''Silahkan duduk di depan, Nona.''
Clara mengangguk pelan, lalu segera naik ke dalam mobil dengan perasaan was-was.
Seketika mobil itu langsung membawanya pergi ke arah utara. Namun Clara masih terdiam membisu sembari mengamati wajah seorang laki-laki yang berada di sampingnya. Kali ini ia berniat untuk memulai percakapan dengannya terlebih dahulu.
''Apa kau sudah lama bekerja dengan Tuan Erlan?''
Sebuah pertanyaan singkat berhasil mendarat di bibirnya, tentu saja ini hanya sebuah basa-basi untuk mencairkan suasana.
''Tidak terlalu. Hanya sekitar 4 tahunan.''
Ujar sang sopir laki-laki yang berusia 35 tahunan itu.
Empat tahun merupakan waktu yang cukup lama, bagi seseorang yang bekerja dan memiliki majikan seperti Tuan Erlan.
''Lalu sebelumnya? Apa tuan menggantikan sopir lain yang mendadak resign, atau mungkin dipecat?''
Clara meredupkan mata penasarannya, ia pikir hanya orang-orang tertentu saja yang bisa tahan dengan sifat majikannya itu.
''Sopir sebelumnya meninggal dunia, karena mengalami kecelakaan,'' jawabnya dengan singkat.
Hati Clara tersentak. Seketika ia mengingat ayahnya yang bernasib sama seperti mantan sopir itu. Ayahnya yang saat itu berpamitan untuk mencari nafkah, tiba-tiba ia pulang tanpa nyawa. Hanya itu ingatan yang sampai melekat di kepalanya, parahnya lagi sampai saat ini ia tidak tahu siapa orang yang tega menabrak ayahnya.
'Aku tidak akan memaafkannya,' prolognya dalam hati. Tentu dirinya tidak akan pernah memberi kata maaf untuk seorang penjahat. Kalau saja ayahnya masih hidup, pasti Clara tidak akan mengalami kesulitan seperti ini.
''Lalu apakah Tuan Erlan sebelumnya sudah memiliki pasangan?''
Clara mengerutkan dahinya. Meskipun Reva sudah memberitahunya, tentu ia ingin mendengar cerita yang sama dari orang yang berbeda. Clara semakin merasa tertarik untuk mendengar lebih banyak lagi tentang keluarga calon suaminya di masa lalu. Clara sangat yakin, kalau Erlan tidak akan menceritakan semua itu kepadanya.
''Maaf Nona, bisakah anda sedikit diam?''
Sopir dan majikan sama-sama menyebalkan, dengus Clara dalam hati.
''Hmm, baiklah! Tidak masalah jika kau tidak mau menjawabnya, tapi bolehkah aku bertanya satu kali lagi? Selepas ini aku tidak akan bertanya apa pun.''
''Ya?!''
''Mengenai keluarga Wesly, apa selama ini kau diperlakukan dengan buruk? Aku kira dia begitu bengis, dan tidak berperasaan. Benarkah begitu?''
''Tidak seburuk yang Nona kira, dan juga tidak terlalu baik.''
Jawab sopir memberi jawaban yang ambigu. Karena merasa tidak puas, Clara berniat untuk meneruskan pertanyaannya.
''Lalu kebaikan apa yang pernah Tuan Erlan lakukan?''
Lagi-lagi Clara bertanya seolah-olah ingin sopir itu menceritakan semua tentang keluarga Erlan.
Sopir itu melempar lirikan tajam ke arah Clara, melihat hal itu Clara langsung terdiam.
''Kau terlalu berisik. Kedepannya kurangi rasa keinginan taumu agar Tuan Erlan bisa lebih berbelas kasih kepadamu, Nona!''
Baiklah.
Gadis itu berulang kali menarik nafasnya dalam-dalam. Jika tidak, mana mungkin ia terlihat begitu tenang ketika kendaraan besi itu membawanya pergi entah ke mana.
Sepanjang jalan Clara terus menerus menatap gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Pemilik gedung pencakar langit itu, pasti bukanlah orang biasa. Namun ada yang aneh, ada sebuah gedung raksasa yang sangat mencuri perhatian Clara. Gedung itu memiliki ukuran tiga kali lipat dari gedung-gedung di sekitarnya, di bagian dinding luar gedung itu terdapat simbol sekaligus tulisan timbul yang memiliki nama Wesly Company.
Seketika Clara terhentak, kedua matanya terbelalak tidak berhenti memandang penampilan megah gedung itu mulai ujung, sampai dengan ujung.
''Perusahaan itu adalah milik keluarga Wesly. Perusahaan nomor satu di Kota Jakarta.''
Ucap sang sopir, seakan bisa membaca tanda tanya besar di hati Clara.
Clara kira selama ini keluarga Wesly hanya mempunyai sebuah rumah sakit saja, tetapi juga mempunyai satu gedung raksasa yang di dalamnya memiliki banyak hunian mewah. Mulai dari hotel, Bioskop IMAX, restoran, bowling, billiard, dan lain-lain.
Pemandangan billboard di sepanjang jalan dengan menampilkan beberapa foto aktor dan aktris pendatang baru yang sedang naik daun, dan mengiklankan beberapa produk, juga tidak kalah menarik mencuri perhatian Clara. Clara pikir selama ini ia terlalu menjadi anak rumahan, sehingga tidak tahu bahwa di luar sana masih banyak kemegahan yang belum ia ketahui.
Setelah beberapa menit, kendaraan roda empat yang ia tumpangi berhenti di sebuah pelataran rumah yang cukup luas.
''Selamat datang di kediaman utama Tuan Wesly, Nona.''
Ucap Sopir sembari membukakan pintu mobil. Mempersilahkan Clara untuk segera keluar dari dalam mobil.
Kaki Clara melesat dengan cepat, lalu menatap sebuah bangunan mewah yang terpampang jelas di hadapannya. 'Hah, kediaman utama?' tanya Clara dalam hati.
Di depan pintu utama, terdapat dua pelayan yang membawa sebuah gaun berwarna merah beserta peralatan make up.
''Mari, kami akan mengantar Nona untuk segera berkemas.''
Ucap salah satu pelayan perempuan sambil menundukkan kepala.
Clara hanya mengangguk pelan, jika biasanya ia banyak melontarkan pertanyaan, kali ini ia benar-benar diam. Seakan-akan sedang pasrah mengikuti alur yang sudah laki-laki itu rencanakan.
Dua pelayan itu membawa Clara menaiki lift yang berada di pertengahan ruangan. Lift itu membawanya naik ke lantai dua. Seketika hati gadis itu menjadi kabur mengenai siapa sebenarnya sosok keluarga Wesly, kenapa ia begitu kaya raya.
Sepersekian detik kemudian, lift itu berhenti dan pintunya terbuka secara otomatis. Pandangan Clara beralih terfokus pada satu kamar yang berhadapan langsung dengan lift tersebut.
''Silahkan masuk, Nona.''
Ucap pelayan mempersilahkan Clara masuk ke dalam kamar itu.
''Iya.''
Jawabnya pelan. Sekaligus terdengar lirih di telinga.
Mata Clara termanjakan dengan apa yang ia lihat di dalamnya. Sekilas dari luar, kamar itu seperti kamar biasa pada umumnya. Namun ternyata di dalam kamar itu tidak hanya berisi sebuah bedcover saja, melainkan juga beberapa sofa, kamar mandi, sebuah televisi yang ketebalannya sekitar 152 inci, dan juga sebuah jendela yang dilengkapi kaca besar yang mungkin ketika gordennya dibuka akan menampilkan siluet cahaya langit yang menembus langsung ke cakrawala.
''Kalian mau apa?''
Tanya Clara ketika melihat dua pelayan itu hendak membuka pakaian yang ia kenakan.
''Tuan Erlan memerintahkan kami untuk membersihkan diri Nona, sekaligus mempercantik Nona.''
Clara melongo.
Bisa-bisanya laki-laki itu menyuruh pelayan untuk memandikannya. Apa jangan-jangan selama ini ia juga dimandikan oleh para pelayan ini?
'Ah, itu bukan urusanku.'
''Tidak perlu, aku bisa sendiri.''
Clara melangkahkan kakinya untuk segera masuk ke dalam kamar mandi. Lalu memposisikan badannya ke dalam bathup yang berisi air hangat bercampur dengan busa lembut. Gadis itu terlihat memanjakan dirinya sendiri dengan sentuhan lembut busa-busa itu.
Selepas mandi, Clara segera mengenakan gaun merah dengan detail gold mewah. Meskipun gaun itu tidak menerawang, namun cukup sukses memperlihatkan lekuk tubuh Clara.
''Kau begitu cantik, Nona.''
''Terimakasih. Siapa nama kamu?''
Jawab Clara sembari melempar senyum manis.
''Viola, Nona.''
Jawabnya sambil menunduk.
''Nama yang indah. Bolehkah aku bertanya?''
Viola mengangguk pelan mengiyakan.
''Sebenarnya aku akan dibawa ke mana?''
Perasaan curiga mulai menyelimuti hatinya. Dengan gaun mewah serta dandanan di wajahnya, tidak mungkin ia hanya disuruh berdiam diri di tempat itu.
''Keluarga besar Tuan Erlan sudah menunggu di ruang keluarga, Nona.''
Jawab Viola dengan lembut.
''A-apa? Keluarga besar kau bilang?''
Tidak!
Kali ini Clara justru semakin merasa curiga. Jika hanya bertemu dengan keluarga besar, kenapa gaun yang ia kenakan begitu sensual? Apa memang ini adalah cara berpakaian mereka sehari-harinya? Jika tidak, Erlan pasti sudah merencanakan sesuatu setelah acara ini.