Seorang perempuan berusia 19 tahunan mendongak ke atas langit-langit. Menembus cahaya lampu tepat pada kelopak matanya. Kedua mata sayunya menyimpan suatu hal yang tidak mungkin bisa ia jelaskan. Menatap pasrah penuh harapan.
Seketika wajahnya banjir uraian air mata. Tak tau ke mana lagi ia akan melangkah, yang jelas saat ini, tidak ada tempat baginya untuk bersandar. Wanita berwajah mendung itu, akhirnya segera menyudahi lamunannya.
Hatinya pun berkecamuk liar, ketika melihat seorang perempuan paruh baya yang sedang terkulai lemah tak berdaya. Sudah tiga hari ini nyawanya digantung di udara, ini adalah hari terakhir gadis itu untuk bisa membawanya kembali ke dalam raga.
''Saya mohon beri waktu tiga hari lagi, Sus.''
Gadis itu adalah Clara.
''Tidak bisa, Nona. Rumah sakit sudah memberimu kesempatan untuk membayar semua tagihan. Kami tidak bisa menunggu lagi."
Ucap seorang wanita yang mengenakan pakaian serba putih di badannya.
Clara menatap pasrah, seolah membenarkan ucapan wanita itu. Di hari pertama pada saat ibunya dirawat, seharusnya ia sudah melunasi semua tagihan pembayaran rumah sakit. Namun karena uangnya belum ada, pihak rumah sakit pun masih berbesar hati untuk memberi waktu tambahan.
Kemudian ia segera menggerakkan kakinya dengan pelan, menekuk kedua lutut sembari menyatukan kedua tangan di hadapan wanita itu.
''S-saya mohon—''
''Beri saya keringanan waktu lagi untuk membayar uang operasi ini, Sus. Saya tidak akan lari dari tanggung jawab.''
Clara mendukkan kepalanya, bersimpuh di bawah kaki wanita itu. Tidak peduli bagaimana jawabannya, hanya ini yang bisa ia lakukan.
''Apa yang kamu lakukan? Saya bukan pemilik rumah sakit ini, jadi percuma jika kamu memohon kepadaku. Aku tidak bisa membantumu. Kecuali—''
Suster itu menghentikan suaranya, seperti ada sesuatu yang mengganjal mulutnya.
''Kecuali apa, Sus? Apa ada solusi lain?''
Clara bertanya heran, kenapa wanita di hadapannya berhenti begitu saja tidak meneruskan bicaranya. Seraya berharap ada jalan keluar lain yang bisa ia dapatkan.
''Kecuali kamu bicara sendiri dengan pak direktur, pemilik rumah sakit ini. Namun hal itu percuma, dia orang yang angkuh dan tidak berperasaan. Air matamu, justru akan membuat ia semakin merasa jijik.''
Clara terdiam untuk beberapa saat. Menatap lekat wanita di hadapannya itu. Meskipun sebenarnya ia sendiri tau, memohon kepadanya tidak akan merubah keputusan apa pun.
''Saya akan mencobanya.''
Jawab Clara dengan mantap. Tidak ada jalan lain lagi. Setidaknya ia masih memiliki setitik harapan, dari pada berdiam diri pasrah dengan keadaan. Tidak peduli sedingin apa orang yang akan ia temui nanti, yang jelas, keselamatan ibunya di atas segalanya.
''Kapan saya bisa bertemu pak direktur?''
"Lebih cepat, lebih baik,'' batin Clara dalam hati.
''Kau bisa menemuinya nanti siang. Jam 11 nanti, ia akan tiba di sini.''
Wanita itu pergi meninggalkan Clara. Memberi seulas senyum miring seakan berkata 'Kau tidak mungkin mendapat belas kasihnya.'
Clara menatap kepergian suster itu sampai hanya terlihat ujung kepala. Lalu mengangkat badan, untuk mencari sandaran pinggulnya.
Setiap langkah dari hentakan kakinya terasa amat sangat berat.
Untuk sejenak langkah kakinya terhenti, ketika memandang wanita paruh baya yang sedang tertidur pulas di balik kaca tebal. Obat bius dan penenang, berhasil membuatnya hidup di dalam mimpi tidur. Satu-satunya harapan yang wanita itu miliki untuk bisa membuatnya terbangun dari mimpi buruknya adalah putrinya sendiri, Clara.
Beberapa hari ini Clara lalu lalang di jalanan, sembari berhenti di beberapa titik untuk mendapatkan sejumlah uang yang ia butuhkan untuk biaya operasi ibunya. Tiga puluh juta bukanlah nominal sedikit. Bahkan tidak ada seperempat dari gaji bulanan yang biasa ia dapatkan. Terlebih lagi dia tidak punya saudara kandung, dan hanya memiliki seorang paman yang selama ini sudah menampung mereka berdua di dalam rumahnya.
Meskipun ingin, pamannya itu tidak akan bisa membantu. Mengingat dirinya yang hanya bekerja sebagai kuli bangunan cadangan, gaji pas-pasan, hanya cukup untuk biaya makan anak dan istrinya.
Semenjak ayahnya pergi menghadap sang ilahi, Clara memikul banyak beban dan tanggung jawab. Ia yang seharusnya sudah berada di bangku semester 6, harus terpaksa berhenti karena tidak ada lagi uang yang bisa ia bayarkan untuk pendidikan kuliahnya. Terlebih lagi ia harus menjadi tulang punggung keluarga dan menghidupi ibunya yang selama ini sudah mengidap penyakit gagal ginjal.
***
''Tuan, saya sudah melakukan apa yang tuan minta!'' ucap seorang suster kepada laki-laki yang duduk di kursi putar membelakangi badannya.
Laki-laki itu tersenyum tipis, sambil menepuk-nepuk kecil kelima jarinya di atas pegangan kursi. Kedua matanya yang semula terpejam, kini mendadak terbuka lebar. Kemudian secara perlahan memutar kursi dibantu salah satu kakinya.
''Bagus! Berapa sisa waktu gadis itu untuk bisa membayar semua tagihan rumah sakit?''
Tanya laki-laki itu sambil menatap tajam suster di depannya. Siluet matanya setajam silet. Bahkan, tidak ada satu pun debu yang lolos dari pandangannya.
''Sekarang adalah hari terakhir,''
''Ya! Segera bawa dia ke mari.''
Laki-laki itu adalah Erlan Wesly.
Wajah tampan nan kejam saling terikat lekat menganugerahi tubuhnya. Bola mata biru pencampuran dari eropa utara, yang seharusnya melukis pelangi indah, justru malah menciptakan ketakutan tersendiri bagi seseorang yang ditatapnya dengan tajam.
Senyumnya, tidak! Jangan harap bisa mendapat senyum yang tulus dari laki-laki ini. Senyumnya adalah maut tersendiri bagi orang yang mendapatkannya.
Selama ini keluarga Wesly selalu disegani semua orang, terutama di dalam dunia bisnis. Berhadapan dengan mereka, tentu menjadi momok tersendiri yang sangat menyeramkan.
Beberapa menit kemudian--
''Apa kau manager di rumah sakit ini?''
Suara seorang wanita menghentakkan pikiran Erlan dengan sangat cepat. Pasalnya wanita itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
Erlan menatap wajahnya dengan datar.
Lancang! Bahkan wanita itu tidak mengucap permisi sama sekali.
''Apa kamu bisu sehingga tidak bisa mengucap permisi? Matamu itu ditaruh mana, hah? Lihat, itu ada pintu! Dasar lancang.''
Erlan menaikkan salah satu alisnya. Memberi tatapan yang tak biasa, seakan memastikan tatapan itu akan menjadi tatapan maut yang akan selalu ia ingat.
Clara tersentak kaget. Sorot mata elang di hadapannya kali ini sungguh membuat seluruh badannya merasa terguncang.
''Ma-maf Pak! Saya sama sekali tidak sadar dengan adanya pintu itu.''
Ucap Clara dengan suara bergetar. Meskipun pintu kaca itu benar-benar ada, Clara sama sekali tidak memperhatikannya. Tidak ada waktu baginya untuk memperhatikan hal lain selain keselamatan ibunya. Apa pun alasan yang akan ia buat, tidak akan bisa menarik kembali ucapan kasar yang sudah laki-laki itu lontarkan.
Perubahan raut wajah Erlan semakin membungkam mulut Clara, mata elang itu begitu tajam menatap kedua matanya.
''Lihat itu, masih pura-pura tidak melihat? Pergilah! Daripada emosiku terus memuncak.''
Erlan mengarahkan jari telunjuk dengan kasar ke arah pintu.
''Toolong dengarkan keluhan saya terlebih dahulu, Pak. Hanya anda yang bisa membantu saya, tolong sekali ini saja.''
Mohon Clara dengan wajah lemas.
Aliran darah dingin seketika menyeruak masuk ke seluruh ruang tubuhnya. Jari-jarinya bergetar, bibir yang dipaksa untuk bersuara, seakan menahan lidah untuk tidak mengucap sepatah dua patah.
Clara saling mengaitkan jarinya satu sama lain, hingga tidak menyadari salah satu ujung kukunya menancap ke permukaan kulit. Dan, setitik darah muncul di sana.
'Aduuh' keluh Clara lirih.
''Jangan sebut aku dengan kata Pak, saya bukan bapak kamu. Panggil saya Tuan!''
Tentu Erlan tidak akan sudi jika harus dipanggil dengan sebutan itu. Sebuah panggilan yang sudah biasa wanita itu sebut kepada orang yang memiliki keterkaitan dengan kehidupannya di masa lalu.
''Ba-baik, Tuan.'
''Lalu? Apa yang kau inginkan dariku?''