Chereads / The Perfect Key / Chapter 23 - Chapter 27

Chapter 23 - Chapter 27

Ini membuatku gila. Bagaimana mungkin aku memiliki satu anak sekolah paranoid yang tidak ragu membunuh orang saat diperlukan dan Seorang Bajingan gila di timku? Satu-satuanya orang waras hanyalah Andira yang datang beberapa saat kemudian.

Ini adalah kali pertama aku merasa kedatangan orang lain sebagai udara yang menyegarkan. Berada satu ruangan dengan bajingan gila yang sedang tersenyum mencurigakan dan satu anak sekolah yang tinggal satu jengkal lagi menyabetkan pedangnya membuatku tercekik.

"Nah, jadi gimana kesepakatannya?"

Bagastara menyilangkan kakinya. Dia meraih cangkir teh yang dibawa Andira.

"Kau jadi raja dan mendapatkan EXP-nya. Selama itu, aku akan bertarung bersama kalian dan merebut title itu. Baru setelah itu, kalian bisa membuang tittlenya. Aku tidak peduli. Bayaranku hanyalah satu skill yang akan kau buka saat manamu cukup. Sampai saat itu, hibur aku."

Tidak perlu menambahkan kalimat yang terakhir.

Aku berpura-pura tidak mendengar kalimat itu.

"Skill apa yang lo pengen?"

Bagastara tersenyum lembut, tetapi tatapannya sedingin es.

"Kau akan tahu pada saatnya."

Tubuhku bergetar ketakutan, tetapi aku memaksakan diri untuk bertanya.

"Tidak bisa. Gue harus mastiin kalo skill yang lo mau nggak bakal membahayakan orang lain."

Bagastara menyesap tehnya sambil menjawab tenang. "Tenang saja. Skill itu tidak membahayakan orang lain."

Damar mendengus mengejek.

"Kebohongan yang bagus datang darimu."

Bagastara memiringkan kepala, hendak membalas ejekan Damar, tetapi aku segera menyela, "Lo janji itu bukan skill yang membahayakan, kan?"

"Tidak. Setidaknya bukan untuk orang lain."

Saat mengatakan hal itu, pandangan Bagastara melunak. Itu membuatnya terlihat sedang merenungkan seseorang yang dia rindukan. Akan tetapi, pandangan itu menghilang dengan cepat ketika senyum menjengkelkan itu kembali lagi. Hal itu membuatku bertanya-tanya, apakah aku melihatnya dengan benar?

Bagastara kembali menambahkan dengan lebih santai.

"Untuk itu, aku mau semua EXP yang kau dapatkan pada quest ini digunakan untuk meningkatkan mana."

"Tidak," tukas Damar. "Gunakan EXPmu untuk meningkatkan durabilitas, agility, dan membuka skill baru. Meski dia meningkatkan kapasitas mananya sekarang, itu takkan berguna karena dia tidak punya skill untuk menyerang bahkan bertahan."

Bagastara tersenyum mengejek. Oh tidak lagi! Dia mencoba memprovokasi Damar.

"Ben--."

"Apa itu berarti Tuan Damar tidak bisa melindunginya? Kalau kau memang tidak sanggup, katakan saja, aku dengan senang hati menggantikanmu."

"Banyak omong, bayanganmu saja tidak bisa bertahan dari apiku."

"Untuk orang yang menerima luka lebih banyak dan pingsan di tengah pertarungan, kau itu sombong sekali."

"Lo ... apa?"

Damar membuka mulut, tapi kemudian berdecih dan membuang muka.

Bagastara tersenyum puas. "Begitu lebih baik."

Hanya perasaanku saja atau aku seperti melihat seekor anjing yang menggonggong penuh emosi pada seekor kucing yang duduk di atas pagar sambil menggoyangkan ekor?

Di sebelahku, Andira menunduk dan menahan tawa. Wah lihat deh ketua BEM ini! Memang pemandangan ini lucu sekali, ya?

Apa tim ini benar-benar bisa menang, ya?

Aku menghela napas.

"Untuk yang satu ini, gue setuju sama Damar."

Bagastara menatapku dengan mata berkilat, tetapi kemudian senyum sok lembut itu kembali. Oh tidak lagi!

"Baiklah," jawabnya riang. "Aku setuju dengan Damar karena Randy setuju dengannya."

"Tolong setuju sama Damar karena itu benar."

"Bagiku, sesuatu yang kau katakan itu selalu benar, kok."

"Gue ini apa? Tuhan?"

"Mau kusembah?"

Bagastara tersenyum semakin lebar. Berdebat dengannya takkan ada habisnya dan aku takkan menang juga dan justru semakin kesal.

Aku mengabaikan Bagastara.

"Sesuai kesepakatan kalian sebelumnya. Kalian tidak akan saling menyerang sampai festival, kan? Tapi, karena Faiz kemarin menyerang, apa kesepakatannya masih berlaku?"

Bagastara mengangkat bahu santai.

"Masih. Faiz memang dari awal bodoh dan seenaknya sendiri. Dia tidak peduli dengan kesepakatan itu. Aku berani bertaruh, dia pasti menyerang orang lain selama kesepakatan gencatan senjata. Raja-raja lain tidak peduli dan mereka terlalu pengecut untuk membunuh Faiz."

Mendengar kata membunuh Faiz, membuatku teringat kembali tentang mayat, jantung, dan orang yang menyodorkan jantungnya dengan senyuman lembut. Aku begidik ngeri. Itu akan jadi mimpi buruk yang berkepanjangan.

"Lagi pula tidak akan ada orang yang membalaskan dendam untuk Faiz. Dia tidak punya fraksi."

Fraksi. Kata yang cukup fancy.

"Tapi bukannya lo punya kelompok juga sebelumnya?"

Bagastara mengangkat alis kemudian berkata o seolah baru mengingat keberadaan mereka.

"Mereka hanya mengikutiku. Karena aku sedang bosan kubiarkan saja. Saat aku memerintahkan mereka membawamu, aku sedang bermain mafia-mafiaan dan ternyata menemukan harta karun. Apa lebih baik aku menyebutnya dengan bajak laut?"

Aku benar-benar tidak bisa mengikuti cara berpikir orang ini.

"Lo benar-benar bermasalah sama rasa bosan, ya?"

Ketika aku bersyukur karena Bagastara hanya menjawab dengan senyuman, Damar justru membuat masalah.

"Kekanakan," ejeknya.

Sudut bibir Bagastara berkedut.

"Sepertinya Damar tidak tahu arti bersenang-senang, pantas saja banyak kerutan di wajahmu. Hidupmu pasti menyedihkan sekali. Sayang sekali. Hati-hatiloh, nanti Randy kabur darimu."

"Dibilang gue masih suka cewek."

"Aku senang sih kalay Randy mau denganku, tapi sayang, hati ini sudah ada yang punya."

"Dibilang ...." Melihat senyum puas Bagastara, aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya. "Jadi, karena Bagastara sudah mengatakan syarat darinya. Gue senduru juga punya persyaratan. Pertama, gue nggak mau buka skill yang membahayakan orang lain."

Bagastara tersenyum mencurigakan lagi. "Kubilang tenang saja. Ini tidak akan menyakiti bahkan seujung kukumu. Aku bersumpah."

"Kedua, lo bantuin gue buat menang di quest ini dan ngasih tahu semua info yang lo tahu tentang raja yang lain."

Bagastara mengangguk-angguk seolah aku adalah anak kecil yang menghiburnya.

"Yang ketiga, setelah ini kita pisah, dan gue minta tolong lo cariin gue orang yang punya [Curse Breaker] atau orang yang jual kontrak perbudakan."

Persyaratan ke tiga itu membuat semuanya terdiam. Hanya Damar yang menghela napas.

Saat itu, ekspresi Bagastara yang terlihat bermain-main kembali menjadi dirinya yang mengancam.

"Aku akan mengikuti dua persyaratan pertama. Tapi untuk persyaratan ke tiga, meski pun kau memiliki kemampuan sebesar itu untuk membuka skillku, aku tetap tidak akan melakukannya. Karena tidak ada simbol perbudakan di lehermu, berarti bukan kau yang memerlukannya. Melakukannya untukmu adalah satu hal, tapi bila untuk orang lain. Maaf saja. Aku bukan orang suci."

Aku mengepalkan tangan.

Pada akhirnya, aku harus melakukannya sendiri huh. Damar pun tidak benar-benar berniat mencari pemiliki [Curse Breaker] atau pun mencari pemilik kontrak budak. Dia tidak peduli pada orang lain. Begitu pula Bagastara. Mereka peduli padaku pun karena aku berguna.

Bagastara menghela napas. "Aku bisa memberikan informasi tentang itu padamu."

"Lo mau?"

Damar menghela napas lebih keras saat melihat keantusiasanku.

"Ya. Ada rumor mengenai pemilik [Curse Breaker] di Dark Elf. Aku mengingatnya karena kupikir skill itu akan sangat berguna. Hanya saja dia bersembunyi. Bahkan desa Dark Elf pun sulit untuk ditemukan. Hanya Oracle yang tahu."

"Oracle?"

Bagastara mengangkat bahu.

Informasi itu putus di sana, tetapi setidaknya aku memiliki informasi yang lebih baik sekarang.