Gercikan air terpantul di bebatuan bisa di tangkap telinga Xiao li. Tanpa sadar, larian itu mengarah ke sebuah air terjun. Memang sengaja, 4 Pria itu mengiring Xiao li menuju ke air terjun. Kaki memberat, mau maju ada 4 Pria memasang seringai, siap menerkamnya. Mau mundur, ada jurang air terjun. Terlihat, dari atas tidak bisa melihat dasarnya. 'Bagaimana ini? Apa aku melompat saja, tapi aku masih ingin bersama Ibuku. Meski aku tidak berguna begini!' pikir Xiao li. Mulai memperlihatkan kerutan di dahi.
Mereka berempat memiliki perawakan yang beragam. Bila disimpulkan para lelaki itu adalah kultivator tingkat 3 ranah 2. Mungkin dialah pemimpinya, badannya sedikit gemuk. Memiliki wajah kaku dengan warna kulit gandum. Sedangkan pria di sisinya, dia tinggi dan kurus. Auranya tidak terlalu menonjol, pasti baru tahap 2 awal. Kalau yang botak, dia pendek. Memancarkan tekanan yang kuat, tidak sekuat si pria gemuk. Sisanya, dia berperawakan tinggi, tidak kurus dan tidak berisi, paling dia kultivator tingkat 2 ranah ketuju. Walaupun begitu, tetap saja mereka bukan tandingan Xiao li. Para pria itu, jelas mengutatarakan keinginnaya, dari sorotan mata mereka. Tidak ada tatapan persahabatan!
"Hehehe, Gadis bodoh! Kematianmu akan datang!" celetuk salah satu Pria bongsor. Disertai majuan teman botak.
"Hahaha, dasar sampah masyarakat! Sayang sekali ... kau mati sia-sia. Tapi, melihat dirimu yang kotor, siapa yang mau menyentuhmu!" ejeknya.
"Kekekeke dasar Babi!" timpal pria kurus kering. Semua pria melangkah maju, semakin Xiao li mundur. Meski dia memberanikan diri, 4 lelaki bukan tandingannya. Seumpama, dia melompat lalu berenang ke tepian, tetap saja! Dia akan terseret arus, terlebih lagi, tidak bisa berenang. Xiao li benar-benar berada di keadaan terburuk. Badan kecilnya, kembali menggigil cemas.
"Hehe, jangan membuat Kakak menunggu. Lompat saja, kalau begitu--- bukan kami yang membunuhmu, tapi kebodohan dan kelemahanmu!"
"Hahahah, hahaha."
Mereka menertawai Xiao li, yang akan mati tepat di depannya. Mendengar tawa itu, gadis ini terus menggigil. Para lelaki semakin mendekati Xiao li. Mau tidak mau, dia memutuskan melompat ke arus sungai.
"Akkkkhhhh."
Raung Xiao li terlempar di ujung arus, tetapi kedua tangan masih memegangi bebatuan. Tubuhnya bergelantung di arus sungai. Rasa takut mencengkam ke dalam diri. Tangan bergoyang, tunas menyoroti 4 pria yang berdiri di sisi sungai. Bidikan Xiao li, mampu memberhentikan tawa mereka sejenak.
"Sial! Apa mau kucongkel mata itu! Berani sekali memelototiku!" murka salah satu pria. Memutuskan mengambil batu. Melempari gadis yang masih bertahan memegangi ujung batu, agar tidak terjatuh ke bawah.
Byurs, syut! Dugh plak.
Lemparan demi lemparan batu, dihiasi tawa mereka. Satu batu, dua batu, 4 batu. Xiao li tidak bisa menahan jauh lebih lama lagi. Dia tidak memiliki kekuatan spiritual apapun. Makanya tidak bisa membuat kontrak dengan hewan spiritual. Darah segar merintik dari; bibir, hidung serta wajah yang terkena lemparan batu. Netranya membulat, mulai mengumandangkan suara getar, "Meski dewa kematian mencabut nyawaku sekarang! Aku akan merangkak keluar dari kubur dan membalas! Nyatanya, aku tidak memiliki kekuatan apapun. Sial! Aku benar-benar sampah!" umpat Xiao li. Kesal dengan diri sendiri. Sampai di titik ini, dia tidak bisa melakukan apapun. Walau nyawanya terancam!
Kelopak mata mulai mengatup, menahan sakit. Baru di buka, sebuah batu seukuran bola tepat di depan alis. Benih mata terasa mendelik keluar, belum sempat menghindar sepenuhnya, malah dihujani batu lagi. Membuat keseimbangnnya runtuh.
"Terimalah ini!" Disertai lemparan batu yang mengenai tangan Xiao li, membuat pegangan tangannya terlepas.
Blagkh!
"Akhh! TIDAAAAAAAKKK!!"
Jeritan gadis ini, jatuh bersama batu-batu. Tubuh dan suaranya tidak lagi terdengar, ataupun terlihat. Bola mata hitam sepenuhnya tertutup. Tenggelam ke dasar, sesaat kembali mengambang di dasar jurang air terjun. Ketika gadis ini terjatuh dan tenggelam. Rasa dingin menyusup ke tubuh, dada sesak. Matanya kian lelah, ingin tidur sekarang juga. Dia tidak bisa lagi membuka kedua bola mata. Hanya, menyisakan kegelapan dan terdampar di sisi lembah.
"Hahaha, akhirnya mati juga, kita bisa menerima 500 tael perak hahah! Ayo bubar, mari kita ke rumah bordil hhehe!" ajakan dari bos mereka.
"Dia sudah mati. Tidak ada yang keluar hidup-hidup dari jurang air terjun ini. Dikatakan, di bawah air terjun adalah lembah Húdié. Kecuali dia setan, yang merangkak keluar!" himbuh bos mereka. Sedikit angkatan bahu. Merasa merinding dan meninggalkannya begitu saja.
---
Lembah Húdié, lembah yang terkenal di negeri Pùbù. Tidak ada yang pernah keluar hidup-hidup dari lembah ini. Ketika Xiao li terjatuh. Sangat jelas, dia tidak memiliki harapan untuk hidup. Dia tahu ini, di saat terjatuh memikirkan; "Aku terjatuh di sini? Sudah pasti, hanya bisa mati! Aku tahu aku bodoh, tapi aku tahu tempat ini paling mematikan di negri Pùbù. Ya, di lembah Húdié. Sayang sekali, aku harus mati di sini. Pasti begitu sepi dan sunyi. Maafkan aku Ibu, bila aku belum berbakti sepenuh--nya," pejaman mata itu. Mengakhiri ucapan gadis ini, untuk terdiam selama-lamanya.
.
..
…
---
"Di mana nona Keempat? Ini sudah malam, tapi belum kunjung datang!" nada tinggi disertai kekhawatiran. Kakek tua dengan rambut memutih. Datang 2 pria gagah, mengenakan seragam biru muda.
"Hormat ketua Klan. Maafkan kami, kami belum bisa menemukan keberadaan nona Keempat!" lapor salah satu pengawal. Mereka berlutut dan memberikan hormat. Mendapat laporan begini, mata keriput tuanya mengecil. Menghunuskan tinju ke pilar, guna meluapkan emosi. Membuat, cekungan sebesar piring kecil di pilar. Tunas para pengawal, saling menatap dan menunduk malu.
"Hukum saja hamba ketua, Hamba tidak bisa menemukan nona Keempat!" sesalnya. Mengepal kedua tangan. Mendapati para pengawal menyalahkan diri. Kakek ini menenangkan dirinya. "Sudah! Jika aku menghukum kalian, siapa yang akan mencari nona Keempat? Cepat pergi! Jangan pulang sebelum menemukan Xiao erku!" pinta ketua klan. Meski sudah tua jangan salah, dia menjadi ketua klan, yakni Lu san tu.
Suasana semakin mencengkam, menunggu kabar dari nona keempat. Sang ibu tak henti-hentinya menangis dari tadi siang. Kedua kakak beradik masih berdiri di pojokan.
"Kakek, kakek tenang dulu. Kakek 'kan baru saja mencapai tahap ke 5, baru pulang dari pengasingan. Jadi tahan amarah Kakek," tahan An ran. Memegangi kakeknya.
Begitu gelisah, "Bagaimana bisa tenang, kamu sebagai nona Pertama kediaman Lu. Seharusnya, menjaga Adikmu! Tahu begini, Kakek cepat pulang!" balas Lu san tu. Mengomeli cucunya.
Selang beberapa jam, para pengawal kembali lagi, Lu san tu sedikit senang. Namun, melihat wajah para pengawal ….
"Tuan, ka--m-i menemukan ini di sisi sungai," lirih pengawal bayang-bayang milik Lu san tu. Badan tuanya memundur sebentar. Sececah, sebuah tangan mulai maju. Mengambil serpihan sayatan kain hijau. Xiao meng sang ibu mendengar ini, langsung berlari dan menangis. Dia tahu pemilik kain ini, badannya bergetar. Hingga tidak bisa menjaga kesadaran dan terjatuh ke lantai.
Menyaksikan menantu jatuh pingsan, dia mengernyitkan alis. "Pelayan! Cepat bawa nyonya Xiao ke kamar dan panggilkan tabib, segera!" perintah Lu san tu. Kembali melirik serpihan kain. Matanya langsung memerah, tidak bisa berkata apa-apa. Tangan keriput, mulai meraih sayatan kain hijau. Warna ini sering digunakan oleh Xiao li, apalagi dia sering menggunakannya. Bukan berarti suka, tetapi tidak bisa membeli kain lainnya. Karena tidak memiliki uang! Sebelum kepergian Lu san tu dia mengingat, sang cucu berdiri di pojok pintu menatap kepergiannya. Maka gaun hijau, masih terbayang-bayang di asal pikirnya.
Pengawal mulai membuka mulut, "Tuan, kami menemukan ini. Didekat-dekat lem-le--lembah Húdiè ja--jadi ...," ucapan terputus. Segera membungkuk melanjutkan kalimat, "Ampuni kami tuan. Kami tidak bisa masuk kedalam, karena jiwa spiritual kami kurang kuat!" tundukan kedua pengawal. Diikuti wajah muram. Bisa dipastikan, nona keempat keluarga Lu meninggal.
Menangkap penjelasan itu, Lu san tu mencengkram pengawal dan mencoba membangunkannya, memastikan lagi. Namun, pengawal ini hanya mendiam, menyaksikan orang di depannya, mengeluarkan pandangan kosong.
"Apah! Le-lem--bah Húdié? Bukankah lembah itu, lembah paling mematikan. Bahkan aku tidak pernah mendengar, makhluk hidup yang bisa keluar dari dasar lembah. Apalagi adik yang tidak memiliki jiwa spiritual! Ahh, adik ka--kamuu," tangis An ran pecah, bersimpuh di bawah. Menutupi bibir yang tersenyum.
Brusssh!
"Tuan!"
Suaranya begitu menggema, 2 pengawal mendapati tuannya menyemburkan darah. Emosinya pecah di saat, An ran memperjelas lembah Húdié. Tidak bisa berkata-kata lagi. Tidak ada harapan!
"Kakek!" teriak secara bersamaan nona ketiga dan tuan muda kedua.
"Cepat bawa Ayah pergi ke dalam!" jerit Ming bai baru datang. Dia semakin kesal, "kurang ajar! Gadis bodoh itu! Sudah mati masih saja menyusahkan orang lain!" geram Ming bai. Bukannya prihatin dengan keadaan sang anak, malah menyumpahinya.
---*
Kabar ini cepat menyebar, bukaan mata Lu san tu dari kondisi buruknya. Rumor mengenai nona keempat semakin menjadi-jadi. Malahan fajar belum menyingsing, rumor aneh cepat menyebar. Orang-orang sudah ada di sini.
---
"Aku yakin, Xiao li bunuh diri, dia sudah diputuskan oleh Putra Mahkota," gerutu Lu nian. Tampaknya, sang kakak menegur, "adik! Kamu harus menjaga kata-katamu! Lihat kakek baru sadar!" balas nona pertama.
Lu san tu tetap mendengar obrolan mereka, semua orang tertunduk. Namun, di bibir mengukir senyum. Padahal belum fajar menjelang, kematian nona keempat sudah menyebar, dikatakan mati bunuh diri. Akibat pernikahannya dibatalkan, bagaimanapun juga. Belum sepenuhnya dibatalkan oleh Putra Mahkota. Kemarin ditunda karena kesehatan nona keempat memburuk.
.
..
…
"Ssst, aw! Punggungku?" desisan seorang gadis. Memegangi sebuah pinggang yang melembab…*..*