Chereads / FLORIST'S DAUGHTER / Chapter 16 - MAKAN BERSAMA

Chapter 16 - MAKAN BERSAMA

Metha mendengus sebal, ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan berjalan pelan di belakang si pria tua menjengkelkan, siapa lagi kalau bukan Robert.

Dia membawa dirinya ke sebuah lestoran yang cukup tekenal di kota Jakarta, kini ia dan Robert berada di ruangan paling atas ... lebih tepatnya sebuah rooftop.

Tidak ada satu pun orang yang berada di wilayah ini. Kecuali dirinya dan Robert seorang, Metha juga tidak tahu apa alasan Robert yang membawa dirinya jauh dari kerumunan.aaxc

Melihat Metha yang merajuk sontak saja Robert tertawa kecil. Ia menghentikan langkahnya serta membalikan badannya.

Otomatis Metha ikut berhenti melangkah, sangat beruntung dirinya tidak menabrak punggung lebar nan tegap milik Robert.

"Kenapa?" tanya Metha mendelik sinis. Pun suaranya terdengar begitu sarkas.

"Hahaha, apakah kau merajuk karena saya tidak jadi membawamu ke hotel?"

Mendengar itu seketika kedua mata Metha melotot lebar, ia menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. "Tidak, enak saja," kilahnya lebih sarkas dibanding yang tadi.

"Lalu, kenapa kau malah merajuk?" tanya Robert heran.

Seharusnya Metha bersyukur karena dirinya sudah berubah pikiran dan tidak membawa Metha ke hotel seperti apa yang ia katakan tadi dalam mobil.

Dan, seharusnya Metha tersenyum semangat karena dirinya masih bisa menahan hasrat untuk tidak menyeret Metha ke atas ranjang lalu menerkamnya dengan buas.

Akan tetapi, ini malah sebaliknya! Metha tampak begitu marah dan terlihat seakan tidak rela.

"Karena tuan membawaku ke sini. Seharusnya kita berangkat ke pasar atau supermarket terdekat untuk membeli bahan-bahan kue yang akan aku buat," tutur Metha menjelaskan.

Ya, hal itu lah yang dirinya kesalkan sekarang.

"Oohh ...." Robert malah ber-oh ria, dan itu membuat rasa kesal Metha kian bertambah.

"Kue apa? Buat siapa? Buat ibumu? Lebih baik kita beli saja di sini," ucap Robert membalas perkataan Metha dengan nada santainya. Ia memasukan kedua tangan ke dalam saku celana bahannya.

"Tapi aku tidak punya uang sebanyak itu, lebih baik buat sendiri biayanya pun tidak akan terlalu mahal dan mestinya dapat banyak," tungkas Metha.

"Apakah kau melupakanku?" tanya Robert masih saja dengan raut wajah santainya. Ia menaikan sebelah sudut alisnya.

Bukannya langsung menjawab, justru Metha mengerutkan keningnya heran pertanda dirinya tidak paham dengan apa yang dikatakan Robert barusan.

"Kau bisa berbelanja sepuas mungkin bahkan kue satu truk pun akan saya bayar hanya untukmu," ungkap Robert menjelaskan sebuah maksud yang tidak dimengerti oleh Metha.

Metha terdiam, pada detik berikutnya ia mendecak kesal. "Dasar sombong," gumamnya namun masih dapat didengar jelas oleh Robert.

Robert kembali tertawa garing. "Hahaha, saya mengatakan yang sebenarnya. Nanti setelah makan silakan kau pilih kue kesukaan ibumu sebanyak mungkin." Setelah mengatakan itu ia berbalik dan kembali melangkah mendahului Metha.

Metha menatap kepergian Robert dengan pandangan yang sulit diartikan. Namun, dengan segera ia menggelengkan kepalanya seolah menepis pikiran-pikiran aneh tentang Robert yang tiba-tiba hinggap di otaknya.

Metha ikut melangkahkan kaki jenjangnya menyusul Robert yang terlihat sudah duduk di sebuah kursi dengan meja bundar yang menjadi tumpuan kedua tangan pria tua tersebut.

Metha cukup tenang berada di bagian atas lestoran ini, karena tidak ada orang-orang yang menatap dirinya jijik seperti tadi saat di lobi.

"Apakah tuan sengaja memilih tempat ini?" tanya Metha sembari mendaratkan bokongnya ke atas kursi yang berada di seberang Robert.

Robert yang baru saja main ponsel langsung mendongak menatap kedua netra yang tampak begitu teduh.

"Ya," jawab Robert singkat. Ia mematikan ponselnya dan kembali dimasukan ke dalam saku jas bagian dalamnya.

"Kenapa?" tanya Metha lebih lanjut, sungguh dirinya penasaran dengan alasannya.

Robert terdiam sejenak. "Tidak kenapa-napa." Akhirnya ia menjawab seperti itu.

Lagi-lagi Metha mendengus sebal. Ternyata benar, orang yang menyebalkan akan terus menyebalkan.

Ia mengatupkan kedua bibirnya, tak ingin mengeluarkan suara lagi takut-takut Robert akan bersikap yang bisa saja membuat dirinya membanting meja saat itu juga.

Metha melemparkan pandangannya ke sembarang arah.

"Kau ingin pesan apa?" tanya Robert santai seakan tak menghiraukan kemarahan Metha.

"Terserah tuan saja," balas Metha tanpa menatap sang lawan bicara.

"Kau yakin?" tanya Robert lagi guna memastikan.

"Ya." Lagi-lagi Metha menjawabnya dengan singkat. Ahk, sudahlah ... dirinya tidak mempunyai gairah untuk berbicara.

Segera saja Robert menekan sebuah tombol yang ada di atas meja.

Tanpa menunggu lama datang seorang pria yang diketahui sebagai waiters.

Robert menyebutkan makanan serta minuman yang akan ia pesan. Oh ralat, ia menyebutkan makanan serta minuman yang akan ia beserta Metha pesan.

"Baik, Tuan. Tunggu beberapa menit," ucap seorang waiters tersebut yang kemudian berbalik dan melangkah menuju sebuah dapur yang tersedia di lestoran itu.

"Andai saja kau sudah menjadi istriku," celetuk Robert tiba-tiba.

Metha menatap Robert dengan kedua alis yang menyatu.

Robert tertawa melihat kebingungan Metha. "Jangan pura-pura tidak tahu, sedari dulu saya menginginkanmu untuk menjadi istriku. Kau tahu sendiri akan hal itu."

"Tapi aku tidak mau," tungkas Metha sarkas. Ia menegakkan badannya membalas tatapan pria tua itu dengan sedikit nyalang.

Pembahasan tentang ini lah yang membuat Metha tidak suka. Dalam hati, ia mengucapkan berbagai macam sumpah serapah yang ia berikan pada Robert!

"Saya tidak butuh jawabanmu mau atau tidak! Tapi saja hanya berbicara saja, dan ... percayalah suatu saat nanti, cepat atau lambat saya akan tetap menikahimu," jelas Robert santai namun nada suaranya terdengar tegas seakan tak ingin dibantah.

"Aku tidak mau, jangan paksa aku!" sahut Metha tak kalah tegas. Ia melemaskan bahunya, pun kedua tangannya bertumpu dibatas meja.

"Saya tidak akan memaksamu kalau kau menurut."

Metha tidak lagi berucap, hatinya sungguh tak karuan. Robert selalu saja berbicara seperti itu, seolah dirinya seorang anak yang lemah dan begitu mudah untuk diajak apa pun.

Robert tersenyum miring melihat wanita yang ada di hadapannya terduduk lemas, juga kedua matanya entah memandang ke arah mana. Terlihatnya tatapan itu menerawang kosong.

Robert sangat yakin, Metha tenah melamunkan tentang barusan yang dibicarakan.

Beberapa menit keheningan menyelimuti mereka, sampai akhirnya beberapa winters datang dengan napan berisi aneka makanan serta minuman yang Alfred pesan tadi.

Melihat kedatangan beberapa pria itu membuat Metha langsung menegakan badannya. Ia tidak ingin dianggap yang tidak-tidak oleh para pria penyaji makanan itu.

"Silahkan dinikmati Tuan dan Nona," ucap salah seorang waiters seraya menyimpan gelas panjang unik yang berisikan jus mangga.

"Terima kasih," balas Metha dan Robert secara serentak.

Mereka saling bertatapan namun belum juga sepuluh detik Metha langsung memutuskannya.

"Sama-sama."

Para waiters itu membungkuk kecil sebagai tanda hormat pada sang tamu. Lalu, mereka melangkah pergi ke bawah.

Metha menatap berbagai macam santapan yang benar-benar sangat mengunggah selera.

Robert tersenyum kecil. "Selamat makan, calon istriku!"