"Ibu ...!"
"Ibu ...!"
Metha mengernyit heran. Ia berjalan cepat ke luar kamar, menuruni anak tangga satu persatu hingga dirinya sampai di dapur. Ia semakin mengerutkan keningnya heran kala kedua matanya sama sekali tidak dapat menemukan keberadaan sang ibu. Ke mana wanita paruh baya itu pergi? Padahal ... waktu masih menunjukan pukul setengah lima pagi.
Metha celingukan. Sepertinya ia masih belum menyerah untuk mencari keberadaan ibunya yang sama sekali tidak menunjukan batang hidungnya itu.
"Ibu ke mana?" tanya Metha menggunakan nada suara yang cukup keras, berharap sang ibu mendengar dan tiba-tiba datang menghampiri dirinya.
Namun, hasilnya masih tetap sama yaitu nihil!
Metha menurunkan kedua bahunya pertanda ia berpasrah. Mungkin, ibunya sudah berangkat kerja. Tetapi ... kenapa harus sepagi ini? Biasanya juga ibu selalu berangkat jam enam atau jam setengah enam.
Metha melangkah dengan lesu mendekati galon, mengambil gelas kosong yang kemudian diisi oleh air setengahnya. Metha meneguknya secara kasar sampai tandas.
"Huffft ...." Metha membuang napas beratnya. "Baiklah, nanti malam saja aku tanyakan kepada ibu. Sekarang ... aku harus kerja! Kerja! Dan kerja!" monolognya menyemangati diri sendiri.
Dengan sedikit terpaksa Metha menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman manis.
Sebelum berangkat kerja, Metha akan pergi ke toko bunga terlebih dahulu guna mengambil bahan dagangannya yang belum sempat ia ambil semalam.
Masih ada waktu dua puluh menit lagi untuk masuk ke dalam jam kerja. Akan tetapi, Metha sudah siap dengan semuanya termasuk sarapan. Ya, meski hanya memakan dua sendok nasi goreng saja. Entahlah ... kalau tidak ada ibu dirinya jadi malas untuk makan, padahal itu merupakan sebuah kebutuhan.
Metha mengayuh sepeda bututnya dengan perasaan girang. Berusaha menghilangkan rasa gundah akibat keberadaan ibunya yang tidak ada di rumah. Seperti biasa, sepanjang jalanan ia tersenyum lebar dan menyapa orang-orang yang menatap dirinya.
Padahal, orang-orang tengah berpikiran jika Metha merupakan orang gila. Karena bagaimanapun juga, penampilannya begitu kuno nan lusuh membuat mereka berpikiran buruk perihal Metha. Apalagi, Metha yang senyum-senyum sendiri menciptakan orang-orang di sekitarnya menatap dia aneh nan jijik.
Namun, Metha sama sekali tidak peduli dengan itu. Karena, ini sudah menjadi kebiasaannya dan mungkin menjadi santapan dirinya di kala pagi.
Masih dengan senyuman yang melekat di wajah manisnya. Metha berhenti mengayuh tepat di depan toko bunga yang terlihat masih sepi, namun ada beberapa para pekerja yang terlihat mondar-mandir di dalam sana. Ia memparkirkan sepeda kesayangannya di samping motor milik Sagara.
Kedua kaki jenjangnya berpijak pada aspal dan tangan kanannya terulur guna mengambil keranjang bunga yang selalu ia bawa ke mana pun ia beradagang.
"Selamat pagi, Tuan Luxe," sapa Metha ramah setelah dirinya masuk ke dalam toko dan berhadapan dengan sang atasan. Ia menunduk kecil sebagai penghormatan.
"Wah, selamat pagi juga calon pacar."
Bukan! Bukan Luxe yang membalas sapaan Metha, melainkan Sagara yang tiba-tiba datang dengan membawa setangkai bunga mawar dan tidak tahu malunya dia memamerkan deretan giginya yang rapi, seakan apa yang baru saja ia kilah itu merupakan sebuah kebenaran ... bukan kesalahan.
Metha mengendurkan senyumannya kala melihat pria berkulit coklat itu. Ia menatapnya sekilas, tidak ada waktu jika ia harus meladeni Sagara yang selalu saja mengejar dirinya.
"Kau baru datang, Metha?" tanya Sagara lagi karena barusan ia sama sekali tidak mendapatkan balasan apa pun dari wanita yang ia sukai ini.
"Ya, kamu juga dapat melihatnya," balas Metha sekenanya.
Sedangkan Luxe yang sedari tadi menyimak berdehem kecil. Ia menatap Sagara. "Kenapa kau ke sini? Sana, pergi bekerja lagi," titahnya.
Dari awal Luxe tidak akan pernah mengizinkan Sagara bersatu dengan Metha. Bukannya apa-apa ia seperti itu, hanya saja ia lebih suka Metha menerima tawaran dari Robert. Metha yang sederhana lebih pantas bersatu dengan pria yang royal. Dan mungkin, toko ini juga akan ke bantu laris manis oleh Robert.
Inilah yang Luxe harapkan sedari dulu.
Namun, Metha terus saja keras kepala, tidak ingin menerima Robert!
Sagara tertawa kecil kala mendapatkan perintah itu dari bosnya. Namun tak urung ia langsung patuh dan berkata, "Siap, Pak bos," ucapnya terkesan becanda.
Sagara hanya takut saja, jika dirinya tidak menurut maka pekerjaannya lah yang akan terkena imbasnya. Otomatis ia tidak akan lagi berdekatan dengan Metha. Ia tidak mau itu terjadi!
Akibat tidak ada pembalasan lagi terhadap ucapannya barusan. Sagara langsung saja berbalik setelah mengedipkan sebelah matanya ke arah Metha. Ia tersenyum lebar dan melangkah pergi dari hadapan dua orang berbeda jenis kelamin itu.
Metha mendelik kecil ketika mendapatkan kedipan mata itu, menurutnya itu sangat menggelikan. Dalam diam, Metha bergidik ngeri.
Luxe mengalihkan pandangannya dari Sagara kembali ke arah Metha. "Dan kamu, segeralah ambil bahan daganganmu," titahnya seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Siap, bos," balas Metha langsung dengan menganggukan kepalanya kecil dan kembali mengukir senyuman manisnya.
Hendak akan melangkah menuju rak bunga, namun suara bas yang berasal dari bosnya menghentikan pergerakan kakinya.
"Nanti siang akan ada tamu datang ke sini, jadi aku mengizinkan kau hanya bekerja setengah hari saja," jelas Luxe dengan raut wajah serius.
Metha mengerutkan keningnya heran. "Siapa?" tanyanya penasaran.
"Robert," jawab Luxe. Akibat tidak ingin mendengar protesan dari Metha, ia langsung melenggang pergi menuju ruangan pribadinya berada.
Hampir saja Metha tersedak oleh ludahnya sendiri. Ia menatap kepergian Luxe dengan kedua mata yang melebar tidak percaya. "Robert? Buat apa pria tua itu datang ke sini?" tanyanya pada diri sendiri.
Entah kenapa, perasaan tidak enak langsung hadir di dadanya. Setiap mendengar nama Robert, perasaan dirinya selalu saja seperti ini, yaitu tidak karuan.
Metha takut jika Robert akan melamar dirinya lagi seperti apa yang sering dia lakukan di tempat umum seperti ini dan di hadapan orang-orang yang haus akan kekayaan hingga membuat mereka selalu saja mengompori dirinya untuk menerima pria tua itu.
Beruntung, keselamatan masih berpihak pada Metha. Setiap ia akan berungkap pasti ada saja sebuah masalah yang membuat Robert langsung pergi dari hadapannya tanpa mempedulikan jawaban apa yang akan ia berikan. Namun, tak urung ... sampai sekarang Robert masih menuntut agar ia menerima lamaran itu.
Metha menggelengkan kepalanya kecil. Melupakan semua tentang Robert, buat apa juga ia memikirkan pria tua pemaksa itu?
Untuk nanti siang, jalani saja sebagaimana mestinya. Ia tidak boleh kaku, takut apalagi berpasrah. Ia harus bisa menentang dengan penuh keberanian agar Robert tidak mengejar dirinya lagi, termasuk mengancam orang-orang yang berada di dekat dirinya.
Memang, pria tua yang sangat licik!
Metha kembali melangkahkan kakinya yang sempat tertunda barusan, berjalan menuju rak bunga yang ia tuju.
Hendak akan mengambil setangkai bunga. Namun, lagi-lagi sebuah suara serak memenuhi telinga kanannya.
"Sayang!"
Deg!