Erlan mengungging sudut bibir, lalu menimpakan tangan kirinya ke atas telapak tangan Clara. Mengerahkan semua otot, mencengkeram erat tangan seseorang yang saat ini berada dalam kekuasaannya.
Dalam hitungan detik telapak tangannya berhasil mengambil alih pergerakan tangan Clara. Ia sedang berusaha memberi pelajaran gadis di sampingnya.
Clara tidak mungkin bisa mengalahkan permainan laki-laki itu. Bagaimana pun juga, Erlan lebih handal dalam menjalankan perannya.
Dalam pengaruh cengkeraman tangan Erlan yang tidak ketara, Clara merintih dalam batin. Seketika senyum manis di bibir, berubah menjadi eratan menahan sakit. Tidak disangka, laki-laki di sampingnya ini sungguh kuat dan terlihat begitu menyeramkan. Tidak tahu lagi apakah dia masih memiliki hati, yang jelas hatinya mungkin sudah tidak berfungsi lagi.
Keadaan menjadi hening. Tanpa suara dan hanya berpacu kepada dua insan yang terlihat begitu romantis dengan kedua pasang tangan yang saling menggenggam satu sama lain.
''Kapan kalian menikah?'' tanya Carlis memperlihatkan rasa tidak sabarnya untuk menikahkan putranya dengan Clara.
Carlis sungguh tidak sabar melihat gadis itu menderita.
Untuk beberapa detik, Ira berhenti mengunyah makanan yang sudah berada di dasar mulut. Lalu mengarahkan bola mata ke arah Clara dan Erlan. Tentu ia juga tidak sabar melihat respon mereka berdua.
''Besok Mom.''
Jawab Erlan seraya melepas tangannya, lalu menuangkan air putih ke dalam gelas. Air putih itu perlahan masuk membasahi kerongkongannya, cukup membuat napas menjadi beraturan.
''Hah, besok? Lalu ibuku, bagaimana?''
''Keberatan?'' tanya Erlan sambil menyorot mata tajam.
Clara terdiam lalu menunduk.
Wanita itu cukup sadar di mana posisinya sekarang. Pernikahan yang akan terjadi besok, bukanlah sebuah ikatan yang istimewa bagi calon suaminya. Salah besar jika Clara mempunyai pikiran bahwa laki-laki itu akan mendengar semua perkataannya.
Pernikahan sakral itu hanya menjadi hitam di atas putih bagi laki-laki itu.
Tidak ingin terlihat gugup, atau mempermalukan dirinya sendiri karena Erlan tidak memberi ruang untuk berbicara, Clara berusaha mengaburkan keadaan dengan mengalihkan pandangan pada steak daging di atas piringnya. Mengambil pisau dan garpu, lalu perlahan memotong kecil bagian demi bagian, kemudian memasukkan ke dalam mulut.
Meskipun ia tidak pernah memakan steak daging sebelumnya, ia seringkali melihat orang lain memakan makanan itu. Apalagi makan makanan menggunakan garpu dan pisau akan terasa sulit jika tidak terbiasa. Namun Clara berhasil melakukannya dengan sangat baik.
'Kenapa begitu lezat!'
Gumam Clara dalam hati.
Dirinya tidak pernah berpikir bahwa rasa steak daging sapi itu benar-benar lezat. Campuran bumbu meresap sempurna ke dalam jaringan daging, dicocol dengan saus barbeque asam segar, serta taburan daun oregano membuat cita rasa steak semakin gurih.
Potongan demi potongan berhasil dilahap dengan sempurna. Meskipun ini pertama kalinya ia memakan makanan itu, tentu Clara masih begitu sopan dalam membuka mulutnya.
Di lain sisi, Ira memperhatikan Clara dengan saksama. Selama ini ia begitu jelih dalam menilai kepribadian orang lain, meski baru pertama kalinya mereka bertemu.
Sepasang mata meneduhkan, bibir tipis bergerak beraturan, sama sekali tidak menunjukkan Clara sebagai gadis panggilan seperti istri Erlan sebelumnya.
Sejenak wanita paruh baya itu menarik segala penilaian negatif kepada gadis itu. Gadis di hadapannya ini benar-benar seperti seorang manusia yang polos, bahkan kedua sudut bibirnya tidak menggambarkan seorang pendusta.
Ira masih tidak percaya dengan hasil kesimpulannya, perkara gadis seperti apa seseorang di hadapannya masih menjadi topik utama yang harus ia pecahkan.
Selama ini Erlan tidak cukup baik mengenali seseorang, ia sangat tahu keponakannya itu sering salah menilai orang lain. Namun kali ini gadis yang ia bawa sungguh berbeda.
Sebelumnya dirinya memperkenalkan mantan istrinya dengan sangat baik. Memperlakukannya bak seorang ratu dari kayangan, apa pun yang wanita itu inginkan, dirinya pasti segera menurut.
Namun sekarang ia justru seolah ingin membuat Clara terdiam bisu. Siluet matanya mengukir kebencian. Sebuah genggam tangan begitu erat yang dipertontonkan di hadapan bibinya, sungguh sama sekali tidak bernilai cinta.
Kejanggalan di hati Ira semakin menjadi ketika Erlan menatap calon istrinya dengan sangat murka. Tidak ada tatapan hangat di dalamnya, jangankan cinta, ketulusan pun tidak ada. Hal itu tentu membuat teka-teki tersendiri dalam benaknya.
Alasan mengapa keponakannya itu mau menikah dengan seorang gadis yang tidak ia cintai, dia akan tetap mencari kebenarannya.
''Di tahun sebelumnya kau terlihat begitu mencintai Merita, istrimu. Bahkan saat pertama kali ia di bawa kemari, kau mencium keningnya berulang kali. Hanya untuk membuktikan pada keluargamu bahwa dia adalah gadis yang memang sangat kau cintai. Sekarang, kenapa kau tidak memperlakukan hal yang sama terhadap gadis ini?''
Tanya Ira dengan wajah menantang. Kali ini ia ingin membuktikan sendiri keraguan hatinya.
Pemilik bola mata biru meliriknya dengan tegas, dalam sekejap lirikan itu berubah ke arah Clara. Sial! Benar-benar suatu kesialan baginya jika harus mempraktikkan hal itu kepada gadis di sampingnya. Ciuman hanya untuk dua orang yang saling mencintai, tidak berlaku bagi salah seorang yang begitu membenci.
Pemikiran konyol!
''Sudahlah Kak, jangan memojokkan mereka berdua. Erlan tentu masih sangat malu untuk melakukan hal itu. Lebih baik sekarang, kakak cepat habiskan makanannya sebelum terlanjur dingin,'' tutur Carlis memecah ketegangan.
Carlis tahu betul putranya tidak akan sudi melakukan itu. Ia juga mengerti bahwa sampai saat ini Merita masih menjadi satu-satunya wanita yang ia cintai. Meskipun ia sendiri menuntut Erlan untuk segera mempunyai keturunan dari Clara, tidak tahu bagaimana putranya akan mewujudkannya.
Ira menyatukan kedua alis, mengangkat sudut mulutnya. Wanita paruh baya itu semakin merasa janggal dengan perkataan sang adik. Carlis terlihat menutupi suatu hal tentang putranya, sebagai seorang ibu seharusnya ia ingin tahu apakah putranya benar-benar mencintai wanita yang akan dinikahinya, atau tidak.
''Tidakkah kamu terlihat menyembunyikan—''
''Lihatlah kemari, Bi.''
Erlan memotong pembicaraan bibinya. Berdebat dengan wanita itu sama saja mengundang masalah dengannya. Bahkan untuk hal sepele, ia masih menginginkan pembuktian.
Laki-laki itu segera menatap wajah Clara dengan senyum palsunya. Melesatkan bibir dengan kecepatan tinggi ke ke dahi Clara. Untuk sejenak ia bisa mencium aroma wangi essential oil kesukaannya melalui rongga-rongga hidung. Tidak tahu kenapa selera mereka berdua tergolong sama dalam memilih wewangian.
Seluruh badan Clara mengerjap kaku. Masih berusaha mengambil napas di antara himpitan rahang Erlan. Seketika rona pipinya berubah menjadi merah muda.
Hanya berselang tiga detik, laki-laki itu melepas kecupannya yang berhasil membentuk stempel di kulit dahi Clara.
"Kalian begitu serasi," puji Carlis terdengar ironis.
Ini hanya episode awal, setelah Clara resmi menjadi menantunya, Carlis akan lebih leluasa memainkan sandiwaranya. Tidak tahu sampai kapan ia harus mengenakan topeng demi menutupi perasaan bencinya kepada wanita itu.