"Wah, persembunyian yang manis."
Begitu melihat Bagastara, anak-anak membeku. Jihan dan Johan bahkan bersiap menggunakan skill mereka untuk bertahan. Anak-anak itu bergetar, bahkan beberapa mulai kehilangan keseimbangan dan menangis ketakutan.
Dengan kesal, aku bertanya pada Bagastara, "Apa yang lo lakuin sama mereka sih?"
Bagastara tertawa pelan dan menikmati pemandangan di depannya.
Sementara itu, Andira berlari ke arah anak-anak dan menenangkannya dengan Bagastara takkan menyakiti dan akan membantu mereka. Perlu waktu lama untuk menenangkan mereka dan Bagastara sama sekali tak membantu. Dia tetap tersenyum senang menikmati ketakutan anak-anak itu.
Dengan terpaksa aku menariknya ke ruangan lain, jauh dari anak-anak. Andira mencoba mengikutiku, tetapi anak-anak tak bisa ditinggalkan.
"Hei! Berhenti dong."
Bagastara menatapku dengan mata berkilat bahagia.
"Aku sedang makan."
"Ha?"
Bagastara menyilangkan tangan dan senyum itu tak menghilang selagi dia menjelaskan. Tanpa malu dia berjalan ke salah satu meja dengan kakinya yang panjang. Beruntung aku berhasil memaksanya membersihkan diri dari darah Faiz sebelum masuk ke sini. Bayangkan betapa paniknya anak-anak jika melihatnya masuk dengan keadaan seperti itu.
"Skillku berhubungan dengan teror dan ketakutan. [Jack teh Ripper] memberikan ketakutan dari popularitasnya di dunia kita sebelumnya. Sementara [Phantom Soul] adalah kemampuan untuk memulihkan diri dengan menggunakan ketakutan orang lain."
"Bohong," ketusku. "Gue denger lo merapal [Phantom Soul] waktu menggunakan kekuatan bayanganmu."
Bibir Bagastara bergetar menahan tawa.
"Mustahil untuk berbohong padamu ya." Saat aku menatapnya tajam, dia hanya tertawa senang. "Okay. Skill untuk memakan ketakutan orang lain itu [Slaughter Man]. Awalnya skill itu datang dari tittle membunuh puluhan orang tanpa belas kasih. Sekarang, [Slaughter Man] bisa menjadi regenerasi untukku dengan menggunakan ketakutan orang lain sebagai basisnya."
"Gue nggak tahu tittle juga bisa memberi efek semacam itu."
"Oh iya. Sebagai tambahan, Randy, ketakutanmu yang paling enak selama ini. Jadi, tetap pertahankan kualitasnya, ya?"
Kali ini, aku bergidik ngeri bukan karena ketakutan.
Melihat reaksiku, Bagastara tertawa puas. Orang ini benar-benar menjadikanku badut pribadinya. Akan tetapi, tidak masalah. Aku menatap jendela statusku. Tittle [King of Center and North Grassland] ada di sana. Setidaknya Bagastara benar-benar menepati janjinya.
Salah satu persyaratan lain adalah dia memintaku untuk memenangkan perebutan tahtanya. Pada akhirnya, aku tetap memerlukan banyak EXP untuk membuka skill Bagastara. Ketika aku bertanya tentang skill apa yang diinginkannya, Bagastara hanya tersenyum mencurigakan dan tidak menjawab.
Aku hanya bisa berharap dia tidak menginginkan skill yang berbahaya.
Tanpa sadar aku menguap. Waktu menunjukkan pukul dua. Hari ini panjang sekali.
Bagastara menunjuk tempat tidur dengan dagunya.
"Tidur."
Aku menatapnya aneh.
"Lo nggak beneran berpikir gue bakalan tidur waktu ada lo di sini, kan?"
Senyum Bagastara merekah mencurigakan.
"Tidur atau aku yang membuatmu tidur?"
"Okay! Gue tidur!"
Tidak ada gunanya melawan Bagastara sekarang.
Baru saja aku naik ke tempat tidur, pintu ruangan itu terbuka lebar hingga menimbulkan suara berdebam. Damar masuk dengan peluh yang terlihat jelas di wajahnya. Napasnya terengah-engah dan tatapannya yang penuh amarah fokus pada Bagastara. Sementara itu, Bagastara membalas Damar dengan senyum penuh kebahagiaan.
Bajingan ini benar-benar menjadikan kami berdua badut pribadinya.
Damar berbicara dengan gigit yang terkatup rapat.
"Apa yang dilakukan Bajingan ini di sini?"
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Bagastara telah lebih dulu berkata, "Jangan marah begitu, dong! Aku takkan mencuri kekasihmu kok."
Aku memekik tajam.
"Gue masih suka cewek!"
Damar bahkan tidak peduli pada cemoohan Bagastara. Hal itu justru membuatku merasa baru saja bereaksi berlebihan. Aku menggeram pada Bagastara yang menyeringai nakal.
Sialan. Dia benar-benar menikmati reaksiku dan itu semakin membuatku kesal.
"Apa yang terjadi sebelumnya?" tanya Damar dingin.
Bagastara menjawab tenang. "Faiz datang menyerang. Aku membunuhnya, detail kesepakatan akan kita bicarakan," Bagastara menatapku sambil menambahkan dengan nada yang lebih ceria, "tapi Randy harus tidur."
"Disini aja sekarang!"
"Tidur!" tukas Bagastara tanpa kehilangan senyumnya. "Staminamu pasti sudah hampir habis. Aku tahu statusmu sangat rendah."
"Untuk yang satu ini aku setuju dengan Bagastara."
"Nah! Sekarang, tidurlah dan kami akan menjelaskan hasil diskusinya besok pagi."
Meski mereka berjanji akan menjelaskan kesepakatannya besok pagi, tidak ada satu pun dari mereka yang membangunkanku hingga aku bangun sendiri. Matahari sudah sangat tinggi saat aku keluar kamar dengan perasaan kesal.
Jihan yang melihatku keluar kamar segera menghampiri.
"Kak Driga nggak papa?"
Dirga? Ah ... aku lupa. Aku memperkenalkan diri sebagai Dirga.
Aku mengusap kepalanya sambil tersenyum.
"Udah nggak papa. Yang lain kemana, Han?"
"Johan, Tio, Ratna pergi buat nyari makan bareng kak Andira. Kalau Tari lagi ngobatin kak Damar."
Ucapan Jihan membuatku membeku.
"Kok bisa?"
Tanpa sadar aku bertanya terlalu tajam hingga Jihan berjengit kaget. Dia bahkan melangkah mundur. Dia meneguk ludah gugup.
"Kak Damar sama Kak Bagastara bertarung tadi pagi."
"Dimana?"
Jihan menggeleng, tapi ketika aku meraih bahunya dan bertanya sekali lagi, dia mengangguk. Aku mengikutinya ke area bar di lantai dua. Setidaknya mereka sudah ada di dalam. Jihan menunjuk pintu dan tidak berani membukanya.
Tanpa ragu aku membuka pintu itu dan satu tatapan kesal membalas kedatanganku. Yang satu lagi melambai senang.
"Kalian apa-apaan sih?"
Damar mendengus.
Tubuhnya dipenuhi luka gores, tetapi tidak ada yang membahayakan nyawa. Tari ada di sebelahnya sedang memegang tangan Damar erat-erat. Luka-luka Damar banyak yang sudah sembuh. Durabilitynya turun hingga 97 dan staminanya tinggal 48. Itu menunjukkan dia tidak tidur semalaman, selain kantung mata yang terlihat.
Di sisi lain, Bagastara tidak terluka. Pakaiannya sedikit terbakar, juga kulit lengan bawah tangan kirinya. Akan tetapi, dia jauh lebih baik daripada Dimas. Durabilitynya masih tinggi, sementara itu staminanya juga turun hingga 65.
Secara keseluruhan, mereka baik-baik saja. Ini benar-benar membuat kepalaku pusing.
"Kalian ngapain sih?"
Bagastara tersenyum lebar.
Dengan riang, dia berkata, "Kita sedang latihan kok."
Damar menatap Bagastara kesal.
Dua orang ini benar-benar. Aku baru saja meninggalkan mereka untuk tidur beberapa jam dan mereka sudah mencoba saling bunuh satu sama lain? Aku menyilangkan tangan kesal.
"Bagastara, kalau lo nyerang Damar atau yang lain lagi, kesepakatan kita batal."
Bagastara menyentuh dada dan berpura-pura sedih.
"Oh! Jangan begitu dong! Nanti aku sedih."
Aku menggeleng mengabaikannya dan memilih untuk menatap Damar.
"Mar! Gue tahu lo parno, tapi jangan asal nyerang orang lain, dong!"
Damar mendengus tidak peduli.
"Kalo lo terus-terusan bersikap begitu, gue mending cabut bareng Bagastara aja."
Dengan cepat Damar menatapku. Wajahnya memucat dan dia menggeleng.
"Nggak."
"Terserah lo! Tapi kalo lo terus-terusan begitu, gue bakalan cabut bareng Bagastara aja. Bagatsara pun lebih kuat dari lo, jadi gue yakin dia bisa nahan lo waktu maksa gue."
Bagastara berdiri dari tempat duduknya dan tersenyum lebar.
"Dengan senang hati aku akan melindungimu, Randy."
Ah ... nggak perlu sampai segitunya, tapi aku mengabaikannya.
Aku hanya fokus pada Damar yang berdecak.
"Okay," jawabnya tidak rela.
"Bagus," tukasku puas sambil menepuk tangan sekali. "Nah, jadi. Kalian udah berunding, kan?"
Bagastara membuka mulut, kemudian menutupnya lagi dengan senyum mencurigakan. Damar bahkan hanya mendengus. Aku menyipitkan mata karena reaksi itu.
"Kalian udah berunding, kan?"
Bagastara mengerjap riang.
"Hanya setengah."
Aku tidak percaya. Aku benar-benar tidak percaya.
Aku memijat kepala pusing.
"Kalian bener-bener bikin gue gila."