Sementara itu di dalam Airis dan Anjar nampak sedang ngobrol.
"Eh tolong dong lukiskan gua disini," ujar Anjar.
"Lukisan gambar apa?" tanya balik Airis.
"Gambar sepasang kekasih, bisa kan?" ucap Anjar.
"Boleh, cuma tetap kan di bagian bawah ada tanda tangan gue? Numpang sensi .." ujar Airis sambil memainkan dua alisnya, dan Anjar pun langsung tertawa.
Sementara itu di luar Winda nampak bertanya pada Egi.
"Gi kok kedengarannya mereka ketawa-tawa?"
"Yah biasalah namanya juga sedang ..." belum juga Egi selesai bicara tiba-tiba Winda meminta Egi untuk diam.
"Ssst .. udah diam, tuh lihat tuh ngapain Anjar pake pegang-pegang mata Airis segala? Hih ... ngapain sih?" ujar Winda sambil memijit tangan Egi.
"Hehehe ... apa ini bukan namanya cemburu?" Winda pun langsung diam dan kemudian menjawab.
"Ya enggak lah, udah lah lihat aja lagi mumpung ada tontonan gratis."
"Ogah ah, gue kebelet pipis, gue tinggal dulu ya?"
"Ya udah sana," timpal Winda. Sementara di dalam Anjar nampak sedang bertanya pada Airis.
"Mata kamu kenapa Ris? Kok merah gitu, kamu habis nangis ya?"
"Ah enggak, gak papa kok," jawab Airis mengelak.
"Ini nih bengkak Airis namanya ... kamu gak mau periksa ke dokter?"
"Hahaha ... kenapa sih? Bisa aja lah, ini mah cuma kurang tidur aja, gak papa kok bener ... emmm. Aku rasa sekarang kita jarang kumpul ya?" tanya Airis.
"Gimana mau kumpul lha wong yang lain lebih mementingkan dirinya sendiri kok, dan kalau kita tidak segera evaluasi dan kita kompakan lagi besok bisa-bisa semester kelas kesenian digagalkan lo!"
Airis pun langsung terkejut.
"Terus kita gimana?"
"Ya kita harus tetap berusaha supaya kelas ini bisa tetap jalan terus, atau kalau kita tetap keras kepala maka kelas ini tidak akan pernah ada lagi dan cita-cita kita akan berakhir disini, gimana coba? Sia-siakan perjalanan kita selama ini?" terang Anjar, lalu Airis memberikan bukunya ke Anjar.
"Nih bukunya," dan Anjar membatin 'Kok besar satu ya matanya? Ada yang aneh dari Airis.
"Udah ah aku pulang dulu ya? Lain kali kita bahas lagi semua ini," ujar Airis sambil berdiri dan kemudian pergi, Anjar juga ikutan berdiri dan kemudian berkata.
"Terimakasih ya?" Airis menoleh sambil menjawab, "Yah ... masa-masa," dan terus berjalan dan kemudian langsung membuka pintu dan melihat Winda namun buru-buru berpaling dan kemudian berkata dalam hati.
'Pura-pura gak liat aja ah ..." dan terus berjalan. Kemudian Anjar pun juga keluar dan langsung pergi, Winda membatin.
'Untung saja dia tidak lihat gua.' Dan tidak disangka-sangka ternyata Anjar balik badan dan nampak bermaksud kembali masuk ke Aula.
"Aduh ada yang ketinggalan!" Bersamaan dengan itu Winda yang baru saja keluar dari tempatnya mengintip tadi akhirnya malah ketahuan oleh Anjar.
"Lho Winda, ngapain kamu kamu kok jongkok di situ?" tanya Anjar.
"Eh ... ini mau betulin sepatu," jawab Winda nampak sedikit gugup.
"Mau dibetulin kok dilepas?" lanjut tanya Anjar.
"Iya maksudnya mau dilepas eh .. hehe ..." jawab Winda masih dengan salah tingkahnya.
"Oo ..." kemudian Anjar masuk lagi ke Aula dan Winda pun membatin.
'Hmm dia rupanya udah bener-bener gak perduli lagi sama aku." Dan tiba-tiba saja ..
"Sini aku benerin?" Winda mengangkat kepalanya dan rupanya Anjar sudah berdiri didepannya.
"Anjar?" Lalu Anjar pun langsung jongkok melepaskan sepatu Winda dari kaki Winda.
"Apaan sih, gak usah," ucap Winda pura-pura gak mau. Sementara sambil benahi sepatu Winda Anjar nampak berkata.
"Ini bukannya aku suka lho ya? Aku cuma kasian aja."
"Ya udah sini sepatuku, gak perlu dibetulkan," jawab Winda sambil berusaha merebut kembali sepatunya dari tangan Anjar dan setelah itu Winda malah melepas semua sepatunya dan kini kaki Winda pun sudah tidak memakai apa-apa lagi, melihat tingkah Winda seperti itu Anjar nampak diam, lalu Winda kembali berkata.
"Anjar, dengar ya? Aku itu gak butuh dikasihani, aku juga gak butuh disayangi, aku gak minta kamu mencintaiku, malahan aku pingin kamu membenciku, tapi kenapa sekarang kamu malah mendekatiku? Dan ternyata kamu membenciku, seharusnya kamu gak perlu ikuti aku, karena aku memang tidak pantas untuk kamu, aku tahu kalau sekarang ini kamu itu balas dendam ke aku, iya kan?" tanya Winda setelah berbicara panjang lebar, dan karena Anjar tidak menjawab Winda pun berucap kembali.
"Ih, ngomong apaan sih aku, kaya kurang kerjaan aja." Winda pun langsung pergi, Anjar menutup matanya, Winda nampak berhenti sesaat dan rupanya dia membuang sepatunya dan kemudian kembali melangkah pergi.
Tiga hari berlalu, Airis pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan matanya yang sakit, dan tidak lama kemudian ia keluar nampak air matanya menetes dan berkata.
"Aku gak mungkin terkena rabun heh ..." Airis menghapus air matanya dan kemudian berkata.
"Aku sehat kok," dan kemudian langsung membuang surat keterangan dari dokter dan kemudian pergi seolah-olah dia tidak sedang sakit, lalu Airis pun pergi ke makam ibunya dengan membawa bunga dan kemudian dia nampak menaburkan bunga dan dilanjutkan dengan berdoa, "Ya Alloh jangan sakiti ibuku, aku sangat mencintai dan menyayanginya," dan kemudian Airis pun menangis.
Sementara itu Rina dan keluarganya nampak sedang sibuk mencari Airis yang tak ada kabarnya, adapun teman-temannya terlihat sedang berkumpul. Dan Pak Dosen tiba-tiba bertanya.
"Dimana Anjar dan Airis?"
"Sibuk pacaran mungkin Pak," jawab Dinda dan kemudian Egi menyahut.
"Apaan sih?"
"Udah lah ... mereka kan gak penting," ucap Winda, dan kemudian Egi berdiri dan berkata.
"Bagiku mereka itu lebih penting dari pada kalian," lalu Egi pun pergi, Rendy berdiri dan kemudian menyusul Egi.
"Eh bro, emang ada sih?" tanya Rendy.
"Kemana aja sih lo selama ini? Apakah itu yang dinamakan teman sejati?"
"Apa maksud lo?" tanya Rendy tiba-tiba.
"Alah udah ... gak penting," sahut Egi sambil melangkah pergi,
"Egi," panggil Rendy.
"Udahlah," timpal Egi terlihat tidak suka, lalu kemudian Egi duduk, dan Agus datang.
"Kamu gak benar-benar mencintai Rina kan?" tanya Agus.
"Entahlah aku gak tau," jawab Egi.
"Ingat dia itu hanya untuk kita buat taruhan," ucap Agus.
"Iyaa beres," balas Egi, dan kemudian Rina menyahut dengan berkata.
"Aku benar-benar gak menyangka, sudah susah-susah belajar mencintai kamu tapi apa balasan yang kudapat? Ingat Gi, gini-gini aku masih punya harga diri, kemudian Rina lari dan Egi pun langsung mengejarnya.
"Tapi sekarang aku benar-benar cinta sama kamu Rin," ujar Egi dan nampak Rina masih terus berjalan dengan air mata yang mengalir deras, kemudian Egi menyusul dan memegang erat tangan Rina.
"Sudah puas kan sekarang, kenapa kamu pura-pura mencintai aku, menyayangi aku, dan kalau udah puas lepasin aku dong ... terimakasih sudah memberi pelajaran yang menyakitkan untukku, dan tidak akan aku lakukan ini semua, sekarang bilang pada aku ... dari mana kau bisa tahu kalau kemarin aku sakit?" ucap Rina bertanya.
"Airis," jawab Egi singkat, lalu Rina pun pergi.
"Rin .. Rina .." panggil Egi, sementara Rina berjalan dan kemudian langsung masuk mobil. Beda lagi dengan Winda, ia nampak hendak membuka lokernya.
"Apa ini?" tanya Winda dan kemudian dia langsung mengambil sebuah bungkusan kado dari dalam loker, dan ternyata isinya adalah sepatu yang ia buang waktu itu, lalu dibawah sepatunya rupanya ada sepucuk surat dan kemudian dia membacanya.
"Mencintaimu adalah hal terindah, namun apa daya tangan tak sampai menggapai keindahan itu."
"Hanya itu yang tertulis, kira-kira siapa ya yang memberikan surat ini? Masak Anjar? Tapi Anjar kan tidak disini," Airis bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kemudian dia terus bergegas menuju tempat parkir dan disitu dia juga tidak menemukan siapa-siapa.
"Sebenarnya Anjar dimana sih? Eh kenapa aku ini, napa malah jadi mencari Anjar? Dia kan bukan siapa-siapa, dan tidak penting juga, ah rasanya nano-nano dan aku aneh. Huft ... kenapa ya tiba-tiba aku kok merindukan Airis? Apa benar aku ini teman yang tidak baik?" Winda terus bertanya-tanya karena perasaannya yang tidak karuan.