Perjanjiannya sederhana. Mereka memberi kami 30 koin perak dan dua kamar untuk sementara serta makanan juga peralatan selama kami ada di sini, sebagai ganti perburuan kawanan Hyena yang memburu desa setiap malam. Tidak hanya itu, Damar juga menuntut penjelasan lengkap dari permasalahan Hyena itu hingga jumlah presisi dari buruannya, tetapi mereka hanya bisa memperkirakan jumlah itu sebanyak 30 paling sedikit.
Damar bersungut-sungut. "Anda meminta saya memburu Hyena sendirian hanya dengan bayaran 1 koin perak seekor?"
"Hanya itu yang bisa kami berikan."
Aku berbisik pada Damar. "Lo nggak sendirian."
"Diam!" ketusnya. Aku segera tutup mulut. "Tambahkan!"
"Sepertinya kau tidak tahu Anak Muda ...," Damar menatap tajam. Sehingga pak Gerr segera mengoreksi, "Damar, tetapi 30 koin perak adalah jumlah yang besar. Kau bisa membeli 10 kantung beras besar dengan itu, dan kau tidak sendirian, kami akan turun ke perburuan."
Damar melihat ke arahku. "Satu kantung besar besar berapa kilo?"
"Kalau yang gue lihat tadi, kayaknya sekuintal, tapi kata Pak Gerr benar, 30 koin perak itu jumlah yang besar. Lo bisa beli kereta kuda dengan dua kuda. Mobil Avanza deh."
"Dua ratus juta?"
"Sekitar itu."
Damar mengangguk. "Okay, tetapi daging dan kulit Hyena itu milikku."
Ini orang belajar kikir dari mana sih? Dari segala hal diperhitungkan.
Namun, berbeda dengan Damar, pak Gerr jelas terlihat bingung dengan permintaan Damar.
"Tidak masalah. Hanya saja, untuk apa kau mengambil benda itu?"
"Untuk dimakan."
Pak Gerr menggeleng. "Tidak bisa. Semua hal yang berasal dari Serpent Forest beracun."
Aku mengerjap terkejut dan memiringkan kepala. "Serpent Forest?"
"Bukankah kalian dari sana? Kalau dipikir-pikir bagaimana kalian bisa bertahan ketika di sana? Para Makhluk Dunia Lain datang sepuluh hari yang lalu. Bila kalian jatuh di hutan itu, bila kalian memang cukup beruntung dan kuat untuk melawan hewan-hewan di sana, kalian tetap harus makan. Di sana tidak ada hal yang bisa di makan."
"Gue eh aku punya ...."
"Tidak penting," tukas Damar. Dia melirikku dengan kesal, kemudian kembali pada pak Gerr. Duh, masak aku harus menyembunyikan skill [food] juga sih. Padahal tadi jelas-jelas aku sudah bilang akan mencari pekerjaan dengan skill ini dan dia baik-baik saja. "Aku akan mengambil dagingnya. Mau kuapakan daging itu, bukan urusan kalian."
Pak Gerr menghela napas. "Nak, aku tahu bagus untukmu berhati-hati pada sesuatu, tapi sungguh, aku hanya khawatir padamu. Tak banyak dari Makhluk Dunia Lain yang tahu tentang dunia ini. Tentu saja, banyak dari mereka yang memakan daging beracun atau buah beracun karena tidak tahu. Kalian memang diberi kemampuan yang hebat, tetapi apakah kalian membaca cerita itu hingga tuntas?" Dia terdiam sejenak dan Damar menggertakkan giginya. Aku mengusap belakang kepala. "Kurasa tidak. Itulah mengapa aku memberi tahumu. Kami tidak menginginkan daging itu, justru kami ingin membakarnya agar makhluk lain tidak memakannya dan mati."
"Aku memiliki skill untuk mengubah semua bahan menjadi makanan."
"Ran!" desis Damar tajam, tetapi aku tidak mempedulikannya.
"Selama ini kami makan dari hewan-hewan buas itu. Skill-ku menetralkan racunnya dan membuat dagingnya bisa dimakan."
Pak Gerr menatapku takjub, seolah dia baru saja menemukan hal paling luar biasa di dunia. Dia menyentuh dagunya. Matanya menerawang dengan kilat tertarik.
"Kau bisa menjadikan semua hal, bahkan racun dari Serpent Forest yang tak memiliki penawar, bisa dimakan? Dengan skill-mu masalah kekurangan makanan akan ...."
Damar menggebrak meja. Wajahnya terlihat sangat menakutkan sementara meja itu hancur di tangannya. Hal itu membuat Pak Gerr terkejut, begitu pula orang-orang di sekitarnya.
"Mar, lo apaan sih?"
"Aku akan memburu Hyena itu, mengambil dagingnya, dan kau membayarku serta memberiku tempat tinggal selama perburuan. Setelah itu kami pergi. Tidak ada yang lain."
Pak Gerr mengangkat tangannya tanda menyerah. "Baiklah." Dia memerintahkan lelaki paling kecil dalam kelompok itu. "Senn, tunjukkan kamar dari penginapan Pinny, katakan padanya berikan dua kamar terbaik."
Senn mengangguk. "Mari ikut saya."
Penginapan yang diberikan oleh Pak Gerr cukup rapi. Bersih. Ada kamar mandi di dalam kamar. Jendela yang terbuka lebar menghadap ke pemandangan sungai yang berkilau. Juga perabotan dari kayu dengan nuasna yang sangat berbeda dengan di rumah. Rasanya aku benar-benar kembali diingatkan bahwa ini adalah dunia lain.
Kamar Damar ada di sebelah, tetapi dia mengikutiku setelah hanya mengangguk. Setelah Senn pergi, barulah dia menutup pintu.
"Kamu bodoh, ya?"
"Lo yang apa-apaan? Pak Gerr baik. Dia cuma mau bantuin, karena khawatir dan ucapannya masuk akal."
Damar mendengus dan menyilangkan tangan di dada. "Kamu harus lebih hati-hati dengan sekitarmu. Kamu nggak dengar, ya? Orang-orang itu ingin menggunakan kemampuanmu untuk memasak apa pun. Bayangkan kalau mereka mengetahui kemampuanmu untuk membuka skill."
"Mereka cuma butuh makanan!"
"Mereka masih baik-baik saja sampai sekarang meski tanpa bantuanmu."
Aku mengacak-acak rambut kesal.
"Dengar, Mar! Lo emang anak orang kaya yang tiap hari dapet makanan tepat waktu pagi, siang, malem, tapi gue? Gue tahu gimana rasanya lapar tapi tidak ada makanan yang bisa dimakan. Rasanya nggak enak. Orang-orang ini perlu makanan dan gue punya kemampuan buat masak daging-daging itu."
Damar hanya menatapku dengan sebelah alis terangkat seolah aku sedang mengatakan omong kosong. Bedebah sialan. Aku mencoba menahan diri. Ini Damar, orang paling keras kepala dan tidak mudah percaya yang pernah kukenal.
"Kita nggak bisa bawa semua daging tiga puluh Hyena. Biarin gue masak daging yang tersisa buat orang-orang di sini dan kita ambil secukupnya. Kota selanjutnya nggak jauh. Perjalanan sepuluh hari dengan masih banyak hewan liar. Kita bisa berburu lagi."
Dagu Damar masih sekeras batu. "Tidak. Bila memang kita tidak bisa membawa semua daging itu, kita buang. Kalau sesuai dengan ucapanmu, maka tidak ada gunanya juga membebani diri untuk membawa daging. Aku akan menyelesaikan perburuan secepatnya. Satu minggu paling lama, setelah semua selesai kita langsung ke kota selanjutnya."
"Mar!"
"Selama aku nggak ada, kamu di kamar saja. Jangan pergi ke manapun! Kalau kamu masih pergi, akan aku rantai pintunya. Jika masih keras kepala juga, aku akan merantaimu di kamar."
"Anjing, Mar! Lo jangan gila! Gue tahu, status gue lemah tapi lo nggak berhak ngatur gue ...."
Tiada angin, tiada hujan, Damar tiba-tiba berkata, "Kakakku meninggal setelah diperas habis-habisan oleh orang-orang di sekitarnya."
"Apa?"
Suara Damar melembut. Matanya menerawang.
"Awalnya juga sama sepertimu. Orang yang sangat baik dan percaya bahwa orang-orang di sekitarnya sama. Namun dia lupa, tidak semua orang baik. Terutama di dunia ini dimana orang-orang memiliki kekuatan untuk kekerasan."
"Lo ... gue nggak bakalan berakhir kayak kakak lo."
Damar tersenyum miring, kemudian kesedihan itu menghilang. Digantikan dengan suara tajam menuntut. "Mandi sana! Kalau ada apa-apa panggil aku di kamar sebelah. Apa pun itu."
Damar memang mencoba melindungiku, aku sungguh berterima kasih tentang itu, tetapi, entah kenapa aku memiliki firasat tidak enak tentang perilakunya. Ah ... sial. Apa yang harus kulakukan?