Bagastara mengangkat sabitnya. Aura hitam itu menyelimutinya tubuhnya. Dia bisa merasakan kekuatan yang luar biasa itu dan ketakutan yang memancar semakin kuat.
"Lari!"
"Lebih cepat!"
"Sialan! Aku tidak mau mati!"
"Tolong!"
Orang-orang yang melarikan diri itu saling mendorong demi nyawa mereka masing-masing. Orang-orang yang jatuh terinjak-injak. Setiap kali mereka melakukannya, mata Bagastara semakin berkabut. Teriakan takut itu semakin menjadi-jadi.
'Sungguh dunia yang busuk.'
Bagastara tertawa kecil. Dia tidak membantah. Itulah alasan dia membunuh semua tikus dalam gang.
"Jangan membuatku seperti antagonis yang kejam dong!"
Tawa Bagastara semakin kencang saat melancarkan serangan. Tidak ada yang mampu menangkisnya. Bahkan bila Dimas melakukannya, dengan tubuh yang penuh luka itu, dia takkan mampu selamat tanpa luka yang lebih parah. Meski begitu, Dimas memaksakan diri untuk bangkit.
Suara dentuman itu membuat dinding dan jendela bergetar. Bagastara tahu sebesar apa kekuatannya dan dampaknya begitu kekuatan itu diluncurkan. Oleh karena itulah, dia yakin, meski Dimas masih hidup, kondisinya pasti sudah kritis. Dia pun takkan bisa memblokir semua serangan dan melewatkan sabetan itu membunuh orang-orang di belakangnya.
"Bodoh."
Ada sedikit perasaan kasihan di hatinya, tetapi dia menyingkirkan perasaan itu secepat perasaan itu datang.
Bagastara memperhatikan Dimas yang terjatuh dan muntah darah. Tubuhnya dipenuhi luka. Bahkan tangannya tak lagi mampu mengganggap tombak. Tombak itu menggelinding di lantai. Lelaki itu masih bernapas, tetapi begitu berat dan lemah. Kehidupannya semakin tak terasa. Dimas akan mati karena rasa keadilan semu.
"Dimas!" panggil lelaki yang memimpin permainan kudeta mereka. Bagastara—dan mungkin juga Dimas—berpikir dia akan membantu, lelaki itu justru berdecak kesal. "Sialan. Lari!"
Mata Dimas yang terlihat lemah terbelalak. Dia pasti tidak menyangka orang-orang yang dia percaya selama ini meninggalkannya begitu saja. Bahkan tidak seorang pun yang tinggal. Hanya Dimas dan mereka yang tak bisa bangkit yang masih ada di tempat itu. Anak buahnya bahkan tak ada yang berniat menolongnya sedikit pun.
Saat berjalan mendekat, Bagastara bisa melihat titik air mata dan isakan tak percaya dari Dimas.
"Mereka berniat mengkudetamu sejak awal. Dia menuduhku melukai kalian hanya agar kau kehabisan tenaga dan terluka parah saat melawanku, sehingga mereka bisa membunuhmu sendiri."
Napas Dimas terdengar berat. Tersengal-sengal setiap kali mencoba menarik napas. Dahinya berkerut menahan rasa sakit sementara itu cahaya dalam tombaknya berkedip lemah. Kekuatannya sudah habis. Tubuhnya terasa lemah, tetapi kenyataan itu lebih menyakitinya.
"Kenapa?"
Bagastara menatap lelaki yang sekarat itu dengan pandangan yang sangat gelap. Dimas hanyalah yang percaya pada keadilan. Hanya lelaki yang menganggap dirinya akan menyelamatkan semua orang meski caranya sangat bodoh dan penuh khayalan. Mengetahui orang-orang yang dia percaya hendak mengkhianatinya dan tahu bahwa mereka akan melakukannya dari bagaimana mereka pergi tanpa membantu sedikitpun, lebih menyakitkan.
Tangannya mencakar lantai. Napasnya tersenggal saat dia memaksakan diri bangun dan menatap Bagastara.
Begitu mereka saling bertatap, Bagastara berkata dingin. "Keadilan itu kejam."
Matanya bergetar tidak fokus. Dia merasa dingin.
"Rasanya begitu," katanya lemah. Bibirnya gemetar dan membiru. "Apa bagimu keadilan itu, Bagastara?"
"Senjata."
Dimas tertawa tersengal. "Aku tidak mengerti."
"Kau tidak perlu mengerti."
Dimas diam.
Dia hanya menunduk sementara tangannya menggenggam tombak. Dia menangis dalam diam dan menyesal. Saat mati, dia sendirian. Saat mati, dia ditinggalkan. Semua loyalitas dan sorakan yang dia terima selama di dunia ini terasa seperti ejekan yang memuakkan. Pujian itu membuatnya frustasi.
Bagaimana bisa dia jatuh dalam orang-orang sialan itu?
Bagastara tertawa, tetapi matanya sama sekali tidak. Dimas bahkan bisa melihat kilat mengerikan yang membuat tubuhnya mengginggil, tetapi dia bahkan tidak lagi memiliki tenaga untuk itu.
"Yang harus kau ketahui adalah kenyataan itu kejam. Apa yang kau alami tadi adalah kenyataan."
Dimas membisu.
"Aku akan memberimu kesempatan, Dimas. Berikan padaku title King-mu dan aku akan membunuh mereka yang mengkhianatimu tanpa terkecuali."
Dimas mengangkat wajah. Dia bisa melihat Bagastara tak bermain-main dengan ucapannya.
"Kenapa kau melakukannya?"
Bagastara tersenyum kejam. "Anggap saja hadiah."
Dimas menutup mata.
"Padahal kau akan mendapatkannya jika membunuhku."
"Bukankah kau ingin balas dendam?"
"Aku ingin mendapat keadilan."
Bagastara tersenyum puas. "Kau memperlajarinya dengan sangat baik."
Dengan itu, title Dimas berpindah padanya. Disaat yang sama, tubuh Dimas limbung. Dia jatuh dan tak lagi mampu berdiri. Napasnya berat. Matanya tertutup dan cahaya itu menghilang.
Suara di kepalanya berkata dengan nada mengasihani.
'Sungguh menyedihkan.'
Bagastara mendengus. "Kau mengasihaninya?"
'Kau mengasihaninya?' Suara di kepalanya terdengar jelas sedang mengejek. Suara itu kembali berkata, 'Dia masih hidup. Tidak seperti biasanya kau meninggalkan korbanmu sekarat dan tidak memastikan kematiannya. Apa kau merasa kasihan karena dia dikhianati semua orang?'
"Dia akan mati," jawab Bagastara acuh tak acuh sambil melangkah melewati tubuh yang sekarat itu. Dia berpura-pura tidak mendengar pernyataan makhluk di kepalanya. "Ada hal yang lebih penting, kau ini apa?"
'Malaikat maut.'
Suara yang dingin itu terdengar angkuh. Bagastara sudah menduga hal itu dari bentuk senjata dan namanya, tetapi mendengarnya secara langsung tetap hal yang berbeda.
'Yang kotor.'
Bagastara mendengus. "Hebat sekali."
'Kita memiliki kesamaan.'
Bagastara sungguh tidak ingin mendengar kesamaan apa yang mereka miliki kecuali keinginan membunuh orang. Akan tetapi, niat dari membunuh orang di antara mereka pun berbeda. Malaikat Maut membunuh orang karena dia diperintahkan untuk mencabut nyawa mereka yang seharusnya mati. Sementara Bagastara membunuh orang karena dia menikmatinya.
Pemikiran atas kesamaan mereka berdua membuat Bagastara mengerutkan kening bingung.
Malaikat Maut itu tertawa kering.
'Kita membunuh orang yang kita cintai dan menyesal karenanya.'
"Tutup mulut!"
Tanpa sadar, Bagastara mencengkram pegangannya pada sabit barunya. Tiba-tiba saja keinginan untuk memilik sabit ini lenyap tak tersisa. Dia ingin melempar sabit cerewet yang menganggap dia mengerti dirinya luar dalam.
Malaikat Maut itu tidak berhenti bicara omong kosong.
'Aku menyesalinya. Aku ingin dia hidup, tetapi apa yang kulakukan berakhir dengan sangat buruk. Aku justru membunuhnya.'
Mulut Bagastara terasa kering. Bayangan tentang 'kotor' yang tersandang pada Malaikat Maut ini mulai terbentuk. Kemiripan yang dia bicarakan bisa dia rasakan. Tangannya ingin melempar sabit itu sekarang juga. Akan tetapi, sebagian dari dirinya ingin mendengar kelanjutan cerita itu.
"Kau menyelamatkan mereka yang seharusnya mati?"
Bila Malaikat Maut itu memiliki tubuh kongkrit di depannya, dia pasti menggeleng.
'Aku membunuhnya sebelum dia mati.'
"Kenapa?"
'Dia telah menderita terlalu lama. Bajingan itu telah menyiksanya hidup-hidup terlalu lama.'
Bagastara tertawa.
Bayangan tentang tangan pucat dengan jarum infus di pergelangan tangannya mulai terbentuk. Bangsal rumah sakit dan selimut berwarna putih. Tangan yang rapuh itu menggenggam tangan Bagastara. Dulu. Saat dia masih mampu menggerakkannya.
'Bukankah kau juga membunuh Ratih karena dia telah terlalu lama menderita?'
Mata Bagastara menggelap.
"Tutup mulut sialanmu sebelum aku menghancurkan benda sialan yang menjadi wujudmu sekarang!"