Chereads / Terbelenggu Dendam Duda Kaya Raya / Chapter 4 - Bab 4 Sebuah Dendam

Chapter 4 - Bab 4 Sebuah Dendam

Nyonya Carlis Wesly tampak memejamkan kedua bola matanya, lalu meraba segelas air minum yang tengah berada di atas meja. Membuka mulut, lalu meneguk dengan perlahan. Bagian punggung sampai dengan leher, sedang tersandarkan pada sandaran springbed yang memiliki beberapa helai renda. Sembari salah satu jempolnya tidak berhenti memijat halus kedua pelipisnya. 

Serejang ingatan mengenai keadaan Wesly junior melintas jelas di pikirannya saat ini. Dimana ada banyak selang menemani tubuh mungil yang usianya belum genap enam tahun. Tangisan dan ketakutan terucap samar di bibir mungilnya, namun terdengar sangat memilukan. Ia pikir, kematian pasti akan lebih membuatnya bahagia, daripada harus menunggu kesadaran yang ntah masih ada kehidupan untuknya atau tidak. 

Kemudian ia kembali membayangkan wajah jelas seorang wanita yang begitu dekat dengan keluarganya, detik-detik kematian merenggut paksa nyawanya dengan balutan cair merah segar, dengan posisi kedua tangan yang sedang merangkul erat Wesly Junior. 

Tidak! Sampai kapan pun dua hal itu akan menjadi ingatan keruh yang akan selalu terbenam di hatinya. 

Bagaimana bisa Carly bisa melupakan kejadian yang begitu memilukan di masa lalu, meskipun kejadian itu sudah lewat 4 tahun yang lalu, namun efeknya masih membekas sampai sekarang. Jika tidak karena laki-laki tua itu, ia pasti bisa merasakan hidup bahagia. 

Carlis menarik lembut sudut bibirnya, menfokuskan pikiran pada setiap tarikan nafas. Kedua matanya berkedip sangat cepat, lagi-lagi dirinya harus menahan air mata yang sudah membendung di bagian pelupuk mata. Sekuat apa ia berusaha, tetap saja, bendungan itu tiba-tiba menetes pelan  tanpa bisa dikendalikan. 

''Apa kau sedang menangis, Mom?'' 

Erlan tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Dengan sangat perlahan, ia menyeret kedua kakinya untuk mendekat.

''Aku sudah terbiasa dengan hal ini.''

Jawab Carlis dengan cepat. Tentu ia berusaha menyembunyikan kesedihannya itu. 

''Jangan khawatir, Mom. Sebentar lagi keturunan Subrata akan merasakan penderitaan yang sama.''

Erlan berusaha menenangkan mommy-nya, lalu memijat lembut pergelangan kaki yang berselonjor di hadapannya. 

''Penderitaan yang sama? Tidak, bahkan kamu harus membuatnya jauh lebih menderita!'' 

''Kapan kau akan menikahinya?''

Tanya Carlis sembari menutup bola matanya pelan. Matanya ini, terasa begitu sembab dan perih karena sudah semalaman ia larut dalam kesedihan. Selalu saja seperti ini. 

''Setelah ibunya sembuh, Mom. Jika perlu, aku akan menjemputnya dengan paksa.''

Jawab Erlan mantab. 

''Kau harus ingat baik-baik, jangan beri ia cinta sedikit pun walau sebiji jagung! Buatlah dia benar-benar tidak bisa merasakan segarnya udara luar.'' 

Carlis menaikkan ujung alisnya, membuka kelopak mata, lalu memberi tatapan tajam kepada anak semata wayangnya. 

''Aku sudah paham mom, bahkan ia akan lupa bagaimana caranya tersenyum.''

Senyum sengit tergaris di bibir Erlan. Sebentar lagi ia akan berhasil mencapai tujuannya. 

''Dan jangan lupakan satu hal, kamu harus bisa mempunyai keturunan darinya.''

''Tapi mom, saya tidak ingin mempunyai keturunan dari darah seorang pembunuh. Lagi pula saya yakin Wesly Junior pasti segera sadar.''

Erlan menyipitkan kedua matanya, lalu kelopak mata mereka berdua saling bertemu. 

''Tidak Erlaan. Selama 5 tahun ia bertarung dengan nyawanya sendiri. Ntah kenapa firasatku mengatakan kalau kita harus membiarkannya pergi dengan tenang. Pikirkan baik-baik saran dari mommy.''

Erlan diam sejenak, namun jari-jarinya terus memijat kaki mommy-nya. 

Erlan menyadari bahwa mommy-nya mungkin selalu merasa kesepian. Di hari tuanya ini, seharusnya ia bisa menghabiskan sisa waktunya untuk bermain dengan cucunya. Dipanggil eyang oleh seorang anak kecil bertubuh mungil, pasti akan membuat hari-harinya terasa sangat menyenangkan. Seharunya memang sudah begitu, namun sayangnya hal itu hanya berlangsung sementara.

''Yes, Mom! Tapi Erlan yakin junior akan segera sadar.'' 

Seketika air mata wanita itu tumpah. Setiap kali mengingat, atau mendengar tentang cucunya, timbul perasaan sakit yang amat mendalam dalam hatinya. 

Erlan meraih wajah wanita paruh baya itu, menghapus lembut air bening yang mengalir  secara perlahan. 

''Mereka tidak hanya membuat junior tergantung nyawanya, namun juga telah merenggut nyawa seorang wanita yang sangat aku cintai. Memisahkan istri dengan suaminya, serta memisahkan ibu dari anaknya. Keluarga sialan itu pasti akan membayar semua air mata yang telah ditumpahkan dengan sengaja!''

Erlan mengeratkan rahangnya, wajah tegasnya dipenuhi dengan amarah yang kian memuncak. Tidak bisa dipungkiri, dirinya juga sedang menutup rapat rasa sedihnya agar Carlis tidak melihatnya. Kali  ini ia tidak akan bermain-main, sudah cukup lama ia membuat umpan agar ikan kecilnya bisa segera masuk ke dalam jaring perangkap yang di dalamnya sudah bisa dipastikan ada banyak derita.

Kemudian Erlan memeluk mommy-nya dengan sangat erat. Wajah Carlis yang saat ini tenggelam di dalam dekapan putranya, terasa menjadi obat penawar rasa sepinya untuk sementara waktu. 

''Semua akan berjalan dengan sesuai rencana, Mom. Percayalah!'' 

Erlan semakin mengeratkan pelukannya. 

Carlis berdehem. Diikuti dengan tangan kanannya yang membelai halus kepala Erlan.

''Satu hal yang perlu kamu ingat, meskipun kamu ingin membuat hidup gadis itu menderita, jangan sampai kau menggunakan tanganmu untuk melukainya.'' 

Carlis meregangkan badannya, kemudian melepas pelukan anaknnya dengan perlahan. Menatap tajam  iris mata biru, dengan posisi kedua tangan yang masih berada di atas bahu Erlan. 

Mendengar ucapan mommy-nya, Erlan segera mengangguk. 

Sepintas ia mengingat semasa kecilnya yang mana Carlis selalu mengajarkan bersikap lembut kepada perempuan. Menyakiti seorang wanita, sama saja menyakiti perasaan mommy-nya. Namun hal itu berubah setelah dendam dan amarah menguasai jiwa mereka. 

Satu hal yang tidak pernah berubah sampai sekarang, Carlis selalu melarang anaknya melakukan kekerasan fisik. Apa pun alasannya, tangan seorang laki-laki sangat haram melukai wanitanya. Itulah yang selalu Carlis ucapkan kepadanya. 

Sewaktu suaminya masih hidup, ia seringkali mendapat perlakuan buruk. Ditendang, ditampar, bahkan disiksa fisiknya dengan berbagai gaya. Erlan yang saat itu masih berusia belasan tahun, seringkali menjadi korban amukan daddy-nya karena selalu melindungi Carlis.

Ah, tentu ingatan itu masih melekat jelas di pikirannya. 

Lagipula menyiksa batin, dan merusak mental wanita akan jauh lebih menyenangkan dari pada sekedar melukainya fisiknya, bukan? Itulah yang akan ia lakukan kepada Clara.

Seketika senyum sengit tergurat jelas menghiasi bibir tipisnya. 

''Bagaimana dengan wajah gadis itu?'' 

Tanya Carlis, ia hanya ingin memastikan wanita yang akan dinikahi putranya tidak terlalu buruk untuk diakui sebagai Nyonya Wesly yang baru. 

''Dia cukup cantik, Mom!'' 

Jawab Erlan. Bahkan sebenarnya Clara jauh lebih cantik dari mantan istrinya itu. Hanya saja, ia tidak ingin memuji gadis itu di hadapan mommy-nya sendiri. 

''Good boy! Setidaknya kondisi wajahnya tidak akan membuatmu malu di keadaan yang akan datang.'' 

Carlis menghela nafas panjang. Ia merasa lebih lega setelah berbincang dengan putranya. Erlan adalah satu-satunya orang yang ia punya saat ini. Dibandingkan nyawanya, Erlan jelas lebih berharga.