Reni membulatkan kedua matanya, sambil terus menfokuskan pandangannya pada seorang pria yang sedari tadi mencengkram erat rahangnya.
Sambil tersenyum licik, wanita itu terus berusaha mengeluarkan kalimat tidak berguna.
"Ouh jadi kamu ingin membunuhku? Bunuh aku sekarang kalau memang kamu menginginkannya. Lebih baik mati di tanganmu daripada melihatmu lagi bersama wanita lain. "
Seakan tahu kalau yang diucapkan Erlan hanya sebuah ancaman, Reni semakin menantang Erlan.
Pria itu tidak mungkin bisa membunuh atau melenyapkan Reni, hal ini didasari karena Reni berasal dari keluarga terhormat. Meskipun kelakuan wanita itu seperti wanita jalang, tetap saja, ia adalah seorang putri dari keluarga yang memiliki pengaruh besar di perusahaan Erlan.
"Kurang ajar!"
Erlan melepas cengkraman tangannya dengan keras, tidak ada gunanya juga meladeni perempuan gila sepertinya.
"Sudah kubilang, kamu tidak akan pernah bisa menyakitiku, baby."
"Pergilah sekarang, dan jangan menemui saya lagi!" perintah Erlan sambil mengangkat jari telunjuknya.
Mendengar ucapan Erlan, wanita itu tetap tidak bergerak.
"Cepat pergi!"
"Baiklah, aku akan pergi dari sini. Tapi bukan berarti aku tidak akan menemuimu lagi, selama aku belum bisa mendapatkan hati kamu, selama itu pula aku akan terus menjadi bayangan keduamu," ucap Reni sambil memainkan mata. Kemudian pergi meninggalkan Erlan dengan berjalan meliuk di hadapannya.
Hampir saja wanita itu memancing emosi Erlan, jika saat itu ia tidak bisa mengendalikan emosinya, sudah bisa dipastikan wanita itu akan habis di tangannya.
Erlan kembali memandang makanan yang saat ini sudah mencuri perhatiannya. Rasa yang sama, namun dibuat oleh dua orang yang berbeda.
"Bagaimana bisa?"
Setelah bertemu dengan wanita itu, selera makan Erlan langsung menghilang. Namun setelah mengingat kembali rasanya, justru membuat Erlan semakin ingin menghabiskannya.
Namun niatnya terhalang ketika melihat jam tangannya yang mengarah pada angka tiga. Ia harus segera berbenah karena sebentar lagi ia akan menemui klien penting dari perusahaan yang ia ajak kerja sama. Benar saja, saat ini perusahaan Erlan dipercaya menjadi salah satu vendor utama di perusahaan Baratama.
"Tuan, apa semua sudah siap?" tanya sekretaris pribadi Erlan, Prilly.
"Tentu saja, sekalian bawakan juga dokumen saya yang berwarna kuning itu. Jangan sampai ada yang ketinggalan." Sambil menunjuk map berwarna kuning di atas meja.
"Siap, Tuan."
Dengan diikuti Prilly di belakangnya, Erlan segera menuju ke ruangan meeting. Meskipun meeting akan dimulai lima belas menit lagi, namun laki-laki itu sudah terbiasa datang lebih awal. Lebih baik mengawali daripada terlambat, begitulah prinsip yang ia pegang sedari dulu.
Erlan segera duduk di kursi utama, kursi putar berwarna hitam lekat itu, justru tambah menambah kewibawaan seorang Tuan Erlan.
"Perkenalkan dirimu terlebih dahulu, Nona," ucap pria paruh baya kepada seorang gadis perwakilan dari perusahaan Baratama.
Gadis itu mengangguk, tidak lupa sebelum angkat bicara, ia menarik pelan napasnya.
"Perkenalkan nama saya Reva Ristianti, karena owner berhalangan untuk hadir, saya sebagai sekretaris sekaligus tangan kanan Tuan Baratama, akan mewakili pertemuan hari ini."
Reva Ristianti, dengan kata lain dia adalah Reva. Sahabat dekat istrinya sendiri.
"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Erlan.
"Kelihatannya Anda salah mengenali, Tuan," ucap Reva. Tidak ingin sampai Erlan menyadari kalau dirinya adalah sahabat Clara. Pada malam pesta pernikahannya, sedikit banyak Erlan pernah melihat Reva lalu lalang sebagai tamu undangan, namun ingatan laki-laki itu masih tergolong minim untuk mengenali seseorang.
"Wanita cantik seperti Nona Risty sangat banyak di kota ini Tuan, mungkin ada salah gadis lain yang memiliki wajah hampir mirip seperti nona kami ini." Reva yang selama ini dikenal sebagai wanita tomboy, justru kali ini ia berpenampilan sangat elegan dan cantik. Kemeja berwarna putih yang dipadukan dengan blazer hitam, semakin memberi kesan kecerdasan di paras gadis itu. Bahasa yang ia gunakan juga tergolong baku, Reva sangat pintar menempatkan posisi dengan siapa lawan bicaranya saat ini.
"Mungkin, saya minta maaf karena kelancangan saya tadi,"
"Tidak masalah."
Sepanjang jalannya meeting, Reva terus memperhatikan gerak gerik laki-laki di hadapannya itu. Tidak lain karena ia ingin tau siapa sebenarnya sosok laki-laki yang menikahi sahabatnya.
"Bagaimana, Nona? Apa sebaiknya kita bekerja sama langsung dengan petani untuk memasok kapas, jadi nantinya kita pilih seseorang terpercaya untuk merangkul para petani kapas agar mau bekerja sama dengan perusahaan kita."
Reva masih terdiam, dia terus melihat Erlan dengan saksama. Sampai tidak sadar dengan apa yang laki-laki itu ucapkan.
"Nona, apa ada yang salah?"
"Nona Risty?"
"Iya, iya bagaimana? Bisa diulangi lagi, Tuan?" pinta Reva sambil terkejut.
Erlan pun bersedia menjelaskan kembali argumen yang ia utarakan.
"Kenapa harus berhubungan langsung dengan para petani? Bukankah kita bisa memakai pihak ketiga berupa vendor tetap untuk perusahaan ini?" tanya Reva.
"Sebenarnya bisa, tapi dengan kita memakai jasa langsung dari petani, hal ini pasti akan semakin banyak membantu para petani kapas secara maksimal. Kita juga bisa dapat harga lebih murah, begitu juga sebaliknya, mereka juga bisa memasang patokan harga langsung kepada perusahaan kita. Sama-sama menguntungkan, daripada harus membeli dari tangan kedua."
"Ide yang bagus," jawab Reva langsung menyetujui ucapan Erlan.
Terpendam rasa kagum di hatinya saat ini, terlepas dari persoalan sahabatnya, Erlan adalah seseorang yang tidak gila keuntungan. Benar-benar adil dan siapa pun yang bekerja sama dengannya, pasti sama-sama merasakan keuntungan yang sebanding.
"Meeting hari ini saya tutup, sekian, dan terimakasih."
Erlan mengulurkan tangannya kepada Reva, melihat uluran tersebut, Reva segera meraih tangan itu.
"Sukses kedepannya," ucap Erlan. Semboyan kehidupan yang selalu diucapkan selepas selesai meeting.
"Saya harap juga begitu," balas Reva terdengar kaku.
Satu per satu orang meninggalkan ruangan, kini hanya tersisa Erlan dan Clara saja.
"Nona, tunggu!"
"Iya, apa apa Tuan? "
"Nona, saya tidak asing dengan wajah Nona. Dan sepertinya saya tidak salah mengenali."
Sial! Reva pikir Erlan melupakan ingatannya begitu saja, namun ternyata ia masih mengungkitnya.
"Benarkah? Saya tidak merasa pernah bertemu denganmu sebelumnya."
Gadis itu sebisa mungkin mengelak dan bersikap tenang. Jangan sampai karena sikap gegabah, ia kehilangan kesempatan untuk mencari tahu alasan sebenarnya kenapa Tuan Erlan menikahi sahabatnya. Tentu saja ia tidak ingin pengorbanannya menjadi sia-sia karena hal ini. Untuk bisa menjadi orang kepercayaan di perusahaan Baratama tidaklah mudah, jika bukan untuk sahabatnya, ia tidak mungkin mau mau keluar dari zona aman.
"Sepertinya Tuan Erlan terlalu terpesona dengan kecantikanmu, Nona. Sampai-sampai ia merasa begitu dekat denganmu."
Ucap sekretaris Erlan. Ia berusaha menggoda atasannya yang berwajah dingin itu.
"Diam! Bukan seperti itu maksud saya."
"Baiklah, kalau tidak ada lagi hal yang ingin dibicarakan, bolehkah saya keluar dari ruangan ini?"
Lebih tepatnya, Reva sangat muak harus bersandiwara.
"Silahkan," jawab Erlan dengan singkat.