"Benar, aku adalah putri keluarga Wilson. Tapi itu dulu. Sekarang saya hanyalah seorang gelandangan. Ironis," ucap Gaby lirih.
Josen mengamati gadis di depannya dengan cermat. 'Kalau di lihat - lihat dia menarik juga. Sayang kalau gadis menyedihkan ini tidak jelas nasibnya di luar sana. Tapi aku belum menemukan ide untuk menahannya di sini. Huh, sial.' Josen mencoba memikirkan cara.
Drrtt.. drttt..drrttt...
Ponsel Josen bergetar.
"Hallo!"
"Tidak Helena. Tidak perlu!"
"Baiklah."
"Iya, iya. Aku janji."
"Bye."
Josen meletakkan ponselnya lalu melirik ke arah Gaby lekat.
Gaby yang dipandangi terlalu lama, merasa risih. 'Tatapannya tidak baik untuk kesehatan jantungku,' gumam Gaby dalam hati.
"Gaby. Aku punya satu pekerjaan buatmu. Mungkin ini kedengarannya akan sedikit aneh. Tapi kamu bisa menolaknya jika kamu tak suka," ucap Josen.
"Apa pekerjaannya?" tanya Gaby penasaran.
"Apa kamu pernah mendengar jika aku punya kelainan?"
"Maksud kamu?"
"Mysophobia." suara Josen terdengar sedih.
"Ya. Lalu?"
"Aku sangat kesulitan menghadapi para gadis yang mengejarku. Mereka tidak sungkan - sungkan untuk menyentuh tubuhku. Aku bisa mandi berjam - jam untuk menghilangkan bau gadis - gadis itu dari tubuhku. Perutku terasa mual. Itu sangat menyiksa," cerita Josen.
"Apa kamu ingin aku bekerja untuk mengusir gadis - gadis yang mencoba mendekatimu?"
"Cerdas! Aku ingin kamu melakukan itu."
"Aku tidak yakin bisa melakukan itu. Lihatlah badanku yang mungil ini. Aku tidak ingin mati konyol karena disiksa oleh penggemarmu karena aku menghalanginya mendekatimu."
"Bukan mengusir dengan cara itu maksudku." Josen berpikir sejenak untuk merangkai kata yang tepat.
"Begini Gaby, apa kamu bisa menjadi pacar sewaanku?" Josen sangat hati-hati saat mengutarakan maksudnya.
"Apa? Aku memang butuh uang dan pekerjaan tapi bukan berarti aku mau menjual diri," jawab Gaby terdengar kesal.
"Apa maksudmu menjual diri?Aku tidak berminat untuk menyentuhmu. Aku hanya ingin status berpacaran saja. Mereka pasti akan berhenti mendekatiku, atau paling tidak intensitasnya berkurang."
Rupanya Gaby telah salah mengartikan maksud Josen. Dia kembali berpikir untuk menimbang keputusan apa yang akan dia ambil. Pasti akan sangat beresiko menjadi pacar seorang publik figur. Tapi di sisi lain dia sangat ingin berdekatan dengan idolanya itu, meskipun hanya sebagai pacar sewaannya.
"Jangan terlalu lama berpikir. Kamu tahu, gadis yang meneleponku tadi mengundangku ke pesta ulang tahunnya nanti malam. Aku berharap bisa membawamu ke sana nanti malam," jelas Josen.
"Ap.. apa? Nanti malam?" Gaby gelagapan. Semoga keputusannya kali ini tidak salah. Dia sangat membutuhkan tempat tinggal dan tak mempunyai uang sepeser pun untuk saat ini.
"Kau tidak akan memberikanku peraturan yang aneh - aneh dan surat kontrak yang mengikatku, bukan?" tanya Gaby memastikan sebelum dia menyetujui tawaran Josen.
"Hahaha." Josen tertawa.
"Kamu pikir kita sedang bermain drama? Kita memang akan bersandiwara di depan umum. Tapi aku tidak akan mengikatmu dengan kontrak. Aturanku simple saja, kau berakting menjadi kekasihku dengan baik. Itu saja."
"Baiklah. Aku setuju," jawab Gaby.
"Tapi bisakah kamu kasih aku DP. Aku ingin menyewa tempat untukku tinggal dan untuk makan," jujur Gaby.
"Kamu harus tinggal di sini. Tapi ingat, jangan menyetuh barang - barangku apalagi masuk kamarku tanpa seijinku. Untuk DP, nanti aku akan memberimu kartu debit. Kamu bisa pergunakan untuk membeli keperluanmu. Mengerti?!" jelas Josen.
"Saya mengerti Tuan."
"Biasakan kamu memanggilku dengan panggilan sayang? Jangan memanggilku tuan, orang akan curiga nantinya."
"I.. iya sa.. yang," ucap Gaby ragu - ragu.
"Bagus!" Josen tersenyum puas. Tidak tahu kenapa dia merasa sangat bahagia hari ini. Dia teringat sesuatu lalu beranjak menuju suatu tempat di belakang meja makan.
Gaby tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah tampan Josen. 'Sempurna. Andai dia benar - benar jadi pacarku yang sesungguhnya. Ahh, aku terlalu tinggi menghayal.'
Brakk.
Josen meletakkan sebuah kotak P3K yang baru saja di ambilnya.
"Obati kakimu! Kamu bisa sendiri kan?"
"Iya, aku bisa." Gaby meraih kotak obat itu dan mencari salep untuk luka. "Yang mana, ya?" Gaby terus mengaduk - aduk kotak kecil itu.
Josen merasa tidak sabar melihat Gaby yang tidak juga menemukan salepnya. Josen datang mendekat. Ini yang kedua kalinya dia berdekatan dengan Gaby setelah tadi malam. Anehnya dia tidak merasa mual seperti saat berdekatan dengan wanita lain.
"Ya, ampun, aku lupa!" Josen menepuk jidatnya.
'Oh, lucunya.' Gaby merasa gemas melihat wajah Josen yang sedang merutuki kealpaanya.
"Ayo ikut aku, bawa kotak obat itu!" Josen berjalan menuju ruang santai miliknya. Dia membuka sebuah laci di bagian bawah meja TV. Dia menggunakan salep itu beberapa hari yang lalu saat sikunya terluka.
Gaby berdiri mematung melihat gerak gerik Josen setelah susah payah berjalan mengikutinya. Dia tidak berani duduk di sofa, dia takut jika Josen tidak suka dia menduduki sofa miliknya. Gaby belum tahu separah apa mysophobia yang di alami Josen. Dia harus hati - hati.
"Kenapa kamu berdiri saja. Kemarilah!" panggil Josen yang sudah duduk di sofa.
"Kau bilang aku tidak boleh menyentuh barangmu, kan?"
"Itu terkecuali jika aku yang memintamu. Duduklah!" perintah Josen.
Gaby menuruti perintah Josen. Dengan ragu dia duduk di hadapan Josen. Rasanya canggung sekali berhadapan dengan artis idolanya. Dia masih merasa ini bagai mimpi setengah nyata.
"Kamu tak punya sendal, ya? Habis ini kita belanja. Kamu juga harus tampil perfect malam ini," ucap Josen sambil membuka salepnya.
"Kemarikan kakimu!" Josen menepuk sofa kosong di sampingnya.
"Di naikkan?" tanya Gaby ragu - ragu.
"Iya. Apa kamu menyuruhku jongkok untuk membantu mengobati lukamu?"
"Bukan begitu maksudku. Aku merasa tidak enak saja bila harus merepotkanmu."
"Jangan banyak bicara!" Josen menarik kaki Gaby ke atas lalu mengolesi jari - jari dan tumitnya yang lecet.
'Ya, ampun, manisnya. Aku bisa terkena serangan jantung mendadak kalau dia terus memperlakukanku seperti ini. Tuhan, aku ingin waktu berhenti sejenak. Aku tak ingin kehilangan momen indah ini.' Gaby bermonolog dalam hati. Dia sedikit meringis saat reaksi salep mulai bekerja.
"Perih?" tanya Josen.
Gaby mengangguk.
"Tenang. Itu tidak akan berlangsung lama. Luka - lukamu akan segera mengering setelahnya." Josen menaruh kembali salep dalam kotak P3K lalu menyimpannya.
"Terima kasih," ucap Gaby.
"Hmm." Josen kembali duduk di sebelah Gaby. Setelah mencuci tangannya di wastafel.
Suasana kembali hening. Hanya suara TV yang menggema di ruangan itu. Josen memang melihat TV tapi dia tidak mengerti apa yang dia tonton. Pikirannya entah melayang kemana.
"Sa sayang. Dimana keluargamu?" tanya Gaby. Sulit sekali dia mengucapkan kata sayang.
"Di Inggris."
"Jauh."
"Kenapa kamu tiba - tiba menanyakannya?" selidik Josen.
"Aku hanya takut jika mereka tiba - tiba datang dan melihatku disini," jawab Gaby lirih.
"Kamu tinggal katakan saja kalau kamu ini pacarku. Beres!" ucap Josen santai.
"Apa mereka tidak akan keberatan?" tanya Gaby lagi.
"Mereka tidak akan ikut campur urusanku. Oh, iya. Sebentar lagi aku akan pergi shooting dan pemotretan. Kamu beristirahatlah. Nanti jam 2 ada yang akan menjemputmu. Kamu ikut saja dengannya. Satu lagi, sementara pakailah sendal jepit itu." Josen menunjuk sepasang sendal yang ada di pojok ruangan.
"Baiklah."
"Ya sudah aku pergi."
Josen pergi meninggalkan Gaby di ruangan itu. Sebelum keluar tangannya menyambar jaket, topi, dan kunci mobil yang tergantung di tempat khusus. Langkah kakinya begitu ringan, dia merasa ada semangat tersendiri yang menyertai kepergiannya untuk bekerja hari ini.
Melihat Josen telah pergi, Ana berjalan mendekati Gaby.
"Nona, jika Anda butuh sesuatu jangan sungkan untuk memanggilku," ucap Ana menawarkan bantuan.
"Tentu Kak Ana, terima kasih," jawab Gaby sambil tersenyum ramah.
****
Bersambung...