahagiaan dan rasa jijik di wajahnya saat dia menarik pakaiannya.

Dia pun langsung menggigit bibirnya dan mengecilkan tubuhnya dengan takut-takut.

Dia berpikir bagaimana dia akan menjawabnya tanpa membuatnya marah, tetapi saat ini Axelle sepertinya tidak bisa menunggu Karin untuk menjawab. Dia segera mengangkatnya dan berjalan menjauh dari ruangan itu menuju tangga.

"Kembali ke kamar!"

Karin gemetar, tapi dia tidak ingin kembali ke kamar yang penuh dengan keinginannya.

Dia mengangkat tangannya dan meraih tangan Axelle, "Pak Axelle!"

Suaranya hamper terdengar melengking tapi Axelle menatapnya dan melihat wajahnya yang menjadi pucat. Dia segera mengangkat alisnya, "Katakan! Apa yang ingin kamu katakan!"

Dia tampak tidak sabar dan Karin menjadi semakin cemas, lalu berkata, "Aku ... aku merasa tidak sehat, aku benar-benar tidak bisa melakukannya lagi dan seperti yang kau katakan jika aku sudah tidur denganmu semalaman, anda akan menyumbangkan sumsum tulang mu kepada temanku."

Begitu dia selesai, Axelle menendang pintu kamarnya hingga terbuka, dan Karin berubah menjadi gemetar. Tapi Axelle terus berjalan, memeluknya menuju sisi ranjang besar bergaya Eropa itu dan melemparkannya. Setelah itu dia menatapnya dengan pandangan merendahkan.

"Ingatanmu bermasalah! Aku hanya ingat apa yang kukatakan adalah jika kau tidur denganku sepanjang malam, aku akan mempertimbangkannya. Bukan berjanji! Bahkan menimbang pun juga bukan berarti setuju. Aku bisa menolaknya setelah mempertimbangkan kan? Paham?"

"Apa maksudnya? Dia tidak mengingat janjinya?"

"Axelle! Kamu bajingan!"

Hati Karin tenggelam karena kata-kata Axelle barusan, bahkan matanya tiba-tiba menjadi merah. Dia pun menjadi emosional dan marah karena malu.

"Aku bajingan? Apa otakmu yang tidak jalan? Apa dulu kamu bersekolah tidak pernah mendengarkan guru bahasa Indonesiamu? Apa kamu diajarkan bahasa Indonesia dengan guru olahraga?"

Axelle tertawa terbahak-bahak dengan apa yang dia katakan terakhir kali mengenai pertimbangan. Dia bahkan tidak setuju dengan gadis ini.

Otak wanita itu sendiri tidak bekerja saat ini dan dia sudah salah paham. Apa sekarang saya yang disalahkan?

Bagaimana bisa ada hal dalam dirinya yang dijual murah. Dia tidak sadar bahwa orang itu adalah Axelle dan dia berpikir bahwa sumsum tulangnya dapat begitu mudah untuk diambil? Jika dia bisa mendonasikan sumsum tulangnya untuk orang lain dengan santai, itu berarti dia sudah mempunyai rasa simpati yang begitu melimpah dan jika iya, maka dia tidak akan berada di posisi sekarang.

Semua orang tahu bahwa Axelle adalah orang yang kejam dan tidak pernah ada yang namanya rasa simpati kepada siapapun.

Karin tampak kesal dan berkata, "Axelle, kamu telah berubah. Makna yang mendasari dari apa yang kamu katakan pada saat itu sudah sangat jelas, bahwa aku akan menemanimu tidur dan kamu akan menyumbangkan sumsum tulangmu!"

Dan dengan menyetujui hal ini, dia selalu menurutimu untuk ini juga. Karena hal ini juga, dia menyerahkan dirinya, dan sekarang bagaimana bisa apa yang kamu ambil bisa kembali!

Axelle mengangkat bibirnya lagi, tatapan jahatnya membuatnya tampak seperti iblis yang turun dari neraka. Dia menjilat bibir tipisnya dan pelan-pelan berkata, "Kalaupun aku punya maksud itu, aku juga bilang kalau menemani tidur semalam. Ini bahkan belum sampai malam kamu menemaniku. Kenapa kamu merasa terburu-buru?"

"Brengsek!"

Axelle merasa bahwa dia harus tidur dengannya berkali-kali sepanjang hari, bahkan itupun tidak dihitung sebagai satu malam bersamanya?

"Apakah itu cara yang benar untuk memahami suatu malam saat tidur dengannya? Bahasa Indonesia yang diajarkan oleh guru pendidikan olahraga?

Axelle menatap mata Karin yang tidak percaya dan dengan santai melirik menuju matahari yang terlihat dari jendela besarnya itu, "Ini masih awal dari malam ini. Bagus! Mari kita pemanasan dulu!" Dia berkata sembarin membungkuk dan menekannya. Semua perlawanan Karin pun diabaikan dengan rampasan yang kuat!