"Makanannya enak sih, tapi ... kalian sadar nggak ini di tengah pertarungan?"
Bagastara tersenyum main-main. Bukannya menjawab, dia justru meraih salah satu daging dan meletakkannya ke piringku. Aku sungguh tidak mengerti apa yang dia pikirkan.
Merasa tidak akan mendapat jawaban dari lelaki dewasa yang sama sekali tidak bersikap dewasa itu, aku mengalihkan pandangan pada Andira dan Damar yang sama-sama tenang.
"Halo?"
Damar menjawab tenang tanpa membalas tatapanku.
"Kita hanya bertiga."
Andira tertawa kecil saat aku menatapnya kebingungan.
"Mereka ada banyak, Randy. Bila kita pergi dan menyerang mereka sekarang, sekuat apa pun, kita akan tetap kalah. Tujuan dari quest ini bukan untuk mengalahkan musuh terbanyak, tetapi mendapatkan semua potongan title."
Benar sih, tetapi melihat mereka setenang ini di tengah pertarungan tetap membuatku kagum. Mereka seperti sudah terbiasa pada pertarungan. Tidak. Mereka memang sudah terbiasa. Bagastara telah membunuh banyak orang daripada yang kubayangkan. Dia bahkan ditakuti oleh penduduk. Sementara Damar telah membunuh kelompok Gerr dan bandit-bandit yang menyerang sepanjang jalan. Sementara itu, Andira berada di kelompok Kenneth sebelum melarikan diri.
Aku jadi merasa seperti satu-satunya orang yang merengek di sini.
Andira tertawa ringan.
"Tidak masalah kalo lo khawatir gitu. Senang rasanya bisa lihat orang yang masih polos di antara dua psikopat gila."
Bagastara berpura-pura terluka sementara Damar menatap Andira tajam.
Aku menghela napas.
Bagastara menambahkan, "Lagipula kita di sini untuk menemui seseorang."
"Siapa?"
Pintu rumah tiba-tiba terbuka.
Seseorang bertudung masuk sambil menunduk. Dia adalah orang yang sama dengan yang ada di alun-alun. Raja dari wilayah selatan. Ketika melihatnya dari dekat, aku bisa merasakan perbedaan tinggi kami dan kharisma yang memancar darinya. Rambutnya yang panjang tidak tertutup sepenuhnya oleh tudung. Akan tetapi, tidak ada kulit lain yang terlihat selain dagu tegas dan bibir kecilnya. Tangannya bahkan menggunakan sarung tangan dan kakinya menggunakan sepatu boot yang menutup hingga betis.
Dia berpakaian seperti informan bayaran di game.
Strength : 134
Agility : 867
MP : 100/130
Durability : 98 /98
Stamina : 150/150
Exp : 165
[One Hit], [Closest Range], [Sword Master], [The Silent Call], [The Great Assassin]
Mulutku terasa kering.
Orang ini assassin. Dia benar-benar memiliki skill untuk mendukungnya.
Hal lain yang mengejutkanku adalah dia tidak memiliki [King of South Grassland].
"Aku tahu kalian akan datang."
Kalian?
Tawa kecil terdengar dari belakang Assassin itu. Ada seorang gadis yang seumuran dengan Andira muncul. Akan tetapi, ekspresinya yang main-main membuatnya terlihat jauh lebih muda. Tidak seperti assassin di sebelahnya, gadis itu menggunakan gaun sederhana dan matanya terlihat seperti air laut yang berkilau. Cantik sekali.
Tubuh gadis itu kurus kecil. Rambutnya diikat manis dengan dua pita. Wajahnya yang kecil dan mulut membuatnya terlihat seperti boneka. Hidungnya mungil dan mulutnya juga kecil. Lehernya ditutup choker berwana hitam dan berenda. Tangannya memegang bola berwarna hitam dan bekerlip seperti bintang di langit malam yang cerah.
Manis.
Gadis itu bahkan sedikit memiringkan kepala saat menyapa.
"Halo, Bagastara!"
Bagastara membalas dengan suara ringan meski matanya menatap dingin.
"Aku terkejut kau akan menyapaku dengan riang, Lucy."
Apa yang dia lakukan?
Seolah mengetahui pikiranku, Bagastara tersenyum.
"Ah dia!" pekiknya riang. "Dia yang membuatmu lebih bahagia."
"Lo ngomong apa sih?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, gadis itu justru terkikik geli.
Strength : 30
Agility : 87
MP : 347/467
Durability : 345 /345
Stamina : 150/150
Exp : 32
[Oracle] [Liveless Hope] [King of South Grassland] [The Eye on You]
Nama-nama skillnya terlihat aneh, tetapi skill Oracle lah yang membuatku membeku.
"Lo ...."
Damar menendang kakiku. Saat aku melihatnya untuk memprotes, lelaki itu hanya menatap gadis itu dengan pandangan tidak suka. Oh iya. Aku harusnya menyembunyikan [Eyesight].
Bagastara meletakkan gelasnya. Auranya begitu gelap saat berbicara.
"Jadi, apa yang inginkan?"
Wanita yang menggunakan tudung itu sedikit menunduk. Dia memegangi pedangnya erat-erat. Bahkan mulai mengeluarkan sedikit pedangnya. Bersamaan dengan itu, rantai Damar berdenting.
Mungkin karena mereka sama-sama memiliki skill sword master, ketegangan di tempat itu terasa mencekik.
Bagastara berkata tajam. "Kau tahu kalian takkan menang melawanku."
"Aku tahu. Astari! Tenang!"
Meski wanita bernama Astari itu tidak mendengar, dia juga tidak terlihat akan menyerang. Meski itu tidak penting karena dengan agility setinggi itu, Astari akan melompat ke belakang kami tanpa kami sadari.
Sadar akan pemikiran itu, kubah merah tipis itu mulai mengelilingi kami. Andira hanya tersenyum tipis seolah dia tak mengharapkan pertarungan. Tetapi, matanya menatap awas siap bertahan kapan pun.
Aha!
Aku merasa tidak berguna seperti raja catur.
"Aku kemari untuk menawarkan kesepakatan. Seperti yang kalian ketahui, aku tidak tertarik menjadi raja di Grassland. Tidak tertarik juga dengan EXPnya. Aku akan memberikan gelar ini dan membantu kalian mengalahkan orang-orang dari Fraksi Dimas dan Kenneth. Aku tahu kalian berencana menyerang setelah pertarungan mereka berakhir, tetapi dengan tiga orang, itu tetap sulit, kan?"
Sudur bibir Bagastara bergetar. Dia tahu itu benar. Damar sendiri juga mendengus. Pegangannya pada pedang tidak mengendur. Matanya masih menatap awas pada Astari yang juga balik mengawasinya.
Setelah keheningan yang mencekik itu, Bagastara akhirnya berkata, "Sebagai gantinya?"
Senyum Lucy merekah. Tatapannya yang penuh rasa penasaran tertuju.
"Biarkan aku melihat masa depannya."
"Nona Lucy!" pekik Astari. "Anda bilang ...."
"Diam, Astari!"
Swordmaster itu diam. Sebenarnya seberapa besar pengaruh Lucy hingga dia bisa membuat wanita sekuat Astari bungkam hanya dengan satu perintah?
Bagastara lah yang menjelaskan tentang mereka.
"Astari adalah pengasuh Lucy sejak dia masih di dunia manusia." Bagastara tersenyum memprovokasi. "Lukamu sembuh? Aku menyerangmu dengan lembut mengingat kita sama-sama pembunuh."
Astari menggeram. "Bajingan."
Tangan Lucy terangkat untuk menghalangi Astari yang benar-benar ingin melompat menyerang. Matanya kali ini berkilat kesal.
"Aku memang meminta Astari untuk tidak menyerang, tapi bila kau memprovokasinya terus, mungkin kepalamu lah yang akan menggelinding kali ini, Bagastara."
Mata Bagastara berkilat menantang. Bayangannya mulai bergerak.
Damar bahkan sudah tidak sabar untuk ikut campur.
Untuk menghindari hal itu, aku segera berdiri hingga kursi yang kududuki terdorong jatuh. Aku menggebrak meja.
"Setop!"
Seluruh pandangan mengarah padaku.
"Bukankah kalian kemari ingin bernegosiasi?"
Mata Lucy berkilat senang. "Aku senang ada yang masih berkepala dingin di sini."
"Jangan tertipu dengan tampangnya, Randy! Dia akan mengintip seluruh masa depanmu seperti orang gila."
"Apa kau masih marah karena masa depanmu, Bagastara?"
"Aku lebih marah karena kau masih berdiri di sini padahal aku telah memenggal kepalamu sebelumnya."
Mata Lucy berkilat, kali ini diisi oleh sedikit murka.
"Terima kasih, karena berkatmu aku tahu apa fungsi [Liveless Hope]."