Chereads / The Perfect Key / Chapter 27 - Chapter 31

Chapter 27 - Chapter 31

Lucy menceritakan tentang [Liveless Hope] tanpa ragu. Sepanjang dia menceritakan tentang kemampuan itu, matanya tak terlepas dariku.

[Liveless Hope] adalah skill yang memungkinkannya tetap hidup meski telah dipenggal sepanjang dia memiliki harapan yang kuat untuk bertahan. Itu adalah skill yang sangat rapuh, terima kasih untuk Bagastara yang telah membunuhnya sekali, apalagi karena dia bisa melihat masa depan.

Itu adalah bagian yang lebih mengerikan.

Mata Lucy menyapu kami. Andira dan Bagastara menunjukkan menatap kaku. Sementara itu, Bagastara yang sudah tahu tentang ramalannya hanya menatapku main-main. Aku meneguk ludah.

"Saat mati, aku melihat masa depan dunia ini. Itulah alasan aku masih hidup sampai sekarang, tetapi aku belum menemukan orang itu."

Dunia ini akan hancur. Tanpa ramalan pun, aku tahu dunia ini akan hancur. Karena kalimat itulah yang pertama kali muncul saat dia membuka jendela status kali pertama benda itu muncul.

[Ini adalah kesempatan terakhir. The Last Star akan hancur dan begitu pula seluruh isinya.]

Kata-kata itu hanya muncul sekali dan selanjutnya hanya ada penjelasan seperti wikipedia yang membosankan untuk dibaca. Meski begitu, kalimat itu terasa sangat jelas meski sudah setahun berlalu.

Bagastara yang memati reaksiku mulai bicara.

"Kau sepertinya ingat kalimat itu juga."

"Itu kalimat pertama yang muncul saat gue buka jendelanya."

Damar tersentak. Dia menatapku kebingungan. Jelas tidak melihat kalimat itu muncul atau hanya membiarkannya begitu saja. Wajah Andira memucat. Suaranya bergetar dan terdengar seperti berharap seseorang akan menyangkalnya.

"Itu bakalan terjadi? Maksudku, seriusan?"

Akan tetapi, tidak ada yang menyangkal pertanyaannya.

Lucy menunduk. Suaranya tidak terdengar yakin. Hal itu membuat Astari meraih bahunya.

"Nona Lucy!"

Bersamaan dengan panggilan Astari, Lucy kembali berbicara.

"Masa depan menunjukan satu orang akan menyelamatkan dunia ini. Akan tetapi, aku tidak tahu siapa dia. Masa depan masih sangat kabur karena probabilitas yang dibawa lelaki itu. Karena itulah, aku berniat untuk mencari lelaki yang akan menyelamatkan dunia ini."

Aku kehilangan kata-kata. Meski Lucy mengatakannya dengan nada ringan, tetapi aku mengerti makna di baliknya. Lucy hidup menggunakan harapan, sedangkan masa depan memperlihatkan keputus asaan padanya. Masuk akal baginya untuk mencoba mencari harapan itu untuk hidup.

Liveless Hope.

Skill yang sangat luar biasa sekaligus rapuh di saat yang sama.

Baginya keputus asaan merupakan ancaman untuk hidupnya. Dia hanya 16 tahun dan harus melihat masa depan dunia yang sudah hancur, lebih buruk lagi, harus bertahan dari ketakutan itu untuk melanjutkan hidup. Meski dia tersenyum lembut dan penuh percaya diri itu berlebihan.

"Lucy, fakta bahwa lo masih hidup sampai saat ini berarti lo masih yakin ada harapan, kan?"

Lucy tersenyum lembut. "Ya." Dia menyentuh dadanya sendiri. "Tetapi, itu tidak mengubah fakta bahwa suatu saat harapan itu akan semakin kabur dan hilang."

Aku meraih tangannya.

"Kalau melihat masa depan gue bisa bikin lo baik-baik saja. Lihat aja! Gue nggak masalah. Tapi, kalau lo lihat masa depan gue penuh kehancuran, lo harus ingat ini! Gue akan mengubah masa depan itu, nggak peduli bagaimana pun caranya."

Mata Lucy melebar. Bola matanya bergetar karena keterkejutan dan aku tak menggenggam tangannya lebih erat. Kami masih remaja dan seharusnya masalah terbesar kami hanyalah ketakutan akan kehidupan masa dewasa. Akan tetapi, kami harus takut pada hal yang lebih besar. Kehancuran.

Dunia ini akan hancur. Tidak seperti kiamat yang selalu kami takuti di dunia sebelumnya, kehancuran itu ada di depan mata. Lucy melihatnya dari Bagastara yang berarti kehancuran itu datang saat dia masih hidup. Tidak lama lagi.

Tidak heran Lucy terburu-buru karenanya.

Damar menendang kakiku dari bawah meja dan menghela napas.

"Untuk orang yang nggak bisa bertarung, janjimu tadi terlalu berlebihan."

"Kan ada lo."

Damar tersentak, kemudian menghembuskan napas lelah. Andira terkikik geli.

Sementara itu, Bagastara berkata, "Bagaimana denganku?"

Aku menatapnya tajam.

"Ikutan lah! Ini kan dunia kita sekarang. Apa pun yang terjadi kita harus menyelamatkan dunia ini biar bisa hidup."

Lucy dan Astari hanya menatapku tak percaya. Lucy lah yang pertama kali tertawa, sementara Astari memasukkan kembali pedangnya dan bahunya menjadi lebih rileks. Aku tak melewatkan senyum tipis saat dia melakukannya.

"Kau benar. Kita harus bekerja sama untuk menyelamatkan dunia ini."

Astari menggeleng tak percaya.

"Bagaimana bisa dia tetap naif setelah semua yang terjadi?"

Damar menggerutu kesal.

"Itu pertanyaan terbesarku."

Ini kali pertama mereka setuju pada satu sama lain. Hal itu bahkan mengejutkan mereka. Astari menutup mata sementara Damar hanya mendengus, tetapi tidak ada permusuhan di antara mereka.

Kesepakatan itu muncul secara alami. Kami bahkan membuat rencana untuk melawan mereka nanti malam dan memutuskan untuk memantau keadaaan menggunakand skill Lucy. Bagastara mendengus ketika mengetahui Lucy meninggalkan tanda padanya.

Andira sendiri anehnya hanya diam. Dia menatap langit seolah menunggu sesuatu. Terkadang menggerutu, tetapi bila aku bertanya, dia hanya tersenyum dan menggeleng. Apa dia khawatir pada anak-anak? Andira adalah orang baik, jadi itu mungkin saja.

Hal lainnya adalah Lucy tidak mengatakan apa pun tentang masa depanku setelah dia melihatnya. Saat aku bertanya, dia hanya tersenyum dan menjawab, "Masa depan adalah hal yang rapuh. Dengan mengetahuinya saja, masa depan akan berubah."

"Itu masa depan yang bagus, kan?"

Senyum Lucy terasa hangat.

"Ya."

Bagus.

Berarti masih ada harapan.

Keadaan pun masih sangat bagus. Fraksi Kenneth dan Dimas berhenti bertarung ketika matahari terbenam. Bagastara hanya menertawakan mereka.

Pertarungan antara mereka berdua di mulai, tetapi kami bahkan baru bersiap-siap.

Bagastara merapikan lengannya. Matanya berkilat bersemangat.

"Aku akhirnya memiliki kesempatan untuk mengaktifkan skill baru."

Aku mengerjap bingung.

"Lo punya skill baru?"

"Berkat seseorang, aku tidak perlu menyimpan EXP terlalu banyak. Ah sungguh menyebalkan hanya menggunakan bayangan untuk menyerang."

Aku begidik ngeri.

Tanpa menggunakan skill baru saja dia sudah sangat kuat, apalagi dengan skill baru. Diam-diam aku membuka jendela status Bagastara, tetapi tidak menemukan skill baru di sana.

Kebingunganku pasti tercetak jelas di wajahku, karena Bagastara tertawa pelan.

"Skill memang secara acak keluar, tetapi itu tergantung pada kondisi saat skill itu dibuka. Ketika kita berada dalam kondisi yang tenang, skill yang kita dapat cenderung mengikuti kondisi itu. Saat kita memerlukan skill untuk melarikan diri, skill agility-lah yang akan kita dapatkan. Itu yang terjadi pada Phantom Step."

"Lo pernah dalam kondisi yang harus melarikan diri?"

Bagastara tertawa lepas. "Aku memang kuat, tapi aku tak kuat sejak awal."

Aku tidak bisa membayangkan seorang Bagastara melarikan diri, tetapi mungkin ada kondisi semacam itu di setiap orang.

Astari mencoba meyakinkan Lucy untuk membiarkannya tinggal, tetapi Lucy dengan tegas memintanya pergi.

"Bawakan aku kepala Kenneth, Astari."

Astari menghela napas lelah. "Baik. Saya mengerti, Nona Lucy."

Hanya Andira yang akan tinggal dan mereka percaya pada kemampuan shieldnya. Lagipula, Lucy masih memiliki lebih banyak anggota dari sisi selatan yang akan membantu. Sementara itu, Damar terlihat sangat tenang. Akan tetapi, aku bisa melihat dingin dan kekejaman di matanya saat dia lagi-lagi memberikan pedangnya padaku.

"Lo nggak bakalan menggunakan pedangnya?"

"Nggak perlu. Pedang itu akan melindungimu kalau ada apa-apa."

Damar melirik Andira dan Lucy. Hal itu membuatku menghela napas lelah.

Aku mengeratkan pegangan pada pedang. Rasanya tidak benar membiarkan mereka bertiga sementara aku diam saja di sini dan mendapatkan hadiahnya. Sejujurnya, aku ingin ikut bertarung. Aku ingin ikut bersama mereka dan bertarung dengan tanganku sendiri.

"Lo bakalan menang, kan?"

Damar tertawa dan menatapku dengan pandangan penuh percaya diri.

"Aku akan menang."

Kenyataannya, Damar menunjukkan kepercayaan diri itu dnegan sangat baik. Terlalu baik hingga aku bahkan mulai bertanya-tanya, bagaimana mungkin aku sempat khawtir padanya?