Chereads / The Perfect Key / Chapter 30 - Chapter 34

Chapter 30 - Chapter 34

'Apa kau percaya bahwa kematian bukan akhir dari sebuah cerita?'

Suara di belakang kepalanya terasa begitu dingin sekaligus menggoda di saat yang sama. Sebuah suara yang sarat akan kekuatan dalam kegelapan yang memabukkan. Suara itu terdengar yakin sekaligus lelah. Seperti es yang dingin.

Untuk pertama kalinya sejak dia masuk ke dunia ini, Bagastara merasakan ketakutan menggerayangi punggungnya.

Bagastara memaksakan diri tertawa. "Yang benar saja."

Dalam waktu yang singkat itu, Bagastara bisa melihat wajah Dimas yang terbelalak. Dia menghentikan serangannya dan tangan yang memegang tombak itu gemetar. Dia menyentuh tangannya yang gemetar dengan tangan lain. Matanya bergetar tak percaya. Pikirannya kacau.

'Apa-apaan itu?'

Apa aura hitam mengerikan yang muncul dari Bagastara? Apa aura hitam yang membuatnya seperti melihat kematiannya sendiri?

Tanpa sadar, Dimas melangkah mundur.

Tombak di tangannya mengeluarkan aura emas yang samar. Aliran aura itu terlihat sangat lemah dibanding aura hitam yang tajam dan dingin di depannya. Seperti lentera kecil di kegelapan di tengah hutan. Akan tetapi, Dimas bisa mendengar suara tombak yang selalu menjadi pemandunya.

'Musnahkan!'

Hanya dengan perintah itu, Dimas melompat lagi. Dia tidak takut. Dia tidak boleh takut.

'Cahaya akan mengalahkan kegelapan. Keadilan akan mengalahkan kejahatan.'

"Aku adalah pahlawan."

Tepat saat Dimas meneriakkan kata itu, Bagastara membuka mata. Dia bisa meraskaan sesuatu diukir di jiwanya. Dia juga bisa merasakan sesuatu akana muncul di tangannya. Aura hitam yang dingin dan gelap itu bergerak.

Rasanya berbeda dengan saat dia menggunakan [Phantom Soul]. Kegelapan itu terasa lebih dalam. Lebih gelap. Lebih mengerikan. Rasanya seperti menyentuh kematian itu sendiri dengan tangannya.

Jantung Bagastara berdebar kencang. Otaknya dipenuhi kegembiraan.

Dia tahu apa yang akan di dapatkannya.

Sepanjang yang dia ketahui, skill di dunia ini tidak hanya dibagi menjadi title dan skill, tetapi juga bentuk lain. Skill mati dan skill hidup. Skill mati adalah skill yang serta merta hanya dimiliki oleh pemiliknya. Sementara Skill hidup adalah skill yang memiliki kehidupan di dalamnya. Bisa berupa spirit, peri, ataupun malaikat bahkan iblis.

Spirit dibagi menjadi 5 unsur alam. Tanah, Air, Udara, Petir, dan Api. Unsur alam seperti hutan dan pohon dikuasai oleh para Dryad. Air di laut dikuasai makhluk lain. Sementara Cahaya dikuasai oleh Malaikat. Kegelapan dikuasai oleh para iblis.

Salah satu Skill hidup adalah [Living Weapon] dan [Elementalist] milik Damar yang sangat spesial karena mampu menguasai lima unsur alam, belum lagi [Golden Cage] yang memiliki atribut cahaya. Damar akan menjadi seseorang yang lebih kuat daripada siapa pun yang pernah dikenalnya selama ini. Mungkin karena itulah dia berharap Damar akan bertahan di dunia ini.

'Dunia ini akan hancur.'

Seseorang seperti Dimas takkan mampu menyelamatkannya.

Bagastara mengangkat tangannya seolah siap menerima apa pun senjata yang muncul.

Suara itu kembali lagi.

'Aku akan bertarung denganmu meski harus melawan kematian.'

Bagastara lagi-lagi tertawa.

'Jangan tersesat dalam kegelapan!'

Dengan satu frasa itu, sebuah senjata terbentuk. Kegelapan yang begitu pekat membuatnya terlihat bersinar. Tombak Dimas menghantam benda tajam. Suaranya dentangan itu terdengar keras.

Saat aura hitam itu menghilang, Bagastara bisa melihat sabut hitam yang berkilau di mata sabitnya. Sabit yang begitu indah dengan aura hitam yang memancar mengagumkan. A Bagastara terasa seperti menggenggam malam, tidak, terasa seperti menggenggam kematian dengan tangannya sendiri.

Sabit hitam yang besar itu bahkan terasa mampu mengelilinya. Panjangnya setinggi tubuhnya sendiri. Terasa berat sekaligus begitu mantap di genggamannya. Sabit itu terasa sangat cocok untuknya. Hanya untuknya.

Bagastara menjilat bibir penuh ketertarikan.

Mata sabit itu bersinar meski warnanya lebih hitam dari malam. Tidak ada ukiran yang menarik di sana, hanya sulur di gagang sabitnya. Bagastara bisa merasakan sulur itu akan memakannya suatu saat. Dia kembali mengingat frasa terakhir dari makhluk itu dan tertawa karenanya.

Bagastara menyeringai pada wajah Dimas yang memucat.

"Dialog film mana lagi yang kau tirukan, Dimas?"

"Iblis!"

Bagastara tersenyum lebar. 'Kill him!'

Malaikat dan Iblis.

Cahaya dan kegelapan.

Hal itu terus berputar dalam benaknya dan setiap kali dia membayangkannya, Bagastara merasa semakin senang.

Dia mengayunkan sabitnya dan Dimas melompat mundur. Tombaknya terhunus dengan tangan yang gemetar. Matanya masih bergerak gelisah. Dia tak pernah menyangka akan menghadapi kekuatan yang luar biasa. Kegelapan murni. Tidak heran dia akan setakut ini.

Orang-orang lain pun sama saja.

Ketakutan itu justru membuatnya semakin kuat. Kegelapan yang ada di dalam sabitnya semakin solid.

'Sungguh kasihan'

Suara dari senjata itu kembali. Suara dingin yang membekukan itu terdengar seperti orang yang menghela napas.

'Malaikat sekecil dirimu harus menghadapiku.'

"Ho!"

Bagastara tersentak terkejut. Arogansi, tidak, kepercayaan diri yang disebutkan dengan ketenangan yang pasti. Hal itu membuatnya percaya bahwa dia lebih kuat. Bahkan mungkin jauh lebih kuat. Akan tetapi, dia adalah pembunuh. Dia bertemu banyak orang yang memiliki dasar kekuatan yang lebih tinggi darinya, tetapi mereka tetap mati di tangannya.

Kekuatan memang segalanya, tetapi selalu ada cara untuk mengalahkannya. Karena itulah, dia tidak akan lengah.

Dimas melompat ke arahnya lagi dan suara benturan terdengar kencang. Angin dari dua kekuatan besar itu membuat orang lain tak sanggup untuk ikut campur. Orang-orang hanya melihat sambil menggenggam senjatanya kuat-kuat.

"Dimas bakalan menang."

Meski salah satu rekan Dimas mengatakan hal itu, logikanya tahu bahwa itu takkan terjadi. Dia bisa melihat perbedaan kekuatan dari dua monster itu. Dimas adalah monster, tapi Bagastara dan sabit barunya jauh lebih buruk.

Dimas adalah monster yang polos dan mudah dikelabui. Sementara Bagastara adalah monster sesungguhnya yang kejam yang mengerikan. Dia saling melihat ke rekannya dan mengangguk.

'Kita harus melarikan diri.'

Bagastara tertawa setelah melemparkan Dimas menjauh. Orang-orang yang mengagungkannya lari terbirit-birit saat melihat kekuatan luar biasa lain yang mengancam. Mereka meninggalkan orang yang selama ini melindunginya.

Tidak.

Sejak awal, mereka hanya sampah yang menunggu waktu untuk menyerang Dimas. Ular-ular bodoh yang mengira mereka memiliki kesempatan. Bagastara benci membiarkan orang-orang seperti itu hidup.

Bagastara memang kejam, tetapi dia tetap tidak suka para sampah.

Dimas keluar dari lubang di dinding. Dia berjongkok dengan sebelah lutut dan menggunakan tombaknya sebagai topangan. Kepalanya penuh darah. Dia juga muntah darah. Napasnya tercekat. Matanya berkunang-kunang, tetapi tombaknya bersinar lebih terang.

Suara di dalam kepalanya berdecak.

'Para malaikat. Mereka selalu lebih kuat saat merasa terdesak.'

"Tipikal sekali," komentar Bagastara jijik. Dia memutar sabitnya. "Ini bagus, tetapi merubah ritme pertarunganku."

Bagastara tersenyum ceria pada orang-orang yang akan melarikan diri.

"Okay! Biasakah kau melenyapkan mereka?"

Suara di kepalanya mendengus. 'Pertanyaan konyol.'

Bagastara tersenyum puas. "Okay! Ayo!"