Ada dua cara untuk merebut title [King of Grassland]. Pertama, bunuh mereka. Kedua, mereka menyerahkannya dengan suka rela. Akan tetapi, melihat ekspresi Damar saat dia akan pergi, Bagastara yakin hanya Lucy yang berkesempatan menyerahkan title itu dengan suka rela.
Bagastara tertawa kecil saat berjalan di bawah bulan.
'Yah, aku juga tidak ingin membiarkan Dimas menyerahkan title itu begitu saja.'
Meski begitu, ini akan menjadi pertarungan yang sulit karena skill [Holy Spear] milik Dimas. Skill Phantomnya memiliki atribut Darkness dan kekuatan suci adalah atribut yang paling menyusahkan untuknya.
The Natural Enemy.
Kenyataanya, atributnya memiliki musuh alami yang lebih banyak daripada atribut lain. Meski begitu, Damar adalah pengecualian. Elemen alam, kekuatan dari pedang emas yang terasa suci, dan atribut kegelapan yang berpadu tetapi tidak cukup untuk meledakkannya. Terlebih atribut kegelapan itu cukup kuat untuk menandingi [Jack The Reaper].
Sungguh menarik.
Sudah cukup sulit untuk mencari seseorang dengan atribut kegelapan sebaik Damar, tetapi mengimbanginya dengan atribut lain jelas lebih tidak masuk akal. Terlebih, Damar masih terlihat sangat waras.
Bagastara terkekeh saat mengingat Damar yang mendatanginya begitu Randy tertidur. Ketika ada Randy, Damar memang terlihat sedikit kejam, tetapi ketika lelaki itu tidak melihatnya, sedikit kejam tidak lagi bisa mendeskripsikannya.
Damar seperti hewan buas yang siap mencabik orang yang menganggu jalannya.
Genggamannya pada pedang saat mengayunkannya tidak goyah. Dia tidak ragu ataupun peduli jika serangannya akan membunuh Bagastara. Akan tetapi, masih cukup naif untuk menahan serangan itu agar tidak merusak sekitarnya. Kekurangan lain yang dimilikinya adalah cara bertarungnya yang maju dan adil seperti pertarungan di atas ring. Gaya bertarung seperti itu hanya akan membawa kekalahan dan kematian untuknya.
Mungkin Bagastara merasa sayang pada bakatnya, karena itulah dia justru menahan serangannya di saat yang tepat. Lebih mengejutkan lagi, dia justru memberi saran. Ketika mendengar sarannya, Damar menatapnya tajam dengan napas terengah-engah. Dia terlihat seperti anak anjing yang menggeram tak percaya.
Benak Bagastara dipenuhi kebahagiaan. 'Anak anjing yang akan berubah menjadi serigala sebentar lagi.'
"Aku berniat membunuhmu."
"Bagus," balas Bagastara. Senyumannya semakin lebar. Damar menggeram kesal. "Tetapi kau petarung, bukan pembunuh. Dua hal ini memiliki perbedaan yang mendasar. Kau tahu apa bedanya?"
Damar tidak menjawab, tetapi matanya menanti.
"Sasaran." Damar mengerjap bingung. Sehingga Bagastara melanjutkan, "Seorang pembunuh tidak menghadapi targetnya. Kami bergerak setenang mungkin, membunuh saat target benar-benar lengah. Tetapi kau berbeda. Kau mungkin bermaksud membunuh lawanmu, tetapi kau menghadapinya. Kau bertarung di depan musuhmu untuk membunuhnya. Cara bertarung semacam itu takkan berguna saat menghadapi orang yang lebih kuat. Kau cerdik dan kuat, tapi sampai kapan?"
Dahi Damar berkerut. Sorot matanya dengan jelas menunjukkan bahwa dia mengerti dengan apa yang dimaksud Bagastara.
"Kondisi itu takkan terpenuhi setiap saat."
"Memang benar. Disitulah peran informasi. Itu juga alasan kemampuan Randy sangat menggiurkan."
Bagastara tertawa renyah saat melihat tatapan membunuh yang Damar tunjukkan ketika dia menyebut nama Randy.
"Aku tidak punya skill yang cocok untuk gaya bertarung seperti itu."
Bagastara mengangkat bahu ringan.
"Itu tidak masalah. Aku juga bukan pemilik skill [assassin] yang bisa membunuh dengan sangat tenang dan sebagainya. Aku membunuh karena itu menyenangkan. Setidaknya, kami memiliki dasar yang sama."
Damar begidik jijik.
"Dan lagi, kau tidak mungkin bisa bergerak setenang saat aku menggunakan Phantom Step. Kekuatanmu adalah sesuatu yang meledak-ledak, tetapi kekuatan sebesar apa pun takkan efektif bila targetnya sadar dan bersiap menghadapinya."
Damar menggigit bibir. Dia tahu yang dikatakan Bagastara benar, tetapi harga dirinya tak memperbolehkannya untuk mengakuinya.
'Benar-benar masih muda.'
Setelah beberapa detik kekacauan di kepalanya, Damar menatap Bagastara penuh tekad.
"Aku harus bagaimana?"
"Pilih waktunya. Lepaskan kekuatanmu di saat yang tepat. Kita tidak bertarung untuk menang. Kita bertarung untuk membunuh." Kali ini suaranya lebih ceria saat menambahkan, "Kita hanya perlu satu orang naif dalam tim."
"Aku tidak sudi satu tim denganmu."
Seseorang yang memiliki kekuatan sekompleks itu dan memiliki kewarasan serta kesadaran untuk menggigit dan memakan apa pun yang menguntungkannya, jauh lebih menjanjikan daripada seseorang yang lahir dengan kemampuan yang hebat. Damar tidak memiliki kemampuan besar, tetapi benih yang dimilikinya akan tumbuh menjadi bunga yang sangat bagus dan berbahaya.
"Untuk apa kamu mengajariku? Aku tahu itu tidak gratis."
Terlebih lagi dia tidak naif. Dia tahu apa yang harus dilakukannya. Hanya saja terlalu mudah curiga. Itu bagus. Tidak masalah bagi Bagastara untuk menjawab pertanyaan itu dengan jujur, tetapi jawaban lain akan lebih memuaskan Damar.
"Karena aku memerlukan Randy."
Damar mendengus puas. "Aku sudah menduga itu."
Kekuatan Randy sangat berguna bagi orang lain, tetapi dimiliki oleh orang dengan tubuh dan mental yang lemah. Naif dan murni. Mudah baginya untuk menghancurkan Randy, menjatuhkannya dalam keputus asaan, dan membuatnya ada di tangan Bagastara. Akan tetapi, apa yang menyenangkan dari itu?
Terlebih lagi, tatapan Randy benar-benar sama dengannya.
"Merubah masa depan, huh?"
Bagastara terkekeh saat mengingat gadis yang dulu berteriak penuh percaya diri padanya dulu. Gadis takkan pernah dia lupakan meski tubuhnya mungkin telah menyatu dengan tanah.
'Aku akan merubah masa depan. Meski aku ditakdirkan lahir di tengah kemalangan dan bahkan tidak diinginkan, tetapi aku bisa memilih masa depanku sendiri.'
"Kalau kalian semirip itu, bagaimana bisa aku membiarkannya begitu saja?"
Bagastara berjalan dalam keheningan. Orang-orang terlihat kelelahan. Bayangan-bayangan itu bergerak tanpa disadari targetnya. Saat mereka sadar, bayangan itu telah menyelesaikan pekerjaannya tanpa membuat suara gaduh.
Bayangan itu bahkan memakan mayat-mayat itu hingga menghilang setelah menusuk dada atau menjerat lehernya. Tidak akan ada yang menyadari rekannya menghilang. Kelompok Dimas adalah kelompok yang jauh tidak stabil daripada kelompok Kenneth. Karena sebenarnya kelompok ini tak berbeda jauh dengan Faiz atau dirinya.
Hanya ada satu individu kuat. Bedanya hanyalah individu kuat itu menyukai sorakan dan membiarkan orang-orang mengekorinya. Bila Faiz adalah berandal senang bertarung yang senang bergerak kesana kemari sendirian tanpa diganggu orang lain. Dimas adalah berandal dalam kelompok yang senang bila rekannya memuji.
Terlebih lagi, berandal bodoh itu ingin menjadi pahlawan dan diagung-agungkan.
Bila Bagastara harus mendeskripsikan Dimas dalam satu kalimat, maka yang muncul adalah 'Idiot narsis yang diberi kekuatan.' Bagastara bahkan tak terkejut saat mendengar nama Dimas disebut oleh sekelompok orang yang berdiri di keremangan dalam perjalanannya membunuh Dimas.
"Gue nggak nyangka si idiot Dimas bakalan berhenti nyerang Kenneth. Sialan. Kalau dia nggak capek saat waktunya habis, mustahil buat kita merebut titlenya."
Bagastara menahan tawanya dan berjalan ke dalam bayangan yang menyembunyikannya dan mendengar orang-orang ini menyusun rencana untuk mengalahkan ketua mereka sendiri. Dimana pun dia berada, selalu ada orang-orang semacam ini. Dia bahkan orang yang selalu berada di sebelah Dimas sambil meneriakkan sanjungan paling keras.
Salah satu gadis yang selalu menempel pada Dimas begidik jijik.
"Aku tidak mau dipimpin oleh idiot macam dia."
"Lo pikir gue mau?"
"Lalu apalagi yang harus kita lakukan?"
Satu orang yang paling tenang dari ke lima orang itu tiba-tiba memukul temannya yang sedari tadi bicara hingga terjatuh. Bagastara menatap terkejut dan bahkan hampir tertawa saat melihatnya.
'Seharusnya aku bawa popcorn.'
Orang itu dengan kejam kembali memukul wajah rekannya dan membuatnya babak belur. Dia bahkan tidak peduli bila temannya yang lain hendak menghentikannya dan menjerit mempertanyakan apa yang dia lakukan.
Selesai menghajar temannya hingga merintih dan bergelung, orang itu berdiri dengan santai.
"Bawa dia! Katakan Bagastara datang dan menyerang kita saat berpatroli."
Senyum kejam muncul bersamaan dengan matanya yang berkilat.
"Selanjutnya biar aku yang mengurus."
Saat itu, tujuan Bagastara berubah. Bagaimana mungkin dia akan menggagalkan pertunjukan yang sangat menarik ini?