Metha mengayuh sepeda dengan tergesa-gesa menuju toko bunga milik bossnya berada.
Sungguh, Metha lupa jika hari ini ada acara seperti apa yang telah dikatakan bossnya tadi pagi. Kepalanya terlalu penuh dengan masalah yang mendera dirinya tadi siang bersama Peter hingga membuat ia lupa dengan masalah lainnya.
Aarggh, Metha merutuki Peter. Karena dia dirinya menjadi kalang kabut seperti ini.
Andai saja jika Peter merupakan pria yang pemaaf dan tidak memperpanjang masalah tentang kap mobilnya yang lecet akibat ulah sepatu dirinya, padahal itu benar-benar kejadian yang tidak sengaja.
Metha menggelengkan sedikit kepalanya seharusnya ia sadar jika itu hanyalah sebuah andai berandai.
"Ya, ampun bagaimana ini?" kalang Metha menatap ke depan dengan jalan yang padat. Yah, dapat dipastikan jika Metha terjebak oleh macet.
Metha membuang napasnya gusar, ia menoleh ke arah pinggir jalan. Tiba-tiba sebuah lampu yang berada di atas kepalanya menyala pertanda ia mendapatkan sebuah ide yang cukup tepat agar dirinya tidak terjebak macet.
Metha membelokan stang sepedanya, kemudian ia menyempil dan melajukan sepedanya di sepanjang trotoar dengan cepat.
Sangat beruntung jika trotoar ini sepi dan tidak ada satu pun orang-orang yang berlalu lalang di sini. Selain itu, di sana juga tidak ada polisi membuat Metha dapat menghela napas tenang dan tidak takut untuk ditangkap.
Beberapa menit telah terlewati serta beberapa tetesan keringat telah menetes dari kening Metha, berkat kegigihan serta kecepatan yang Metha lakukan hingga akhirnya ia sampai di pekarangan toko bunga yang dapat dibilang cukup besar itu.
Metha memarkirkan sepedanya di parkiran khusus sepeda. Lalu ia ngancir masuk ke dalam tanpa mempedulikan orang-orang atau para pengunjung yang menatap dirinya heran sekaligus aneh.
"Permisi, apakah bos Luxe ada?" tanya Metha pada wanita yang diketahui seorang kasir.
Bukannya langsung menjawab wanita yang disebut kasir itu malah menatap Metha sinis. "Dari mana saja kau? Dari tadi bos Luxe menunggumu," tuturnya yang diiringi dengan delikan sinis.
"Lalu, di mana dia?" tanya Metha terkesan menggertak.
"Di atas," jawab wanita itu lagi-lagi sinis.
Tanpa berkata apa pun lagi Metha langsung berlari ke arah atas di mana sebuah ruangan berada dengan tergesa-gesa, ia sudah tidak memperhatikan tampilannya dirinya lagi yang sudah acak-acakan. Yang terpenting sekarang adalah Metha dapat menemui bosnya itu.
Sementara wanita kasir itu menatap kepergian Metha dengan tatapan yang menyiratkan akan permusahan. "Cih, sudah jelek … tidak tahu terima kasih lagi," ucapnya seraya mendecih.
Ya, jujur saja bahwa dirinya memang sangat membenci Metha berawal dia didekati oleh Robert, seorang pria yang selau ia dambakan dari dulu dan berharap menjadi sugar daddy dirinya. Tapi ternyata wanita jelek itu lah yang menjadi saingannya.
"Semoga saja dia dimarahi oleh pak bos dan dipecat langsung sekarang juga," ucapnya berharap besar akan hal itu.
Sedangkan di sisi lain Metha terus berlari hingga dirinya berhenti di sebuah pintu yang berwarna cokelat gelap dengan beberapa bunga yang menjadi hiasan di samping pintunya.
Sebelum mengetuk pitu Metha terlebih dahulu mengatur napasnya yang terasa tidak beraturan layaknya sehabis lari marathon.
Setelah dirasa cukup tenang Metha menatap ke depan lebih tepatnya ke arah pintu yang tertutup rapat itu dengan perasaan yang campur aduk.
Sebenarnya rasa takut yang lebih dominan melingkupi dirinya sekarang.
Akan tetapi Metha berusaha menekan rasa takut itu dan kini ia harus mengumpulkan keberaniannya yang tinggi saat menghadapi bosny nanti.
Tangan kanannya mulai terangkat dan perlahan bergerak hinga menghasilkan bunyi ketukan.
Tok tok tok!
Metha mengigit bibir bagian bawahnya dengan harap-harap cemas.
Namun, kenapa ia sama sekali tidak mendapatkan sahutan dari dalam?
Metha mengernyit, tangannya kembali bergerak.
Tok tok-
Plak!
"Aargghh."
Sontak, Metha memegang pipinya yang terasa panas bak terbakar kala sebuah tamparan keras tiba-tiba datang dan menyambut kedatangan dirinya.
"Dari mana saja kau, hah?"
Sebuah teriakan melengking bak petir menusuk tajam pada lubang indra pendengaran Metha, akibat saking kencangnya Metha merasa kedua gendang telinganya pecah kala itu juga.
Metha menolehkan kepalanya ke depan, tangannya perlahan terangkat membereskan anak-anak rambut yang tertempel di wajahnya akibat tamparan keras tadi.
"Bos," panggil Metha pelan ke arah bosnya yang terlihat seperti banteng akan ngamuk.
Ia menelan ludahnya bulat-bulat siap-siap mendapatkan amukan dari sang atasannya itu.
"Pergi ke mana terlebih dahulu, hah?" tanya Luxe lagi mengulang pertanyaan yang tadi, kali ini suaranya tidak sekencang tadi, namun tatapannya malah kian menajam menatap ke arah Metha, ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat sampai buku-buku jarinya memutih.
Metha memejamkan kedua matanya sejenak. Sungguh, selama dirinya bekerja di sini ini merupakan pertama kalinya ia melihat sang atasan murka, dan sialnya itu kepada dirinya.
"Ma-maaf, Bos." Hanya itu yang dapat Metha katakan, ia bingung harus menjawab apa lagi. Dalam situasi seperti ini kata-kata yang semula tersimpan rapi di otak, langsung sirna begitu saja seakan mereka tidak peduli dengan Metha yang kebingungan seperti ini.
"Masuk!" titah Luxe tegas memerintah Metha yang masih berdiri di ambang pintu untuk segera masuk ke dalam ruangan.
Bukannya apa-apa, Luxe hanya takut saja ada seseorang yang mendengar perkataan dirinya yang tengah memarahi anak buahnya ini.
Akibat tidak ingin menambah kemarahan Metha langsung patuh, ia melangkah pelan masuk ke dalam meski hatinya terasa tampak ragu bercampur takut.
"Ya, Bos. Ma-maafkan aku," tutur Metha lagi setelah dirinya berdiri di hadapan Luxe, ia menautkan kedua tangannya yang kemudian meremas-remas jari jemarinya guna menyalurkan sebuah perasaan yang sedang ia rasakan sekarang.
Melihat kecicitan Metha membuat Luxe mengusap wajahnya kasar, seharusnya ia tidak terlalu kasar seperti ini. Namun tak urung dirinya juga masih menyimpan rasa kekesalan yang cukup dalam pada anak yang berada di hadapannya itu.
Luxe menyilangkan tangannya di depan dada dan menunjukan raut wajah datarnya. "Apakah kau sengaja berniat untuk tidak menghadiri sebuah acara yang sudah saya beritahukan tadi pagi?" tanyanya, suaranya sudah berubah menjadi santai namun ketegasannya masih tetap sama seperti tadi.
Seketika Metha menggelengkan kepalanya kuat-kuat saat mendapatkan tuduhan itu, dengan sedikit ragu Metha mengangkat wajahnya agar ia dapat melihat wajah bosnya yang tengah dikobar amarah itu.
"Tidak, Bos. Sungguh, aku sama sekali tidak memiliki niat seperti itu," elaknya.
"Lalu, kenapa kau tidak datang, hah?" tanya Luxe lebih lanjut ingin mengetahui apa yang menjadi penyebab Metha tidak datang pada acara yang seharusnya sudah dilaksankan siang tadi.
"A-ada masalah, Bos," jawab Metha dengan segera.
"Masalah apa?"
"Eum masalah …." Sial, kenapa ia jadi bingung seperti ini? Mana kata-kata yang siap ia lontarkan barusan?
Melihat keterdiaman Metha membuat Luxe kembali meggeram marah. "Sudah, kau tidak perlu menjawabnya. Karena kau telah membuatku marah maka untuk satu minggu ke depan kau tidak usah bekerja!"
"Apa!?"