Ini adalah kali pertama dalam seumur hidupku, seseorang benar-benar menginginkan kematianku. Bila seperti ini, semua serangan monster dan kemunculanku di tengah hutan beracun ketika aku tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan diri pasti ada hubungannya dengan itu. Lebih buruk lagi, orang itu memiliki akses untuk membuat quest.
Jika disamakan dengan game, orang itu bisa disebut Game Master, kan?
Kata 'Player' juga menggangguku.
Berdasarkan penuturan Damar, orang-orang dan sistem itu menyebut orang-orang dari dunia lain dengan Player. Sementara penduduk dunia ini menyebut kami Makhluk Dunia Lain. Kata player itu membuat Makhluk Dunia Lain dan Orang-Orang dunia ini terasa sangat berbeda. Itukah yang membuat Player menganggap orang-orang dunia ini sebagai NPC?
Sistem itu membuat keadaan seolah kami sedang berada di dunia game dengan quest, reward, dan skill yang membuat mereka tak ragu untuk mengeliminasi orang lain.
Di sudut ruangan, Damar akhirnya membuka mata. Dia terlihat frustasi dengan keadaan ini.
"Mar?"
Lelaki itu bungkam.
Tidak hanya Damar yang frustasi. Tentu aku lebih kebingungan mengingat akulah targetnya. Aku juga tidak mengerti alasannya dan mau dipikir sekeras apa pun, aku tetap tak bisa mengira-ngira.
Damar melirik ke jendela di mana matahari telah melewati tengah hari.
"Biar aku mencarikanmu makanan."
"Ikut!"
"Kamu gila?"
"Lebih baik daripada diam saja di sini. Orang yang mau bunuh gue kan sistem. Kalau dia melacak tempat gue dan nyebarin infonya waktu lo jauh malah lebih bahaya. Mending gue tetep deket sama lo."
Dagu Damar mengeras.
"Lebih menyebalkan karena ucapanmu mungkin benar. Selama kamu di sini perkenalkan diri sebagai Dirr. Tapi Terry sudah tahu namamu Rann. Apa yang ha-...:"
"Nggak perlu. Terry udah tahu kita Makhluk Dunia Lain eh Player."
Sebelah alis Damar terangkat dan dia menyilangkan tangan.
"Jelaskan!"
"Gue kan ke tempat Jerr. Nah mereka tuh tahu kalo Gerr orang jahat. Nah, kemungkinan besar Terry juga tahu Beruntungnya dia sama Pinny sejak dulu teman baik. Dia bolehin kita menginap ya karena bilang suruhan Pinny. Yang berarti, kita orang yang menyelamatkan desa. Begitu."
Damar mendengus seolah mengejek penjelasanku. Apa-apaan itu? Dia tidak percaya dengan penjelasanku, ya? Melihat aku hampir memprotes, dia mengangkat tangan.
"Bukan itu. Aku hanya tidak percaya Pinny melakukannya."
"Kenapa?"
"Kalau kamu lupa. Dia membocorkan pembicaraan ki--."
"Karena dia nggak mau Pimm kenapa-napa. Lagian dia lemah, itu hanya sebagai pertahanan diri. Kalau dia tidak mengikuti perintah Gerr, entah apa yang bakalan Gerr lakuin buat dia."
Damar mendengus. "Aku memang tidak pernah menang melawanmu. Okay. Kita cari makanan. Sekaligus mencari tahu situasi di kota. Beruntung orang-orang itu tidak mengetahui wajahmu dan meski menyebalkan membayangkannya, Bagastara tidak mungkin mencoba memberitahu siapa dirimu."
"Kenapa?"
Damar tersenyum miring, tetapi tidak menjawab pertanyaanku.
Kami berjalan di kota dan lebih banyak hal yang bisa dilihat. Kebudayaan yang berbeda, kehidupan yang berbeda, tetapi terasa begitu familiar. Rasanya seperti sedang berjalan-jalan di luar negeri.
Aku tidak pernah membayangkan memiliki kesempatan untuk melakukannya. Bagiku, di mana pun, selama bersama Rara dan Ibu, aku tak masalah. Yang kuinginkan adalah lulus dan mendapat tempat kerja yang memadai hingga ibu bisa beristirahat dari pekerjaannya yang melelahkan dan Rara bisa sekolah dengan layak. Namun, untuk melakukannya sekarang, aku harus bisa keluar dari sini hidup-hidup.
Berbeda denganku, Damar terlihat biasa saja dan bahkan tidak tertarik dengan sekitar. Dia justru dengan hati-hati mengawasi orang-orang yang mendekat. Damar bahkan berjalan tanpa terlihat mencari-cari, seolah dia tahu kemana harus pergi.
Setelah lima belas menit berjalan, akhirnya kami sampai di bar lusuh di balik gang.
Damar menatap papan tanda sambil berkacak pinggang.
"Aku berniat tidak kembali ke sini lagi, tapi situasi berubah."
Situasi. Haha ... sepertinya aku tahu situasi apa yang sedang dia bicarakan.
Aku adalah anak baik yang tiba-tiba saja menjadi buruan, tentu saja situasi akan berubah total. Akan tetapi, aku sendiri pun tidak menyangka dengan kejadian ini, jadi jangan salahkan aku.
"Ini tempat apa?"
Sebelum Damar sempat menjawab, pintu itu dibuka oleh seorang anak kecil. Aku ingat Rara pernah bercerita tentang teman sekelasnya yang juga memiliki jendela status. Sepertinya sistem sialan itu tak peduli usia Playernya dan menarik semua yang memiliki jendela status ke dunia ini.
Anak itu terlihat kurus dan bajunya pun lusuh, tetapi saat melihat statusnya, aku terperanggah. Anak itu bahkan lebih tinggi dari statusku sekarang. Skillnya, matakku gelap. Aku menurunkan tangan Damar dan dia menatapku kesal.
"Kan sudah kukatakan untuk tidak menggunakan skillmu sembarangan."
"Eh! Sorry, gue merasa lebih aman waktu tahu skill dan status orang lain."
"Tapi sepertinya itu tidak berlaku pada Bagastara."
"Skillnya ngeri, okay?"
Aku tidak mempedulikan protes Damar dan berjalan pada anak kecil yang sedang menunggu itu.
"Halo, Dik! Siapa namamu?"
Anak kecil itu melirik Damar malu-malu. "Aan."
"Halo, Aan! Kita boleh masuk, kan?"
Bukannya mengintip ke belakang, Aan justru menatap Damar untuk meminta persetujuan. Sebentar! Aku menatap Damar menuntut.
"Aku sudah menceritakan tentang kubu Korban, kan? Itu mereka."
"Lo ngapain mereka?"
Sebelah alis Damar terangkat. "Aku hanya membawa mereka ke tempat ini setelah base camp terakhir mereka di serang." Dia menatap Aan. "Gimana keadaan Andira?"
"Kak Andira belum sadar. Yana masih ngobatin, belum sembuh."
Damar mengangguk. "Ayo masuk!"
Di dalam rumah itu, ada lebih banyak anak kecil yang segera berlari pada Damar. Usia mereka yang tertua adalah Aan dan yang termuda mungkin lima tahun. Hal ini membuatku semakin gundah. Sistem sialan itu menarik anak-anak yang bahkan belum tahu cara membaca ke dunia yang mengerikan ini.
Apa yang sebenarnya mereka pikirkan?
Damar memberikan satu koin perak pada satu anak dan meminta mereka pergi mencari bahan makanan. Ketika aku memprotes, Damar berkata, "Nggak perlu khawatir. Selama anak-anak ini bersembunyi dengan baik, mereka takkan terseret masalah. Orang-orang dunia ini juga tidak begitu buta hingga membenci anak-anak ini."
Dia menoleh pada anak-anak lain saat dua anak itu pergi ke luar.
"Mana Andira?"
Salah seorang gadis kecil meraih tangan Damar dan menariknya ke kamar. Aku mengikutinya. Di sana seorang wanita yang berusia 20 tahunan terbaring dengan perban dan luka bakar. Luka bakarnya terlihat sangat parah. Ada anak kecil yang tidur di sebelahnya sambil mengenggam tangan si wanita.
Damar menepuk kepala anak itu perlahan dan dia mulai bangun. Wajahnya pucat.
"Lakukan perlahan saja!"
"Apa itu?"
"[Heal]," jawab Damar. Dia mengusap kepala gadis itu dan memintanya pergi. Anak itu menggeleng dan terus mengganggam tangan gadis yang terbaring itu. Matanya sembab. Damar menghela napas. "Dia satu-satunya yang bisa melakukan [Heal] di kelompok ini, meski [Heal]nya tidak besar."
"Apa yang terjadi?"
"Dia terseret di pertempuranku."