Seperti apa yang dikatakan Peter tadi bahwa Metha harus bertanggung jawab atas mobilnya yang lecet karena ulah sepatu rongsokan tak berguna itu.
Dan kini, Peter serta Metha sedang ada di tempat modifikasi mobil berikut Philip yang baru saja tiba akibat ditelepon oleh sang tuan untuk datang ke sana juga.
Metha melamun seraya bertopang dagu, juga sebelah tangannya terulur untuk memeluk jok sepeda kesayangannya agar dia tidak kabur dari dirinya.
Sudah sepuluh menit terlewati namun mobil Peter sama sekali belum terlihat adanya tanda-tanda selesai. Ia menghela napas panjang lelah, mungkin Metha akan memakai uang hasil dagangannya saja untuk bahan tanggungjawab dirinya kepada Peter hanya karena kap mobilnya yang lecet.
Padahal lecetnya tidak besar atau memanjang, cuma secuil saja. Ahk, memang pada dasarnya Peter selalu beranggapan pada sesuatu dengan berlebihan, maki Metha dalam hati.
"Permisi, Nona Metha!"
Metha membuyarkan lamunannya, ia mendongak mendapati Philip yang tengah menatap dirinya. "Apa?" tanyanya penasaran.
Tampaknya Philip tersenyum tipis. "Modifikasi mobilnya sudah beres, Nona," ujarnya memberitahu tahu.
Metha membulatkan mulutnya. "Oh ya? Baiklah, akan aku bayar sekarang." Ia merogoh koceknya dan mengeluarkan semua uang yang berada di sana. Ia pikir biaya apa pun yang bersangkutan dengan mobil pasti akan mahal. Untuk itu Metha agak sedikit takut jikalau uangnya akan kurang.
Metha beranjak dan hendak akan melangkah pergi meninggalkan Philip, namun sebuah suara menghentikannya.
"Mau ke mana kau?" tanya Peter terkesan sarkas.
Metha menoleh ke arah Peter dan Philip berada. "Bukannya mobilmu sudah beres diperbaiki? Maka, aku akan membayarnya," jelasnya berusaha sabar dan bersikap sesantiy mungkin.
"Siapa yang menyuruhmu untuk bayar?" tanya Peter lagi. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Metha mengernyit heran. "Bukankah kau menyuruhku untuk bertanggungjawab?" Bukannya menjawab justru ia malah balik tanya dan mengkoar kembali apa yang diperintahkan Peter tadi saat di pinggir jalan.
"Ya, tapi aku tidak menyuruhmu untuk membayar itu. Aku tidak sudi jika mobil mahalku harus dibayar oleh uang recehanmu itu," jelas sekaligus hina Peter tanpa perasaan.
Kedua bibir Metha terkatup rapat ketika dirinya mendapatkan sebuah hinaan lagi. Hanya beberapa detik saja, pada detik selanjutnya ia mendesis kecil. "Terus saja menghinaku," gumamnya kasar.
Metha mendelik sinis. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya terdengar sarkas. Kini sudah tidak ada lagi rasa ketakutan yang mendera Metha seperti tadi, yang ada sekarang dirinya justru dibuat kesal oleh tingkah Peter yang begitu memusingkan.
Andaikan jika diperbolehkan mungkin Metha sudah meleparkan Peter ke tengah-tengah laut dan menjadikan dia sebagai santapan ikan paus.
Namun, sayang seribu sayang. Metha harus mengubur sedalam-dalamnya, karena itu hanyalah sebuah keinginan. Apalagi ini terdengar begitu mustahil untuk Metha lakukan.
Peter menarik sebelah sudut bibirnya. Lalu, ia melangkah mendekati Metha dan mengikis jarak di antara keduanya.
Metha gelagapan. "Apa yang akan kau lakukan?" tanyanya menyentak. Ia melangkah mundur.
"Aku tidak akan melakukan apa pun, aku hanya ingin berbicara terhadapmu," jawab Peter dengan raut wajah santainya.
Metha berhenti melangkah. Ia menelisik wajah Peter. "Tidak ada yang mencurigakan," gumamnya. "Apa yang ingin kau katakan?" tanyanya lagi masih saja dengan nada menyentak.
Peter maju satu langkah dengan lebar, hingga kini jarak antara dirinya dan Metha hanya setengah meter saja. Tanpa menunggu waktu lama lagi, ia mencondongkan wajahnya ke wajah Metha.
Metha dibuat tegang, ia menahan napasnya kuat-kuat. Memejamkan kedua matanya akibat tidak ingin melihat apa yang akan dilakukan Peter selanjutnya. Hingga ia dapat merasakan deru napas hangat menerpa pada pipi kanan dirinya. Ia kian menahan napas.
Menyadari Metha yang menutupi kedua matanya membuat Peter lagi-lagi menyunggingkan senyuman miring. "Aku ingin nanti malam kau ikut denganku, tidak ada pembantahan!" bisik Peter tepat di telinga Metha.
Kemudian, ia menarik kembali tubuhnya dan melangkah menjauhi Metha. Sebelum wanita itu sadar dari rasa ketegangannya. Peter dan Philip masuk ke dalam mobil, lalu meninggalkan pekarangan modifikasi khusus mobil itu.
Akibat sudah tidak tahan, seketika Metha membuang napasnya dan membuka kedua matanya. Ia menatap kepergian mobil sport mewah itu yang kian mengecil dalam pandangannya.
"Peter!"
****
"Harus berapa lama lagi saya menunggu!?" tanya Robert menatap Luxe nyalang. Dirinya sudah berada di sebuah ruangan seperti ruang tamu pada umumnya, namun bedanya ini berada di toko bunga.
Awal perjanjian Robert, Luxe, Metha serta yang lain berkumpul pada siang hari, yaitu tepat jam 12 siang.
Akan tetapi, sang tokoh utama sampai kini belum menunjukan batang hidungnya. Padahal jarum jam sudah hampir tertuju pada angka dua!
Dapat dihitung kan seberapa lamanya Robert menunggu?
Padahal kenyataannya Robert merupakan seorang pria yang sangat anti terhadap kata menunggu, karena baginya itu sangat melelahkan.
Namun, akibat ini bersangkutan dengan Metha alias calon istrinya maka ia dengan suka rela menduduki kata menunggu.
Akan tetapi, jikalau sudah dua jam seperti ini rasa suka rela menunggu berubah menjadi rasa kekesalan yang menggebu.
Luxe gelagapan, dirinya juga ikut kesal pada anak buahnya itu, ke mana dia pergi? "Eum, Tuan Robert ... mungkin Metha sedang ada di dalam perjalanan pulang," tuturnya.
"Sedari tadi kau terus berkata seperti, apakah perjalan pulangnya menyeberangi lautan?" tanyanya mendelik sinis. Ia menaikan satu kakinya hingga bertumpu pada kaki lain. Menyilangkan kedua tangannya di depan dada, kedua tatapan tajamnya tertuju ke arah depan. Menahan gejolak emosi yang siap untuk ditumpahkan sekarang juga.
Namun, beruntungnya Luxe. Sekarang Robert tidak ingin membuat keributan, andaikan saja jika Robert tak bisa menahan emosinya mungkin ruangan ini sudah menjadi kapal pecah saat itu juga.
Luxe bangkit dari duduknya, ia berjalan mondar mandir, melirik-lirik ke arah luar, berharap Metha segera hadir di sana. Dirinya pun sudah bosan menunggu.
Sementara yang lain, mereka hanya sibuk dengan gadgetnya. Pun tidak peduli sampai kapan mereka harus menunggu, karena bagaimanapun juga mereka telah dibayar Robert dengan harga yang bisa dibilang cukup fantastis.
Luxe mendesis kecil. "Ke mana anak itu pergi?" tanyanya pada angin.
Ia mulai menggertakan giginya kesal. Terus saja berjalan mondar-mandir dengan perasaan yang tak tertentu.
Antara kesal dan cemas!
Sudah tentu Luxe kesal pada Metha, sementara di satu sisi lain lagi ia merasa cemas dengan ancaman yang diberikan Robert jikalau Metha memang benar-benar tidak akan datang.
"Kurang ajar!" makinya akibat terlampau kesal.
Luxe mengambil ponsel yang berada di saku celananya. Kemudian, ia menyalakan layarnya. Menekan sebuah nama yang tertera di sana, siapa lagi kalau bukan Metha.
Tak ingin menunggu waktu lama lagi, ia langsung menghubunginya.
Tut Tut Tut
Alih-alih diterima, justru operator mengatakan bahwa nomer ponsel milik Metha sudah tidak aktif. Lagi-lagi mendesis.
"Sudah, aku tidak tahan jika harus menunggu lagi," sahut Robert memecahkan kekesalan Luxe.
Luxe langsung membalikan badannya menatap menatap Robert dengan kedua mata yang terkejut.
"Tuan, sebentar lagi saja," tawar Luxe dengan perasaan cemasnya.
"Tidak, untuk sesuatu yang aku janjikan maka aku batalkan!"
Deg!