"Metha, kau ke mana saja, Nak? Jangan buat ibu khawatir!" Helena berlari tergopoh-gopoh menuju sang anak yang baru masuk ke dalam rumahnya.
Raut wajah Metha semula masam seketika berubah menjadi kebahagiaan. Ia memeluk sang ibu dengan erat. "Aku dari luar, Bu. Ibu jangan khawatir karena aku baik-baik saja."
Helena melonggarkan pelukannya, menangkup kedua pipi sang anak dengan lembut. "Apa yang kau bawa?" tanyanya heran kala kedua netra tak sengaja terpaku pada tote bag berwarna pink corak putih yang tengah dijinjing itu.
Metha menatap sekilas pada arah pandang yang dituju sang ibu, setelah nya ia kembali menatap wanita tercintanya. "Ini kue kesukaan ibu," serunya begitu tampak ceria. Ia menyodorkan barang tersebut ke arah ibu.
"Kau beli sendiri, Nak?" tanya Helena lebih lanjut seraya mengambil tote bag yang katanya berisi kue-kue kesukaannya.
Sekejap Metha terdiam. Sepersekian detik kemudian ia terkekeh kecil, dan merangkul ibunya. "Kita makan bersama-sama ya, Bu?" katanya sudah tentu mengalihkan topik pembicaraan.
Metha tidak tahu harus menjawab apa, andai saja jika ia berkata jujur mungkin sang ibu tidak ingin memakannya. Jadi, lebih baik ia berdiam saja.
Helena dibuat menyatukan kedua alisnya heran. Anaknya terasa aneh. Namun akibat tak ingin memperpanjang masalah dan memudarkan kebahagiaan pertemuan antara sang ibu dan anak Helena terpaksa mengubur sedalam-dalamnya rasa penasaran itu.
"Sudah tentu, Nak," balas Helena tak kalah ceria.
Dua wanita yang berbeda usia itu melangkah menuju meja makannya berada.
Metha menyiapkan segala keperluan sebelum acara makan dimulai.
"Tidak, ini untuk ibu! Aku membelikannya khusus untuk ibu," tolak Metha secara halus ketika sang ibu menyimpan sepotong ayam bakar ke piring anak semata wayangnya.
"Lalu, kau makan apa, Nak?" tanya Helena merasa tak enak pada sang anak. Pasalnya selain kue yang Metha bawa ada juga sepotong ayam bakar yang terlihat mengunggah selera.
Namun sayang seribu sayang, jika hanya ia saja yang memakannya sedangakan sang anak tidak lebih baik ia mengalah saja.
Metha melukiskan sebuah senyuman tipis kala mendengar itu. "Aku sudah memakannya tadi," paparnya berkata jujur.
Karena memang itu kenyataannya, ia sudah makan banyak ayam saat tadi bersama si pria tua pemaksa. Dan ia sengaja secara diam-diam menyisakan sepotong ayam untuk dibawa ke rumah, yang pasti untuk ibu tercinta.
Penasaran yang tadi sudah dikubur kini kembali bangkit. Kerutan halus hadir di kening Helena. "Beritahulah ibu, kau sudah pergi dari mana dan sama siapa?" tanyanya menunjukan serius.
Metha menundukan sedikit kepalanya. Di bawah sana ia meremas-remas jari-jemarinya yang terasa dingin. "Tapi ibu harus janji setelah aku memberi tahu ibu tidak akan marah."
"Apa itu?" tanya Helena.
"Ibu harus janji terlebih dahulu!" Metha hanya merasa was-was saja, ia tidak ingin sang ibu marah.
Tanpa banyak berpikir Helena menggerakan kepalanya. "Ya, tidak mungkin ibu marah padamu. Kecuali jika kau melakukan kesalahan besar, ibu tidak bisa memakluminya."
Inilah yang Metha takutkan. Ibu jarang sekali marah tapi sekalinya marah berhasil membuat hati Metha hancur! Sehancur-hancurnya.
"Aku pergi bersama tuan Robert." Metha langsung memejamkan kedua matanya tak ingin melihat ekspresi apa yang tengah ditunjukan sang ibu.
Namun, hening. Metha tidak mendengar apa-apa selain suara jarum jam yang berdetak serta suara sepoi-sepoi angin di malam hari.
Ia membuat sedikit celah guna melihat ibu. "Kenapa ibu malah diam?" Kali ini Metha lah yang dibuat keheranan, pun kedua matanya sudah terbuka sepenuhnya.
Helena yang baru saja melamun menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman tipis. "Tidak apa-apa, itu hakmu."
"Tapi ... benar-benar tidak marah?" tanya Metha merasa curiga bahaw keterdiaman sang ibu merupakan kemarahan yang terendam.
Helena menggelengkan kepalanya masih dengan senyuman indah yang terlukis di wajah keriputnya. "Sama sekali tidak, Nak. Buat apa juga ibu marah, kau tidak melakukan kesalahan apa pun."
"Ahk, sudahlah mari kita makan. Perut ibu sudah berkeroncongan," lanjut Helena berucap yang kali ini ditaburi oleh tawaan kecilnya seolah ingin melupakan dengan pembicaraan barusan.
Metha tidak tahu apa yang ia rasakan sekarang. Rasanya begitu campur aduk, antara tenang dan takut. Kendatipun ia membuyarkan perasaan itu dengan ikut tertawa kecil.
"Ayamnya untuk ibu, ya." Metha kembali menyimpan ayam bakar ke atas piring sang ibu.
"Apakah ini tidak apa-apa?" tanya Helena sebelum menyiapkan secuil daging ke dalam mulutnya.
"Tidak, Bu. Justru aku sangat senang jika ibu mau memakannya sampai habis." Metha sudah kembali pada mode ceria. Ia ikut makan, namun hanya memakan kue saja.
Melihat sang ibu yang begitu lahap makan daging bakar membuat perasaan hangat menumpuk di dada.
Ingin rasanya Metha berteriak saking bahagianya melihat ibunya yang seperti itu. Tetapi ia harus memendam keinginannya yang terdengar terlalu melankolia.
"Biar aku saja yang membereskannya." Metha menghadang sang ibu yang hendak akan membawa piring kotor.
"Biar ibu saja, Nak. Ibu tahu pasti kau cape baru pulang, lebih baik kau pergi saja ke kamar dan langsung istirahat," jelas Helena.
Ia kembali menggapai piring kotor tersebut namun lagi-lagi Metha menahannya.
"Ibu salah, justru ibu yang harus istirahat. Aku masih kuat kok, gak cape sama sekali lagi pula aku juga belum mengantuk," balas Metha menyanggah ucapan ibunya.
Ia langsung merangkul ibu dan membawanya menuju kamar berada.
"Dadah, ibu istrihat ya. Ibu jangan terlalu cape aku gak mau ibu sakit. Selamat malam dan selamat tidur ibu, semoga mimpi indah ya." Metha menutup pintu kamar sang ibu dengan perlahan seakan tak membiarkan senada pun suara decitan hadir yang mengganggu Indra pendengaran ibunya.
Metha menurunkan kedua bahunya. Namun hanya sejenak, pada detik berikutnya ia tersenyum semangat dan melangkah cepat membersihkan meja makan dengan teliti lalu membawanya ke wastafel untuk dicuci.
Tidak memakan waktu lama Metha sudah selesai dengan pekerjaannya. Ia membanting kan tubuhnya ke atas sofa.
"Untuk besok aku harus bagaimana?" tanyanya pada diri sendiri.
Metha mendongak menatap langit-langit yang sebagiannya sudah berwarna hitam akibat kebocoran sering terjadi saat hujan besar melanda.
"Apa aku ...." Tampaknya Metha langsung berpikir.
"Argh, aku sudah tidak memiliki ponsel untuk menelepon temanku," kesal Metha setelah acara berpikirnya selesai.
Otaknya Metha mengatakan lebih baik Metha meminta bantuan saja pada temannya yang sekarang tengah bekerja di pabrik tekstil, siapa tahu ada lowongan di sana. Pun Metha juga masih bisa untuk menjahit, karena ia juga pernah berpengalaman.
"Bagaimana cara aku bertanyanya? Sangat tidak mungkin jika sekarang aku harus pergi hanya untuk menemui dia. Dan ini sudah tengah malam pasti dia sudah tertidur," monolognya lagi.
Akibat sudah kepalang pusing Metha bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya berada.
Namun, tiba-tiba saja langkahnya harus terpaksa terhenti kala kedua telinganya mendengar suara yang nyaring.
Tok tok tok!