"Hatchu... hatchu...." Gaby bersin - bersin. Dia mau mengambil kotak tisu yang ada di ruang makan.
Di saat yang bersamaan, Josen juga terbangun untuk mengambil minum.
"Kamu belum tidur?" tanya Josen tiba - tiba membuat Gaby kaget dan menjatuhkan kotak tisunya.
"Hatchu... aku sejak tadi bersin. Aku ingin... hatchu... mengambil tisu," ucap Gaby diselingi bersin yang tak tertahankan.
Josen menyalakan lampu ruang makan. Gaby mengambil tisunya yang terjatuh tadi. Gaby tak henti - hentinya bersin hingga hidungnya tampak memerah.
"Duduklah! Aku akan membuatkanmu teh herbal." Josen merebus air galon dan mengambil satu sachet teh herbal untuk diseduh.
"Terima kasih." Gaby menerima secangkir teh. Josen juga membuat teh yang sama untuknya.
"Jangan langsung di minum! Kamu hirup dulu aromanya. Itu bisa melegakan hidung tersumbat," ucap Josen sambil mempraktekkan apa yang dia katakan.
Gaby mengikuti apa yang dilakukan pria di depannya itu. Ternyata memang benar. Sensasi hangat dan semriwing begitu melegakan. Hidungnya tidak terasa gatal dan ingin bersin lagi.
"Wah, kamu benar. Teh ini berhasil membuatku lega." Gaby tersenyum senang. Dia mengulang beberapa kali aksinya.
"Minumlah selagi hangat. Kamu bisa memberinya gula jika kamu suka manis. Tapi menurutku itu akan merusak rasa." Josen menyeruput tehnya sedikit demi sedikit.
Seperti anak kecil yang sedang belajar meniru, Gaby melakukan apa yang dilakukan Josen. Dia mengikuti setiap gerakan yang dilakukan pria di depannya itu. Gerakan sekecil apapun dia tiru bahkan yang tidak ada hubungannya dengan cara minum teh.
"Bagaimana?" tanya Josen.
"Enak. Aku baru tahu ada teh herbal untuk flu. Dimana kamu membelinya?" tanya Gaby penasaran.
"Aku tidak membelinya. Mama selalu membawakannya untukku jika dia berkunjung kemari." Josen bercerita sambil menghirup aroma teh itu lagi.
"Pantas teh ini sangat istimewa. Khasiatnya juga langsung terasa." Gaby menyeruput tehnya hingga habis. Ini sudah tengah malam. Dia pasti akan sangat mengantuk besok pagi jika tidak segera tidur.
"Kamu terlihat sangat buru - buru? Apa kamu sudah mengantuk?" tanya Josen.
"Aku belum begitu mengantuk tapi harus tidur secepatnya. Aku malu pada kak Ana jika bangun kesiangan."
"Oh, aku pikir kamu ingin pergi kuliah," jawab Josen sebelum kembali menyeruput tehnya.
"Memangnya aku boleh?" Gaby bertanya meskipun tidak yakin jawabannya akan membuatnya senang.
"Hmm."
"Hmm. Artinya boleh?" Gaby memperdalam tatapannya pada Josen.
"Beneran boleh?" ulangnya lagi.
"Boleh."
"Yeee... aku bisa kuliah lagi..." Gaby berdiri dadi kursi dan melompat - lompat seperti anak kecil yang sedang girang karena dapet mainan baru.
Josen membuka dompetnya lalu mengeluarkan sebuah kartu ATM.
"Ini kamu simpan. Gaji kamu akan masuk ke sini setiap bulannya. Di dalamnya ada DP yang kamu minta. Berhematlah!" Josen menyodorkan kartu itu ke hadapan Gaby.
Gaby segera mengambil dan mencium kartu itu.
"Terima kasih, Josen." Gaby berlari mendekat dan tanpa sadar dia mencium pipi Josen karena saking senangnya.
Josen tertegun tak percaya. Dia memegang pipi yang di cium Gaby. Wajahnya memerah, dia nampak tersipu. Josen masih duduk berdiam di tempatnya, memandang kepergian Gaby yang sudah berlari ke kamarnya setelah menghadiahinya satu ciuman.
••••
"Turunkan aku di sini saja!" pinta Gaby pada Josen. Gaby pergi kuliah di antar olehnya.
"Kenapa?" Josen merasa heran. Bisa - bisanya Gaby menolak di antar sampai gerbang. Apa dia takut ketahuan oleh pacarnya?
"Kamu mau membuat heboh seisi kampus? Jika tahu aku di antar olehmu, para fansmu pasti akan menyerangku habis - habisan," jelas Gaby.
"Benar juga. Tapi kampus kan masih sepi. Aku tidak akan turun." Josen masih ngeyel.
"Terserahlah," ucap Gaby kesal.
Josen menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang kampus. Seperti yang dia katakan sebelumnya, dia tidak ikut turun.
"Tulis nomor kamu!" Josen menyodorkan ponselnya.
Gaby mengambilnya lalu mengetik nomer HPnya.
"Aku pergi dulu," pamit Gaby setelah menyerahkan ponsel Josen kembali.
"Hmm." Josen mengangguk. Dia kembali melajukan mobilnya menuju lokasi shooting dan pemotretan setelah Gaby turun.
Gaby melenggang santai menuju kampus. Dia mencoba bersikap biasa saja agar tidak ada yang curiga. Teman - temannya tidak boleh tahu kalau dia berangkat di antar idola mereka.
"Pagi Gaby!" sapa Viona teman sekelasnya.
"Pagi, Vio! Apa kabar?" Gaby menghampiri Viona yang sedang duduk di taman karena kuliah masih setengah jam lagi.
"Kamu tuh, yang apa kabar. Dah hampir seminggu tidak ada kabar. Kemana sih?" protes Viona.
"Aku lagi kena musibah. Ortuku meninggal dalam kecelakaan dan aku kehilangan semuanya. Sekarang aku bukan Nona Muda keluarga Wilson lagi." Gaby menghela napas dalam. Rasanya berat banget mengungkapkan apa yang dia rasakan saat ini.
"Kenapa kamu tidak menghubungiku? Lalu, sekarang kamu tinggal dimana?" tanya Viona.
Gaby bingung harus menjawab apa. Kalau dia jujur pasti akan sangat ribet nantinya. Viona pasti akan terus menerornya dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya.
"Aku... itu... emm... tinggal di rumah majikanku. Aku bekerja pada seseorang yang sangat baik," ucap Gaby sedikit gugup. Dia sangat sulit untuk berkata bohong.
"Wah, majikanmu baik sekali. Kamu juga diijinkan pergi kuliah?" nada bicara Viona sedikit curiga.
"Iya, Vio. Tapi aku harus kerja lembur setelahnya," bohong Gaby.
"Oh, gitu ya. Masuk akal juga." Viona mengangguk.
"Aku pasti sudah banyak ketinggalan materi." Gaby membuka grup chatnya yang menampilkan diskusi tentang mata kuliah yang dia lewatkan.
"Aku hampir lupa, kamu sudah tahu belum kalau desainmu masuk lima besar?" tanya Viona sambil membuka galeri ponselnya yang menyimpan screeshoot tentang event yang diikuti Gaby.
"Aku cuma baca sekilas aja dari grup kelas kita aja." Gaby menerima ponsel Viona. Matanya berbinar saat tahu dia ternyata berada di urutan nomer dua. Sebelumnya dia berpikir dia ada di urutan lima.
"Kamu benar - benar keren!" Viona mengacungkan jempolnya ke ara Gaby.
"Kamu terlalu memuji. Kebetulan aja karyaku masuk kali ini. Coba kalau di lombain di lingkup yang lebih luas. Pasti udah kelelep sama yang lebih keren," ucap Gaby pesimis.
"Woi, kamu tuh berbakat tauk! Pokoknya kamu harus pede. Jika ada kesempatan lagi, ikutin aja. Aku bakalan dukung kamu 100%." Viona menyemangati Gaby. Dia yakin Gaby pantas untuk jadi desainer terkenal.
"Terima kasih, Vio. Kamu masih mau berteman sama aku meskipun aku tidak sepadan lagi sama kamu." Gaby kembali menunduk sedih.
"Kamu ngomong apa sih. Kamu mau kaya, mau miskin, mau berubah jadi tua sekalipun, kamu tetep temen aku." Viona memeluk Gaby yang terlihat bersedih. Pasti sangat berat kehidupan Gaby sekarang. Dia tinggal sebatang kara dan tak memiliki apa - apa. Airmata Viona tak tertahankan lagi, dia terisak sambil memeluk Gaby.
"Sekali lagi terima kasih, Vio. Aku sangat senang kamu masih mau menerima keadaanku yang sekarang." Gaby pun ikut berderai airmata. Menumpahkan segala beban yang menghimpit hatinya.
"Sssttt... Jangan bicara lagi." Viona merenggangkan pelukannya lalu mengusap airmata Gaby.
****
Bersambung...