Perjalanan kami cukup sulit.
Ralat.
Sangat sulit.
Monster-monster menyerang kami. Mulai dari monster tumbuhan pemakan daging, serigala raksasa dengan kepala tiga, Harimau-harimau lain, dan monster burung yang mengincarku, yah ... semuanya mengincarku sebenarnya.
Meski semua dilibas habis oleh Damar, pada akhirnya lelaki itu meraih bajuku dan membentak, "Apa yang kamu lakukan sampai mereka mengincarmu, sih?"
"Gue nggak tahu, anjir, sumpah!"
Pada akhirnya, semua monster itu dibunuh oleh Damar tanpa perlu bersusah payah. Banzai orang kuat. Mungkin itu karena skill [Swordmaster] tetapi rasanya mengerikan melihat ketua OSIS yang biasanya mengomel ketika aku telat menjadi pembantai hewan-hewan raksasa dengan pedangnya.
Untung saja dia tidak mempunyai kemampuan itu sebelum masuk dunia ini.
Pertumbuhan status Damar juga sangat signifikan. Sebelumnya dia memiliki sekitar 120, tetapi sekarang statusnya menjadi lebih dari 150 dengan stamina lebih dari 200. Skill-nya masih empat, tetapi siapa yang perlu skill lain bila dia bisa membabat hutan dengan empat skill itu? Tidak. Dia pasti memerlukan skill lain suatu saat. Perjalanan ini takkan berakhir hanya karena kami mencapai desa.
Dibandingkan dengan kekuatannya, pertumbuhanku sangat lambat. Tidak ada yang benar-benar bertambah kecuali status Mpku yang bertambah 5. Itu pun seluruh Mpku belum pulih seluruhnya. Setelah penggunaan skill [Born] dilarang Damar, setidaknya selama dia masih ada bersamaku, satu-satunya skill yang bisa kugunakan adalah [Eyesight] dan [Food]. Wah ... aku berguna sekali ya.
"Ada yang luka?"
Aku mengerjap. "Nggak sih. Gue cuma ... rasanya aneh nggak mandi seminggu. Desanya udah deket belum, sih?"
Damar hanya diam. Dia sedang mengumpulkan kayu bakar dan melemparkan api kecil begitu saja dari tangannya. Api segera melahap ranting-ranting itu dan tadaa kita punya api unggun untuk malam ini.
Aku sendiri sedang sibuk membersihkan bulu dari daging babi hutan yang kami lawan hari ini.
"Mau mandi?"
"Gimana?"
Dia mengangkat tangan dan pancuran air sihir muncul di udara.
"Aku punya air."
"Nggak. Makasih. Ntar aja."
Damar mengangkat bahu dan duduk begitu saja ke tanah. Damar sendiri juga tidak mandi. Dia hanya membasuh wajahnya sesekali dengan air dari skill-nya. Sungai yang kami temui berwarna hitam dan kami memutuskan untuk tidak menyentuhnya sama sekali.
Ini tempat apa sih? Tidak ada buah. Hanya ada hewan buas. Airnya juga kotor banget. Kenapa aku dilemparkan ke sini? Terlebih lagi hewan-hewan itu, kenapa sih mereka mengincarku? Ah sialan. Kalau saja tidak ada Damar, aku pasti sudah mati dari awal.
Ah ....
"Mar!"
"Ya?"
"Terima kasih."
Damar menatapku sangsi. "Buat?"
"Ya kan lo nyelametin gue terus seminggu ini."
Mar, please lah! Ngomong sesuatu, gue malu anjir.
Setelah melemparkan satu lagi kayu, Damar akhirnya berkata, "Gimana kalau aku menolongmu karena menginginkan skill-mu?"
"Lo nolong gue sebelum tahu skill gue." Damar diam saja. Aku kembali melanjutkan, "Gue paham lo khawatir, tapi nggak perlu akting kayak orang jahat. Lo bukan orang jahat. Ngeselin sih iya, tapi reasonable."
"Aku menyebalkan?"
"Menurut lo? Cuma lo yang ngehukum gue dan nggak percaya penjelasan gue."
"Aku kan tidak tahu." Dia diam sejenak. "Aku minta maaf."
"Eh ... nggak. Nggak usah minta maaf juga kali. Itu kan udah tugas lo jadi ketua OSIS. Lagian gue emang telat. Jadi, fifty-fifty deh. Lo juga udah nolongin gue dari kemarin."
Damar menghela napas lega. Jangan bilang ni anak merasa bersalah jadi dia menolongku? Ah tidak. Eh ... mungkin setengah, tapi sebagian besar alasannya pasti karena dia kebetulan ada di hutan ini dan kami kenal sebelum masuk dunia ini.
Yep. Benar. Pasti begitu.
Damar menggumamkan sesuatu, tapi retihan api membuatku tak bisa mendengarnya.
Selama petualangan ini, kami tidur bergantian. Awalnya Damar menolak, tapi setelah staminanya turun terlalu drastis, dia akhirnya menerima dengan syarat, bila sesuatu terjadi segera bangunkan dia. Aku juga tidak cukup bodoh untuk melawan Harimau sendirian dengan status serendah ini, jadi, yep ... aku menepati janjiku. Pasti.
Setelah tiga hari berjalan lagi, kami akhirnya mencapai ujung hutan. Udara yang segar. Cahaya yang menyenangkan. Juga desa kecil yang tak jauh dari sana dengan kincir angin raksasa bergerak stabil.
Kita benar-benar keluar dari hutan dengan selamat.
"Desanya masih cukup jauh, tapi ini sudah di luar hutan."
Tak menunggu waktu lama, kami segera berjalan menuju desa sebelum matahari terbenam. Rerumputan di luar hutan benar-benar berwarna hijau dan sehat. Sungguh berbeda dengan yang ada di dalam hutan. Burung-burung beterbangan di langit biru. Sungai bersih yang berkilau terkena sinar matahari. Bahkan kami bisa melihat ikan-ikan yang berenang di sana.
"Benar-benar beda dengan yang ada di hutan."
Kami sampai di desa itu tiga jam kemudian. Penduduk Desa berbisik dan menatap kami dengan takut-takut, sebagian besar penasaran. Mereka semua berbisik tentang Makhluk Dunia Lain sudah datang. Beberapa menatap instens, yang lain terutama para wanita tua menatap prihatin, tetapi kemudian masuk ke rumah dan mengunci pintu. Aku mengerutkan kening bingung. Mereka kenapa?
"Makhluk Dunia lain itu kita, kan, ya?"
Damar menatap sekeliling. "Sepertinya begitu. Kita harus mencari tempat menginap. Ayo!"
"Duitnya?"
Damar diam saja. "Kamu tidak membawa uang?"
"Mana ada gue bawa duit. Gue aja pakek celana pendek sama kaus oblong gini soalnya dah mau molor. Lagian mata uang di sini bukan Rupiah, percuma juga kita bawa dompet. Gesek juga nggak bisa."
Sepertinya ini kali pertama dia tidak membawa uang sama sekali. Dasar orang kaya. Dia tampak berpikir keras dan kebingungan tentang sesuatu.
"Ya udahlah, kita coba cari kerjaan aja. Kalo pakek skill [Food] gue kayaknya bakal ada tempat yang mau." Damar tampak keberatan. "Jangan bilang gue nggak boleh pakek [Food] juga?"
"Boleh. Hanya saja ...."
Damar berbalik. Beberapa orang laki-laki datang menghampiri kami. Satu yang terdepan jelas ketua desa, atau setidaknya seseorang yang dianggap paling kuat di sana. Ototnya benar-benar besar. Statusnya juga paling tinggi diantara yang lain. Sekitar 150 perorang dan lelaki itu sampai ke angka 200. Tidak berbeda jauh dari Damar. Nama-nama skillnya ada dua. [Chief] dan [War Axe]. Aku tak bisa melihat penjelasannya.
Damar mengambil satu langkah di depanku. Lihat deh bagaimana orang ini memperlakukanku seperti orang lemah. Ah ... tapi kalau mengingat beberapa hari terakhir, aku tidak bisa memprotes.
"Ada apa?"
Salah satu orang itu berbisik-bisik. Tetapi, lelaki yang paling depan tak perlu berbisik, "Meski sangat muda, dia tetaplah Makhluk Dunia Lain."
"Kok rasanya gue kayak setan."
Damar menatapku tajam dan aku segera menutup mulut.
"Saya memang masih muda, tetapi saya percaya diri dengan kemampuan saya."
"Anak sombong."
"Saya sudah sering dipanggil demikian."
Wah lihat deh! Damar sama sekali tidak takut. Matanya menatap lurus laki-laki besar itu dengan kepercayaan diri yang besar. Laki-laki itu tampak terdiam sejenak, tetapi ketika lelaki di belakangnya berbisik ke telinganya, lelaki itu menghembuskan napas pasrah.
"Maafkan ketidak sopananku, kami disini untuk meminta bantuan ...."
"Saya tidak membantu orang," tukas Damar sambil mengangkat bahu santai. Apa-apan anak ini? Aku menarik lengannya, tetapi dia bergeming. "Tetapi, bila Anda memberikan penawaran yang menarik, akan saya pikirkan lagi."
"Hoo ... kau lebih pintar daripada dugaanku."
"Bila dilihat dari Anda yang meminta bantuan dan bagaimana orang-orang ini takut, saya berasumsi permintaan itu membasmi sesuatu. Itu berarti saya harus mempertaruhkan nyawa saya. Apa anda pikir saya akan mempertaruhkan nyawa demi seseorang yang tidak saya kenal?" Damar menambahkan dengan lebih tajam. "Terutama pada orang yang bahkan tidak memperkenalkan dirinya."
Sudut bibir lelaki itu berkedut, kemudian dia tertawa lebar. Suara tawanya menggelegar.
"Kau benar, maafkan ketidak sopananku. Namaku Gerr. Aku kemari untuk meminta bantuanmu, tapi sepertinya bantuan itu terlalu kurang ajar. Memang ada masalah di desa ini yang menyangkut hewan-hewan di hutan yang ah tidak ... jangan bicara di sini! Mari, Makhluk Dunia Lain, datanglah ke rumah kepala desa untuk mendengar penjelasannya."
"Damar."
"Apa?"
"Panggil saya Damar. Nama saya bukan Makhluk Dunia Lain."
"Gue Randy."
"Baik. Damar dan Randy. Mari ikuti aku."
Gerr berbalik. Aku meraih Damar dan dia menoleh. "Serius nih?"
"Memang apa lagi yang bisa kita lakukan? Kita perlu uang dan ini lebih cepat daripada mencari pekerjaan dengan skill [Food]-mu."
"Itu ngeselin, tapi oke, kesampingkan dulu. Tapi lo serius mau minta bayaran dari mereka?"
"Itu dia maksudku, Ran. Kamu itu terlalu naif, kalau begini terus, kamu akan dimanfaatkan oleh orang lain. Ayo! Dia sudah pergi terlalu jauh."
Damar berjalan lebih dulu. Dengan terpaksa, aku mengejarnya.
Ketika matahari terbenam, aku baru tahu bahaya apa yang sedang menerpa desa ini.