Sedari tadi Metha tidak henti-hentinya mondar-mandir, kuku jari telunjuknya pun jadi korban akibat terus digigit oleh Metha.
Dirinya tengah cemas, memikirkan pekerjaan yang sudah ada di ujung tanduk. Dirinya tidak boleh bekerja selama satu Minggu! Bukankah itu sangat lama?
"Aarrgghh, lalu aku harus bekerja apa untuk seminggu ke depan?" erang sekaligus tanya Metha pada diri sendiri.
Ia berhenti tepat di samping kasurnya. Lalu, ia mendaratkan bokongnya di sana. Menatap ke depan dengan pandangan menerawang, dan ... pikirannya pun tengah melalangbuana pada pekerjaan.
"Masa aku hanya berdiam saja di rumah," tutur Metha lagi seolah menyangkal dengan pikirannya yang tertuju pada kasur, lebih tepatnya pekerjaan Metha untuk satu minggu ke depan adalah tidur.
Metha menggelengkan kepalanya kuat. "Tidak, tidak, tidak!" Lagi-lagi menolak pikirannya dengan kasar.
Metha menoleh ke arah jendela kamarnya. Waktu masih menunjukan sore hari. Namun, dirinya sudah berdiam di kamar tak tahu pekerjaan.
"Apa perlu aku cari kerja lagi? Tapi ini cuma satu minggu! Tapi ... aku juga tidak ingin membebani ibuku dengan cara berdiam saja di rumah," monolog Metha bergelut dengan pikirannya sendiri.
Sungguh, ini benar-benar sangat ruwet. Ingin rasanya Metha menjerit saja akibat tidak tahan dengan pikiran ini semua. Akan tetapi, di satu sisi juga ia sadar sangat percuma dirinya menjerit itu tidak akan sama sekali menyelesaikan masalah. Yang ada malah tambah parah.
Metha bangkit dari duduknya. Melangkah pelan menuju dapur berada. Ternyata, haus juga jika terus menerus berpikir.
Metha menatap ke sekelilingnya. Rumahnya tampak sepi, hanya ada dirinya seorang yang ada di sini. Ibu? Sudah tentu dia bekerja.
Bahkan, Metha pun sempat hina diri. Ibu dirinya yang sudah berusia tapi tetap gigih dalam bekerja, pun dirinya sama sekali belum pernah melihat sang ibu mengeluh.
"Huh ...." Lagi-lagi Metha menghembuskan napas beratnya.
Ia menuangkan air putih dingin dari teko ke dalam gelas kaca. Lalu, Metha meneguknya hingga tandas.
Bukannya langsung kembali masuk ke dalam kamar Metha justru melamun dengan tangan yang masih memegang gelas. Sepertinya kata malamun akan selalu melekat pada diri Metha di jam-jam kosong seperti ini.
Tiba-tiba saja sebuah ide muncul. Metha menyunggingkan senyuman lebarnya. "Ahk, lebih baik aku membuat kue kesukaan ibu saja. Pasti dia suka," tuturnya bergumam menyebutkan seulas ide yang baru saja hinggap di otaknya.
Metha menyimpan gelas tersebut ke atas meja. Lalu, ia melangkah menuju lemari pendingin yang ada di seberangnya.
Ia mendengus saat kedua netranya menatap isi lemari pendingin yang kosong, tidak ada satu pun bahan-bahan kue yang tersimpan di sana.
Tangan kanannya kembali bergerak guna menutup pintu lemari pendingin tersebut. "Berarti aku harus berbelanja terlebih dahulu," monolognya.
Tanpa berpikir banyak lagi Metha benar-benar memutuskan untuk pergi berbelanja saja, dari pada di rumah dirinya cuma bengong lebih baik membuat makanan yang membuat ibunya suka.
Metha tak perlu berdandan terlebih dahulu atau hanya berganti baju saja seperti orang-orang kala akan berangkat ke luar. Ia cukup memakai kaos kebesarannya serta celana training dan ... sendal jepitnya.
Begitu terlihat sangat sederhana tapi Metha sangat menyukainya. Kendatipun ia sama sekali tidak mempermasalahkan tentang pakaiannya, yang terpenting dirinya nyaman nan tertutup saja. Itu sudah lebih dari kata cukup.
Metha memegang handle pintu yang terbuat dari kayu juga. Lalu, ia membukanya masih dengan senyum tipis yang terlukis di wajah manisnya.
"Hallo, anak manis!"
Deg!
Tepat saat Metha membuka pintu dan tepat saat itu juga terpampang lah sosok pria tua yang selalu tidak ia suka tengah berdiri di depan dirinya dengan kedua tangan yang tersilang di depan dada serta kecamata hitam yang bertengger manis di atas kepalanya.
Sontak, tubuh Metha terdiam kaku bak patung. Kedua matanya membulat sempurna seakan ingin keluar dari tempatnya. Pun napasnya terasa tercekat.
"T-tuan Robert!?" panggilnya pelan masih dengan tatapan tak percayanya.
"Hai," balas Robert memanggil dirinya tersenyum bahagia tanpa sedikit pun mempedulikan ekspresi wanita yang ada di depannya ini.
Ahk, dirinya sudah biasa mendapatkan ekspresi seperti itu. Jadi, ia tidak lagi merasa heran.
Metha mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Menyadarkan dirinya dari rasa kaget barusan. Ia menelan ludahnya kasar.
Tanpa banyak berbicara ia melangkah mundur dan hendak akan kembali menutup pintu namun sebuah tangan kekar langsung menahan pergelangan tangannya.
"Lepaskan aku!" sargah Metha kasar.
"Hey, saya masih manusia tapi kenapa kau malah ketakutan seperti melihat hantu," tutur Robert benar-benar tidak terima jika Metha harus terus menjauhi dirinya.
Padahal, dirinya merupakan pria tampan, mapan dan perkasa. Lalu, apa yang harus ditakutkan?
Metha menurunkan kedua bahunya. Sebenarnya dirinya tidak takut pada si pria tua itu, hanya saja Metha tidak ingin berhadapan dengan dia, itu akan membuang-buang waktu dirinya saja!
"Lepaskan tangan aku terlebih dahulu," titah Metha terkesan sarkas namun malah dibalas oleh kekehan Robert.
"Jangan bilang saya bodoh, anak manis. Saya tahu kau merayuku untuk melepaskanmu agar kau dapat kabur dari hadapanku," jelas Robert menerka apa yang ia dapat dari perintah yang menurutnya cukup licik itu.
Metha dibuat tertohok. "Apa-apaan, aku sama sekali tidak ada berpikiran seperti itu," tungkasnya masih saja dengan kasar. "Lepaskan tanganku, aku ingin menutup pintu terlebih dahulu," lanjutnya berkata.
Robert terdiam sejenak. "Apakah itu benar?" tanyanya tidak percaya bahwa Metha hanya akan menutup pintu saja tanpa ada niat untuk melangkah kabur.
Metha merotasikan kedua bola matanya. Cukup jengah berbicara dengan pria tua itu. "Ya," jawabnya singkat.
Robert menelisik wajah Metha. Lalu, ia melepaskan cekalannya dengan perlahan kemudian ia menyiapkan aba-aba jika Metha membohongi dirinya.
Metha langsung menutup pintu kala tangannya sudah dilepaskan, lalu ia kembali menghadap Robert. "Lihat, aku tidak kabur, kan?" tanyanya sinis.
Melihat itu Robert kembaki menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dirinya tersenyum sangat lebar seperti joker.
"Bagus-bagus, calon istriku yang baik," sahutnya gembira seraya tangannya terangkat berniat untuk mengusap puncak kepala Metah namun belum juga belum tangannya langsung ditepis begitu saja.
"Jangan sentuh aku!" ujar Metha dengan raut wajah galak, tetapi itu semua tidak membuat Robert takut. Justru dia kian mempertahankan senyumannya.
Dalam pandangan Robert, Metha yang menunjukan ekspresi galaknya itu malah terlihat lebih lucu hingga berkali-kali lipat.
Sangat berlebihan memang, akan tetapi itu lah kenyataannya.
"Cepat katakan, ada apa tuan datang ke sini?" tanya Metha memulai topik pembicaraan dengan serius.
Robert menyimpan jari telunjuknya di dagu. "Eum apa ya?" ucapnya seolah berpikir.
Metha mendelik. "Cepat katakan, aku sibuk."
"Mungkin, saya datang ke sini untuk mengajakmu ke KUA."
"Apa?"