Chereads / The Perfect Key / Chapter 19 - Chapter 23

Chapter 19 - Chapter 23

Meski Damar sangat keberatan, kita tetap melakukannya.

Masalah utamanya adalah mencari tahu cara agar Bagastara mau bertemu. Mengingat dunia ini tak memiliki alat komunikasi seperti dunia sebelumnya. Andira menyebut tentang magic tools dan semacamnya, tapi kami tidak memilikinya dan harganya sangat mahal.

Ketika kami sedang kebingungan dengan masalah itu, salah seorang anak kecil datang dengan tekad di matanya. Tanpa ragu dia berkata, "Aku bisa menjadi pengirim pesannya."

Aku sungguh terkejut. Bahkan memekik secara reflek.

Anak lelaki yang kurus dan pucat itu bahkan tidak lebih dari sepuluh tahun. Akan tetapi, tatapan dan kepercayaan dirinya melebihiku. Dia yakin pada kemampuannya. Meski begitu, tidak mungkin aku membiarkan anak semuda ini melakukan hal berbahaya seperti menjadi pengirim pesan kepada seorang pembunuh. Bagastara adalah orang paling berbahaya di kota ini. Dia bisa terbunuh sekali Bagastara melihatnya.

Anak kecil itu tidak mundur. Bahkan dia berkata, "Aku takkan mati. Dia takkan membunuhku. Aku bisa berlari secepat kereta."

Membunuh.

Melihat seorang anak kecil memahami dan menyebutkan kata itu dengan penuh tekad membuatku sakit. Bila dia masih ada di dunia sebelumnya, anak ini pasti sedang duduk di depan guru, memperhatikan pelajaran yang diberikan, bukannya mempertaruhkannya.

Ketika aku kesulitan menemukan kata-kata yang tepat, Damar menyerobot.

"Okay. Kamu pergi!"

"Mar!"

Damar menatap anak itu sambil menyilangkan tangan.

"Lihat skillnya."

Meski terdengar tidak masuk akal, aku melakukan sesuai perintahnya. [Messenger], [Wind Step]. Aku mengerutkan dahi bingung.

"Kekuatanku membuatku bisa mengirimkan pesan tanpa terluka. Saat aku mengirimkan pesan aku tidak akan bisa diserang. Skill [Messenger] memberiku perlindungan selama aku menjadi pengirim pesan."

Andira yang masih duduk di tempat tidurnya menambahkan, "Selama Tio menjadi pengirim pesan, dia takkan diserang oleh penerima pesan sampai dia kembali kepada pengirimnya."

Wajahku memucat.

"Tapi lo bisa diserang orang lain."

Tio menatapku penuh harap. "Aku bisa terbang."

"Dir!" tukas Damar tajam. "Dia bisa jaga diri. Lagipula Bagastara takkan menyerangnya."

"Dia masih anak kecil."

"Dia lebih kuat dari kamu. Setidaknya dia memiliki kesempatan untuk mengetahui dimana Bagastara ada di mana. Itu salah satu keuntungan dari skillnya."

Aku kalah dalam perdebatan ini.

Tio pergi dengan cepat setelah mendapatkan persetujuanku. Pada akhirnya, dia tetap akan pergi dengan atau tanpa persetujuanku. Karena Damar harus mengurus tentang Dimas, kami akhirnya pergi sendiri.

Tio datang dengan selamat setelah memberi tahu tempat yang ditawarkan oleh Bagastara dan waktunya. Orang itu benar-benar tidak menyentuh Tio seperti yang dikatakan Damar. Ngomong-ngomong, orang itu sudah pergi dari sore.

Anak-anak ini juga memiliki kekuatan yang berbeda-beda dan cukup mumpuni untuk melindungi diri bila mereka bekerja sama satu sama lain. Sehingga, semakin lama bersama mereka, aku merasa lebih tenang meninggalkan mereka sendiri.

Ketika sudah waktunya pertemuan kami dengan Bagastara, Andira sedang bersiap-siap. Luka bakarnya masih tersisa, tetapi dia bisa bergerak lebih kuat sekarang. Terima kasih untuk [Heal] Tari dan potion yang dibeli Damar tadi siang.

"Lo nggak usah ikut, Dir."

"Lo lebih lemah dari gue."

"Tapi Bagastara nggak bakalan nyakitin gue."

Andira menepuk bahuku.

"Gue tahu lemah dan nggak banyak membantu, tapi biarin gue nemenin lo, setidaknya itu bisa bikin Damar lebih tenang."

Si kembar Johan dan Jihan berjanji akan melindungi tempat itu selama kepergian kami.

Anehnya Andira tampak sangat percaya diri saat menemaniku. Tidak seperti seseorang yang bersembunyi selama ini. Sikapnya sejak bangun juga membuatku bingung. Meski aku tidak pernah mengenalnya selama ini dan menyadari bahwa dunia ini mengacaukan otak kami untuk membuat kita beradaptasi lebih cepat, tetapi cerita dan sikap Andira sangat kontradiktif.

Andira adalah seorang mahasiswa yang senang melakukan kegiatan sosial. Oleh karena itu, dia memilih hidup tenang sembari melindungi anak-anak yang malah. Namun tindakannya tidak sesuai dengan perkataannya sama sekali.

Aku tidak mau curiga, status skillnya juga tidak terlihat mencurigakan. Damar juga mempercayainya hingga taraf memberi tahukan skill [Born]ku padanya. Akan tetapi, aku tak bisa menghilangkan gelisah di pemikiranku.

"Andira!"

Aku menatap Andira yang juga berhenti tanpa ragu.

"Lo itu siapa?"

Andira membalas tatapanku bingung. Tak lama kemudian, dia tersentak seolah baru tahu apa yang kumaksud. Dia tertawa pelan.

"Lo pasti lagi bingung ya soal gue yang kelihatan PD."

"Untuk orang yang bilang dia lemah dan cuma mau hidup tenang bareng anak-anak, lo terlalu PD waktu menghadapi orang kuat."

Dengan suara yang tenang, Andira menjawab, "Gue ketua BEM."

"Maaf, gimana?"

"Gue sebelumnya ketua BEM. Makanya gue nggak ada masalah dengan kepercayaan diri. [Shield] gue cukup kuat sampai bisa setara dengan kelompok Kenneth. Sebagai tambahan informasi, gue dulu satu kelompok sama Kenneth. Makanya gue tahu banyak informasi soal dia yang awal-awal. Meski sekarang dia berkembang. Jadi, gue nggak tahu sampai mana kekuatannya sekarang."

Melihat aku yang mencoba mencari kebohongan dalam kata-katanya, membuat Andira tersenyum semakin lebar.

"Gue ngaku kalau dulu beranggapan sama kayak Kenneth. Gue dibutakan oleh garis Player dan NPC. Beranggapan kita sedang ada di dunia game atau dunia fantasi dan menjadi tokoh utamanya."

Andira mendesah merasa bersalah. Dia mengusap rambutnya perlahan.

"Trus gue sadar, tidak peduli apakah ini dunia fantasi atau dunia game, fakta bahwa ini dunia nyata tidak berubah. Orang-orang itu hidup seperti kita. Jadi, gue merasa kayak, disadarin? Terutama saat Kenneth mau nyiksa anak-anak itu. Yah ... pokoknya, gue cabut dan milih buat sembunyi."

Cerita itu sangat mengejutkan. Aku bahkan tak tahu harus mengatakan apa pada seulas senyum Andira yang penuh rasa bersalah.

Mulutku terasa kering.

"Jadi, alasan lo bantuin kita sekarang karena apa?"

"Meski gue kuat, gue bukan Attacker. Gue cuma punya skill bertahan. Meski bertarung, gue nggak akan bisa ngalahin mereka. Sementara itu, nggak ada satu pun kandidat King of Grassland yang cukup waras. Damar nggak begitu waras, tapi setidaknya dia merasa ini dunia nyata dan dia bahkan nggak berharap akan menjadi pemimpin kota ini, kan?"

Tiba-tiba pemikiran gila itu muncul.

"Bagaimana kalau lo aja yang jadi [King of Grassland]?"

Dengan kata itu, Andira menganga tak percaya.

"Lo gila?"

Aku menggeleng pelan.

"Menurut gue, lo yang paling cocok buat nerima peran itu. Lo sadar kalo ini dunia nyata, dan lo punya kekuatan buat melindungi tempat ini. Itu yang dibutuhin."

Andira bergumam sangat pelan hingga aku tak bisa mendengarnya. Kemudian, dia menggeleng.

"Nggak bisa," jawabnya tegas. "Kita bakalan nyari orang yang tepat, tapi itu bukan gue. Udah. Ayuk! Bagastara pasti sudah menunggu."

Pembicaraan itu berakhir di sana. Namun, aku yakin, tidak ada orang lain yang lebih cocok untuk menjadi [King of Grassland] selain Andira.