"Ya! Junghyon! Aku akan membunuhmu, dasar bocah nakal!"
"Ah, nunna berhentilah. Kau membuatku malu."
"Oh, jadi sekarang kau malu berjalan dengan kakakmu sendiri? Ha?"
Jinhyun terus saja mengeplak dan mengapit kepalaku di keteknya. Benar-benar kebiasan yang tidak bisa diubahnya sejak dulu. Kalau saja usianya tidak lebih tua dariku aku akan membalas perbuatanya ini.
Jinhyun adalah kakak perempuanku. Hubungan kami cukup dekat sabagai sepasang saudara, mengingat dia adalah satu-satunya saudara yang kupunya. Dibanding anggota keluargaku yang lain aku lebih sering berbagi suka dan dukaku bersama Jinhyun. Terkadang aku merasa beruntung memilikinya di dunia ini, sebab hanya dia orang yang tidak menganggapku berbeda setelah mengetahui yang ada di dalam diriku sebenarnya.
"Nunna, apa kau tahu mengapa ibu mengajak kita makan malam bersama di sini? Apa ada sesuatu yang penting?"
"Hey aku baru saja mau bertanya hal yang sama padamu."
Aku dan Jinhyun sedang berjalan memasuki sebuah restoran mewah di dekat salah satu hotel bintang lima. Sore ini aku mendapat telepon dari ibu untuk undangan makan malam. Sejak beberapa tahun yang lalu aku memang jarang pulang ke rumah dan menemui ibu. Ibuku sendiri bukan orang biasa, dia salah satu pemilik beauty care terkenal di kota ini dan orang yang super sibuk.
Hubunganku dan ibu tidak begitu baik. Apalagi semenjak dia tahu aku berkencan dengan Seo Ju. Ibu tidak bisa menerimanya dan aku memutuskan untuk mengabaikannya. Ya, begitulah.
Setelah melewati beberapa meja kami akhirnya sampai di meja yang ibu pesan. Seorang pelayan menuangkan minuman pada kedua gelas kami. Aku meneguk minuman itu perlahan. Rasanya manis dan pahit.
Setelah beberapa saat menunggu, ibuku akhirnya sampai. Nyonya Kim Hanna. Dia meletakan tas super mahalnya di meja kemudian duduk di sebelah Jinhyun dengan anggun.
"Kalian sudah lama menunggu?" tanyanya.
"Tidak. Ada apa ibu memanggil kami?" aku memulai tanpa basa-basi.
Ibu hanya diam, mengabaikan pertanyaanku dan memalingkan wajahnya dariku.
"Kalian sudah pesan sesuatu, Jinhyung?"
"Belum. Kami menunggu ibu datang."
"Baiklah kita akan memesan dan makan malam terlebih dahulu baru berbicara."
Setelah mengatakan perintahnya ibu memanggil pelayan dan mulai memesan beberapa makanan.
Kami makan malam dengan tenang. Beberapa kali aku menangkap ibu sedang menatap tajam padaku. Tapi, dia tidak mengatakan apa-apa. Ibu hanya diam lalu melanjutkan makannya. Aku tidak tahu apa yang sedang ada di dalam pikiran ibu, tetapi hatiku mulai gelisah.
Selesai dengan makan malam ibu mulai berbicara tentang tujuannya mengajak aku dan Jinhyun bertemu. Dari nadanya aku tahu ada yang sedang tidak beres.
"Beberapa tahun ke depan aku akan memulai pensiunku. Dan aku ingin kalian yang melanjutkan untuk mengurus pekerjaanku."
"Apa maksud ibu?" tanya Jinhyung sangsi.
"Aku akan menetapkan kalian sebagai CEO dan wakil CEO."
Terang saja aku dan Jinhyun langsung terkejut mendengar perkataan ibu.
"Aku sudah punya pekerjaan."
"Aku juga," kataku menyahut Jinhyun cepat.
"Pekerjaan kau bilang? Sebagai pegawai kantor rendahan kau sebut sebagai pekerjaan? Cukup. Aku sudah cukup membiarkan kalian berbuat seenaknya. Sebagai ibu kalian aku yang akan menentukan apa yang benar dan tidak tentang masa depan kalian."
"Ibu tidak bisa berbuat ini pada kami." Jinhyun membantah.
"Aku bisa karena aku ibu kalian."
"Cukup ibu. Aku tidak peduli apa yang ibu katakan. Tapi, ini kehidupan kami. Kami yang akan menentukan bagaimana masa depan kami."
Ibu menatapku tajam.
"Kau menentukan hidupmu sendiri? Sejak aku membiarkanmu melakukannya, kau justru menjadi orang yang gagal. Kau berkencan dengan seorang pria dan mejalani kehidupan tanpa masa depan. Aku menyesali keputusanku itu, Junghyon. Dan sekarang aku akan memperbaiki segalanya. Kau akan berkeja dan menikah sesuai dengan pilihanku."
"Apa maksud ibu?!" aku bertanya kesal. "apa yang salah dengan kehidupanku sekarang? Aku bahagia bersama orang yang kucintai. Dan menikah? Apa maksud ibu dengan menikah!"
"Berpacaran sesama jenis kau bilang hidupmu bahagia?! Junghyon-ya! Jangan melewati kesabaranku!"
Ibu menggebrak meja dengan keras. Beberapa orang di sekitar kami lantas menatap dengan pandangan ngeri.
"Cukup! Semua ini membuat kepalaku pusing."
"Ibu berhentilah. Kau mempermalukan kami," ujar Jinhyun perlahan.
"Kau yang seharusnya meminta adikmu berhenti. Dia tidak dewasa karena kau membiarkannya berbuat sesuka hatinya. Dia sudah salah jalan."
"Apa yang salah ibu?" tantangku.
"Junghyon kau juga berhentilah."
Jinhyun mencoba menghentikanku, tetapi sama seperti ibu kesabaranku pun sudah habis. Mengapa ibu merasa kehidupanku salah?
"Aku mencintai Seo Ju. Dia orang yang baik dan aku bahagia bersamanya. Kalau aku harus menikah, maka aku hanya akan menikah dengannya."
Aku mengatakan apa yang ada di hatiku dengan tegas kepada ibu. Aku tahu dari dalam matanya ada amarah dan ketidakpercayaan, tetapi aku tidak ingin cintaku pada Seo Ju dipersalahkan. Cinta kami tidaklah salah.
Tanpa menunggu jawaban dari ibu aku memutuskan untuk pergi dari sana. Jinhyun menahan langkahku, tetapi aku tidak bisa duduk di sana lebih lama. Terlebih beberapa orang kini menatapku dengan pandangan jijik. Seolah aku mahkluk hina.
"Nunna, maaf aku harus pergi."
"Junghyon maafkan ibu. Kalau saja aku tahu wanita itu akan memanggil kita karena urusan ini aku tidak akan membiarkanmu ke mari."
Aku memegang tangan Jinhyun untuk menenangkannya. "Tidak, nunna. Ini lebih baik. Dengan begini aku tahu ibu masih belum bisa menerima diriku dan Seo Ju."
"Aku tahu ini sulit, tapi aku selalu mendukungmu, Junghyon."
"Terima kasih, nunna. Aku harus pergi sekarang."
"Sampaikan salamku pada Seo Ju."
"Tentu saja, nunna."
***
Aku tidak tahu mengapa ibu masih menganggap cintaku dengan Seo Ju salah. Sejak kami berkencan ibu tidak pernah menyukainya. Dan aku tidak mempedulikan itu karena ibu tidak pernah berusaha memisahkan kami. Tapi, sekarang menikah? Ibu memintaku untuk menikah? Itu mustahil.
"Shibal!!"
Aku memukul setir mobil di depanku dengan keras. Aku terus merutuki diriku. Rasanya ada yang membakar jiwaku saat ini. Aku hanya bisa tertunduk, menutupi wajahku diantara kedua tangan dan setir mobil.
Untuk beberapa saat akhirnya aku bisa mulai merasa tenang. Kemarahanku memang belum hilang, tapi berdiam sebentar telah berhasil meredam api di dalam jiwaku. Ketika aku bersiap untuk menegakkan kepalaku kembali, mendadak seseorang mengetuk jendela mobilku dari luar.
Kontan aku mendongak dan menurunkan jendela. Takut jika itu adalah satpam penjaga apartemen yang mengiraku sebagai orang jahat. Namun, ternyata wajah Seo Ju justru yang muncul di baliknya.
"Seo Ju?" kataku terkejut.
"Hyung, aku pikir kau tertidur di dalam."
Melihat wajah Seo Ju membuatku ingin segera memeluk dirinya. Aku langsung membuka pintu dan memeluk tubuhnya yang lebih tinggi beberapa centimeter dari diriku.
"Hyung, apa kau begitu merindukanku?"
Aku tidak menjawabnya. Aku hanya ingin dia mendekapku lebih erat. Aku hanya ingin ikatan kami ini tidak pernah terlepas. Aku hanya ingin begini selamanya.
"Hyung, aku tahu kau senang memelukku, tapi apa tidak sebaiknya kita lakukan ini di dalam?"
Perlahan aku melepaskan diriku dari Seo Ju. Ah, sial! Karena pertemuan dengan ibu aku menjadi emosional dan bertingkah aneh.
"Be-benar le-lebih baik kita masuk ke dalam." Wajahku memerah karena malu dan Seo Ju tampak menikmati itu.
Seo Ju menggandeng tanganku erat. Aku melihat wajahnya yang berseri terang. Senyuman manis tersemat di bibirnya. Pemandangan ini membiusku hingga kedua kakiku tak mampu berjalan. Aku sangat mencintai pria ini. Amat sangat mencintainya.
"Seo Ju.."
"Hmm... Hyung?"
"Bisakah kita melakukan itu nanti ketika sudah di apartemen?"
***
To be continue...