Wajah Axelle menunduk dan berkata, "Apakah seluruh jadwal dan aturan saya memerlukan persetujuanmu? Kamu tidak senang jika saya kembali lebih awal? Kamu tidak bahagia?"
Axelle menatap Karin dengan curiga. Mengapa dia berpikir jika saya kembali lebih awal. Ini mengherankan sama sekali! Hal Ini bahkan tidak membuatnya bahagia!
Karin menggelengkan kepalanya terburu-buru, "Tidak pak Axelle, tidak begitu. Justru karena itu anda bisa menyelamatkan kecantikan saya dari kejadian tadi. Bahkan saya belum sempat berterima kasih kepada anda. Pak Axelle sangat baik, bagaimana bisa aku tidak bahagia."
Ekspresi Axelle sedikit melambat tapi kemudian dia melihat pipi Karin, inci demi inci, diperhatikannya dengan baik-baik.
"Seperti superman yang telah menyelamatkan Amerika Serikat menurutmu? Jadi, apa menurutmu kamu cantik?"
Wajah Karin memerah di bawah lelucon Axelle.
"Apa maksudnya?"
Tapi dia mengedipkan matanya sambil tersenyum, "Jika Anda mengatakan bahwa pak Axelle adalah seorang pahlawan seperti superman, saya harus cantik dengan nakal. Jika tidak, akan tersebar kepada orang-orang bahwa superman Axelle telah menyelamatkan seorang gadis jelek. Bukankah itu menjatuhkan ketenaran bapak?"
Axelle tidak menyangka bahwa dia akan begitu pintar berbicara. Axelle memang mengakui bahwa dia cantik dan telah membuat orang yang berhati batu pun bisa terpesona sekaligus tersipu malu dibuatnya. Dia berpikir bahwa meskipun dia tidak bisa dekat dengannya, wanita ini masih bisa menarik perhatiannya.
Setidaknya penampilannya saat ini jauh lebih menarik dan menyenangkan daripada penampilannya tadi yang seperti ikan mati tergeletak.
Jadi, dia tidak perlu khawatir lagi dan membelai pipi kanan Karin yang bengkak. Dia pun sontak menghelakan nafas dan berkata, "Semuanya bengkak seperti kepala babi, tapi saya akui kamu memang cantik dengan kulit bersih seperti ini.
Karin tertegun, " ... "
Mengapa pria ini begitu jahat. Dia memuji dan menghina di waktu yang bersamaan.
"Apa maksudmu dengan menyamakan wajahku dengan kepala babi?"
Axelle memainkan wajah Karin dan tiba-tiba teringat bahwa dia sepertinya tidak memperhatikan atas pemilihan nama wanita ini tadi.
"Karin! Namaku Karin! Dan aku bukan babi!"
Karin memang tidak terkejut jika Axelle tidak mengingat namanya. Di mata Axelle, dia hanya seseorang yang takut dengannya dan tidak pernah melihat wajahnya secara langsung.
Karin pun tidak pernah punya rasa hormat kepadanya, jadi untuk apa Axelle perlu repot-repot mengingat namanya? Lagi pula dengan mengingat namaku, tidak menjadikan manusia satu ini bisa menghormatiku kan?
Mata Axelle menjadi sedikit aneh untuk sesaat. Dia menatapnya dan berkata, "Karin itu artinya apa?"
Karin dengan tajam memperhatikan emosi anehnya, dan menjawabnya, "Kasih sayang yang manis"
Tatapan Axelle perlahan menjadi sedikit kosong dan tampak penuh kasih sayang, dia berkata dengan lembut "Karin, madu yang manis. Benar-benar nama yang bagus."
Karin berpikir bahwa orang tuanya menamainya Karin, mungkin karena dia berharap dia bisa hidup semanis madu setiap hari. Namun nyatanya, ia tidak disayangi oleh orang tuanya, malah sebaliknya adik perempuannya Bella yang begitu disayangi oleh orang tuanya sehingga namanya terkesan menyedihkan.
Kegelapan pun mulai melintas di wajah Karin.
Tiba-tiba dia merasakan dagunya menegang. Karin mendongak tetapi Axelle mencubit wajahnya dengan dua jari yang panjang dan kuat. Dia memaksa Karin untuk menatapnya. Lalu matanya bertemu dan dia mengangkat alisnya dan bertanya.
"Apa yang kamu pikirkan?"
Kesedihan yang samar masih melekat pada wanita itu sekarang. Itu membuatnya sangat tidak nyaman saat ini. Dia ingin tahu apa yang dia pikirkan secara diam-diam, lagipula dia juga menunjukkan ekspresi sedih.
Karin menatap mata Axelle yang dalam dan kemudian dia menggelengkan kepalanya dan tersenyum seolah-olah tersihir, "Aku baru saja memikirkan orang tuaku."
"Orang tuamu? Mereka memperlakukanmu dengan buruk? Atau, mereka telah meninggal?"
Jika bukan karena situasi ini, Axelle tidak akan membuatnya mengingat hal-hal tentang orangtuanya. Namun, ekspresinya saat ini memang sangat menyedihkan.
"Pak Axelle benar-benar berfikir bahwa namaku bagus?"
Karin tidak menjawab pertanyaan Axelle, dia justru bertanya balik.
"Rin, manis, itu memang nama yang bagus dan sangat cocok untuk perempuan yang..." Axelle mengatakannya sembari mengangkat alisnya
Karin mengerutkan bibirnya dan tersenyum, "Ya, aku juga pernah berpikir bahwa nama ini diberikan oleh orang tuanya untuk putri tercintanya dengan harapan yang baik. Sayangnya orang tuaku...."
Dia menghentikannya dan tidak ingin berbicara tentang ini dengan orang asing. Meskipun begitu, Axelle sudah bisa menebak apa yang akan dikatakannya.
Dia mencibir dan meliriknya dengan jahat lalu mengeluarkan kalimatnya, "Apa yang menyedihkan tentang ini? Mereka tidak akan berperilaku buruk kepadamu, sudah ganti saja namamu jika kamu tidak suka. Pilih apa yang kamu suka dan sesuai denganmu."
Karin terkejut, tapi dia juga tidak berharap Axelle bisa mengatakan sesuatu yang sekaligus bisa menenangkan dan menghiburnya.
Tapi faktanya, dia memang tidak pernah memikirkan James dan Rosa selama lima tahun terakhir. Dia telah diusir dari rumah lima tahun yang lalu dan dia sakit hati atas hal itu.
"Namun, menurutku itu nama yang bagus, Ka Rin" Axelle bergumam lagi tapi nadanya seperti ingat sesuatu tapi dia juga tidak tahu siapa teman lama yang dipanggilnya itu.
Karin lalu sedikit mengernyitkan dahinya, dan dia selalu merasa aneh saat Axelle menyebutkan namanya dengan lembut.
Dia bahkan memiliki perasaan bahwa Axelle seolah-olah tidak menyebutkan namanya, tetapi memikirkan seseorang melalui namanya itu.
Apakah dia mengenal gadis lain yang juga bernama Karin?
Karin bingung, tapi Axelle telah tersadar dan dia berteriak, "Dion!"
Dion dengan cepat segera turun tangan, "Pak Axelle memanggil saya?"
"Pergi dan siapkan beberapa es batu."
Dion tertegun. "Es batu? Untuk apa bapak membutuhkan es batu? Apakah bapak ingin minum es? Aku akan menyiapkannya."
Axelle melirik Dion dengan raut muka yang tidak enak dan berkata dengan marah. "Apa kau tidak melihat wajah Karin bengkak? Kau benar-benar bodoh!"
Dion, "hmm.. bukan begitu."
Dion memang tidak melihat wajah Karin yang kemerahan dan bengkak, tapi Dion sudah menjadi pengawal Axelle selama bertahun-tahun. Sedikitpun tidak ada yang namanya kepedulian dalam dirinya. Di masa lalu, ada kecantikan tertentu yang sengaja di dapatnya untuk menghancurkannya. Bahkan teriakan yang dihasilkan itu bisa disebut kesengsaraan hidup. Pak Axelle bahkan tidak berhenti untuk menyakiti.
Siapa yang tahu bahwa orang yang memiliki kepedulian seperti ini ingin mengoleskan es ke wajah bu Karin hari ini?
Matahari benar-benar terbit dari barat.
Dion dibentak tetapi dia tidak berani mengatakan apa-apa, dan buru-buru menjawab. "Baik pak, tunggu sebentar."
Dia dengan cepat berjalan menuju lemari es di kamar direktur lalu mengambil es batu yang dibungkus dengan kain dan membawanya ke bosnya.
Axelle mengambil kantong es dan memegang wajah Karin dengan satu tangan. Dengan lembut dia mengelap area merah dan bengkak di wajahnya dengan sekantong es.
Karin meringkuk sebentar lalu mengulurkan tangannya untuk memegang kantong es, dan berulang kali berkata. "Jangan pak Axelle, jangan! Saya akan melakukannya sendiri, saya bisa melakukan ini sendiri!"
Dia selalu merasa bahwa mengelus wajahnya perbuatan yang sangat intim untuknya, jadi bagaimana Axelle bisa melakukannya.
Saat dia mengulurkan tangannya, Axelle tidak mau melepaskannya, sehingga tangan Karin memegangi tangan Axelle.
Axelle mengangkat alisnya dan pandangannya langsung tertuju pada Karin yang menggenggam tangannya itu, "Jangan main-main, atau aku akan berpikir kamu mengambil kesempatan untuk merayuku dan memanfaatkanku."
Karin berkata, "hmm"
Dia ketakutan dan buru-buru menarik tangannya dengan tidak nyaman.
Axelle sudah memegang salah satu pipinya dan perlahan-lahan memberikan kompres dingin. Melihat matanya tertunduk diam, ada senyuman mengalir di matanya, "Tidak ada lagi yang bisa mengganggu mu lain kali, apakah kamu mendengarnya Karin?"
Nadanya yang serius natural. Dia bergerak dengan hati-hati, seolah dia adalah harta yang paling berharga namun rapuh.
Karin dirawat olehnya, bulu matanya berkedip dengan cepat. Dia tidak mengerti mengapa Axelle tiba-tiba menjadi begitu lembut saat dia menyebut namanya. Dan tiba-tiba dia menjadi lebih baik sekarang.
***
Tapi kenapa ini terjadi? Apakah pria ini masih main mata sebelum pertandingan?
Karin sedikit tidak nyaman dengan kehangatan dan perhatian yang diberikan Axelle padanya. Sejak dia masih muda, hanya Giandra yang merawatnya seperti ini.
Orang tua dan saudara perempuannya yang paling dekat dengannya pun selalu kasar padanya sehingga membuat dia tidak terbiasa dengan perhatian seperti itu.
Dion yang berdiri di sampingnya dan mendengar kata itu, membuka lebar matanya dan bertanya, "Siapa namanya pak? Karin? Madu"
"Ya Tuhan, bukankah itu.."
Dion melirik Karin dengan sedikit rasa simpati. Tak heran kenapa pak Axelle begitu istimewa melakukan sesuatu untuknya, ternyata ini memang terasa begitu manis.
Karin tertegun seolah-olah dia terlihat sangat konyol. Melihat mata Karin yang tertunduk dan tidak berbicara, membuat Axelle mengangkat alisnya dan berkata, "Apa kamu bodoh? Jawab!"
Karin tiba-tiba tersdarkan, tetapi dia juga bertanya kebingungan, "Mengapa tiba-tiba kamu begitu baik padaku?"
Dia benar-benar sangat aneh, dia selalu merasa bahwa sikap Axelle terhadapnya tiba-tiba menjadi jauh lebih baik setelah mendengar namanya.
Axelle terkejut dan kemudian di wajahnya yang tampan muncul kemerahan karena malu. Dia mengangkat alisnya dan melempar kantong es itu pada Karin, "Siapa yang memperlakukanmu dengan baik? Kamu wanita yang sangat baik tapi juga tidak tahu diri." Kata Axelle dan berdiri, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku, dan melangkah ke arah jendela yang terbuat dari kaca Perancis.
Seolah takut akan terjadi kesalahpahaman dengan Karin. Dia berbalik lagi dan menatap Karin dengan tajam, lalu menjelaskan padanya dengan hati-hati.
"Aku yang membawamu masuk kesini. Aku hanya tidak ingin kamu keluar dengan keadaan seperti ini sehingga orang-orang akan berpikir bahwa Axelle lah yang telah memukuli seorang wanita. Pikirkan itu! Dengarkan baik-baik."
Karin juga merasa bahwa Axelle tidak seperti orang yang biasa yang bisa bersikap baik kepada orang lain. Melihatnya dengan wajah yang dingin dan cuek, dia buru-buru mengangguk, "Oh, aku paham sekarang. Terimakasih pak." Axelle berbalik dan melihat kembali ke luar jendela dengan tatapan kosong di matanya. Alisnya pun ikut berkerut karena kebingungan.
Dia berfikir bagaimana dia bisa baik pada Karin? Dia sudah bersumpah bahwa dalam hidup ini, semua kelembutannya akan diberikan kepada satu gadis, hanya untuk gadis itu. Gadis itu adalah wanita yang dia tunggu-tunggu dan dia telah bersumpah untuk menikahinya. Dan wanita itu jelas bukan Karin yang tiba-tiba muncul di hadapannya sekarang.
Karena memikirkan wanita di dalam hatinya, Axelle malah tersenyum dan terlihat lembut dan penuh kasih sayang.
Ya, dia memang ingin menjaga Karin di sisinya, tetapi hanya untuk mencari tahu bagaimana dia bisa hanya bereaksi dengan Karin. Memperlakukannya sedikit lebih baik juga tidak salahkan, dia juga memiliki nama yang sama dengan Karina, dia terlalu merindukan Karina.
Memikirkan hal ini, Axelle tiba-tiba kehilangan minat untuk tinggal di sini lagi. Dengan tiba-tiba dia berbalik dan melangkahkan kakinya yang panjang untuk berjalan keluar dengan acuh tak acuh.
Karin berdiri dan mengejar langkahnya, "Pak Axelle, kau mau kemana?"
Axelle tidak menoleh ke belakang, bahkan ia tidak berhenti atau bahkan melihatnya sekali lagi. Dia dengan cepat membuka pintu dan berjalan keluar.
Dion yang telah keluar sedari tadi sedang bersandar di dinding kamar untuk merokok. Dia tidak mencegah Axelle keluar, tapi melihatnya cukup membuatnya tersedak dan batuk, "Pak?"
Axelle berjalan melewati Dion dan berjalan lurus ke depan tanpa menoleh ke belakang sedikitpun, lalu berkata, "Suruh dia pergi."
Ekspresi Axelle yang terburu-buru saat ini seperti mengejar hantu. Bahkan tanpa sadar, Dion menoleh ke belakang dan melihat bahwa Karin juga berdiri di depan pintu dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan. Karin menatap dirinya sendiri dengan lamunan kosong.
Dion tertegun dan berkata, "Pak Axelle mungkin hanya ingat sesuatu yang membuatnya sesak, Karin."
Ini bukan pertama kalinya Axelle merasakan ini dan tiba-tiba dia menjadi moody.
Dia tidak peduli sama sekali dengannya namun dia tetap tersenyum pada Dion, dan menggelengkan kepalanya lagi dan lagi.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa, kalau begitu aku akan mengantar ibu Karin kembali sekarang."
Karin buru-buru melambaikan tangannya dan berkata, "Tidak. Aku akan pulang sendiri."
Dia berjalan keluar dan dengan tiba-tiba melihat pakaiannya setelah dua langkah. Dia berhenti lagi da tersenyum pada Dion. Dia kembali ke kamar mandi dan membersihkan pakaian kotornya yang baru saja dia lepas.
Melihat pakaian kotor Axelle juga menumpuk, Karin memutar matanya dengan senyuman licik yang melintas di bibirnya. Dengan cepat dia juga membersihkan pakaian kotor Axelle.
Dia berjalan keluar dari kamar mandi dengan pakaian di tangannya, lalu melihat Dion dengan penuh pertanyaan, "Karena pakaian ini, Tuan Axelle menambah hutangnya sebesar satu juta, apakah itu berarti saya telah membelinya? Lalu, haruskah saya membawanya pulang juga?"
Dion tertegun sejenak, bertanya-tanya apa Karin menginginkan pakaian kotor ini?
Tetapi setelah berpikir lagi, dia ikut tersenyum ambigu, mungkin Karin ingin mengambilnya kembali dan mencucinya. Lalu kemudian mengirimkannya kembali ke Axelle untuk menunjukkan kebaikannya. Dion mengangguk, "Tentu saja, pakaian ini sekarang adalah hak anda."
Karin dengan senang hati berterima kasih pada Dion. Dengan memegangi pakaian itu, karin berjalan cepat keluar dari kamar direktur itu.
Karin berulang kali menolak tapi Dion juga tidak bersikeras untuk mengantarnya pulang dan berkata, "Ibu Karin, berhati-hatilah sepanjang jalan dan jangan lupa kamu harus bekerja di vila besok. Pak Axelle tidak menyukai orang yang tidak dapat dipercaya dan tidak tepat waktu."
Karin mengangguk dan mengucapkan selamat tinggal kepada Dion. Dia masuk ke dalam lift untuk mengarah ke lantai pertama dan keluar dari hotel itu.
Tapi sebelum dia meninggalkan hotel itu dengan cepat, dia mampir ke kamar mandi yang ada di lantai lima sambil memegang pakaiannya.
Dia segera melepas rok yang ada di tubuhnya dan kembali memakai bajunya sendiri. Kemudian keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang tadi sudah terlipat
Tepat ketika seorang pelayan datang. Karin melangkah maju dan bertanya, "Halo, apakah ada pertemuan bisnis di hotel ini hari ini? Apakah sudah tiba waktunya makan siang? Di lantai berapa ruang perjamuan tempat makan siang itu diadakan?"
Pelayan itu menatap Karin dengan curiga tapi Karin buru-buru menunjuk gaun di tangannya dan berkata, "Itu baru saja, Bu Marlin dari Real Estate mengalami kecelakaan dan gaunnya rusak. Dia menelepon dan meminta saya untuk mengantarkannya satu set gaun baru."
Pelayan itu tina-tiba menjawabnya tanpa ragu dan berkata, "Sekarang para tamu wanita sedang menunggu di lobi di lantai tiga. Jika anda mengantarkan pakaian itu, tolong pergi dengan cepat."
Karin berterima kasih padanya dan langsung pergi menuju lantai tiga.
Ketika dia sampai di lantai tiga, dia tidak segera pergi ke lobi, tetapi berjalan ke arah kamar mandi.
Dia menduga kamar mandi pasti sangat ramai sekarang.
Benar saja, saat ini, jamuan makan siang akan segera dimulai dan banyak wanita yang datang ke pesta menggunakan make up untuk merias wajah.
Sebelum Karin mendekat, dia mendengar para wanita mengobrol di dalam, "Axelle benar-benar akan membawa seorang wanita bersamanya?"
"Tidak, kudengar Axelle tidak dekat dengan wanita manapun. Dia juga tidak pernah terlihat membawa wanita ke acara seperti itu."
"Memang benar, saya juga melihat dengan jelas. Axelle secara pribadi menarik wanita itu sendiri saat memasuki hotel ini."
"Wanita jalang mana yang menyuruhku untuk melihat pemandangan itu. Bahkan aku ingin menghancurkan wajahnya itu."
...
Karin berjalan ke kamar mandi saat ini dan melambaikan tangannya, lalu dia tersenyum manis, dan bilang, "Hei, wanita yang kalian bicarakan itu adalah aku!"
Sekelompok wanita yang sedang asik mengaca itu seketika terkejut.