"Beneran! Udah nggak sakit lagi." Gaby menyentuh luka - lukanya yang mulai mengering. "Baru tahu ada salep semanjur ini." Gaby memakai sedal jepit yang dipinjamkan Josen untuknya. Kebesaran. Tapi tetep saja dia pakai daripada telanjang kaki.
Gaby kembali masuk ke kamarnya. Rapi. Rupanya kak Ana sudah membereskannya dan mengambil baju kotornya juga. "Aku pikir aku akan melakukan semuanya sendiri dan di perbudak disini. Nyatanya tidak seperti yang aku takutkan. Benar kata Josen, aku terlalu memirip - miripkan drama yang aku tonton dalam kehidupan nyata."
"Sebenernya hari masih pagi tapi kenapa ya aku dah ngantuk lagi. Mungkin efek berjalan terlalu lama semalam. Rebahan dulu lah."
Gaby merebahkan tubuhnya di kasur, namun tiba - tiba dia bangkit lagi seperti mengingat sesuatu.
"Oh iya, ponselku." Gaby menyabet tasnya dan memeriksa isinya. Dikeluarkannya benda kotak yang dia cari. "Hah, mati. Mana aku tidak bawa charger lagi. Coba aku tanya kak Ana, kali aja dia punya."
"Kak Ana! Kak Ana!" Gaby berkeliling mencari keberadaan Ana.
"Disini rupanya," ucap Gaby saat menemukan Ana sedang menjemur bajunya dan baju Josen.
"Eh, Non Gaby. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Ana.
"Emm, Kak Ana ada charger HP tidak?"
"Kayaknya tadi aku bawa. Bentar saya ambilkan." Ana meletakkan cuciannya ingin beranjak meninggalkan pekerjaannya.
"Kak Ana selesaikan ini dulu. Aku tidak buru - buru kok," ucap Gaby.
Ana akhirnya menyelesaikan pekerjaannya menjemur baju - baju yang sudah setengah kering itu. Setelah itu dia mengajak Gaby untuk mengambil charger di dalam tasnya yang tergantung di ruang istirahatnya. Sebuah ruangan berukuran kecil di belakang dapur.
"Terima kasih, Kak Ana. Ponselku mati kehabisan batere, dari kemaren belum aku cas."
"Iya, Non Gaby pakai aja. Oh iya, nanti siang mau makan apa, Non?" tanya Ana.
"Apa aja, Kak. Aku tidak punya selera khusus untuk hari ini."
"Aku bikin capcay sama bihun goreng aja ya, Non?"
"Iya, Kak. Apa aja aku mau kog," jawab Gaby sambil tersenyum manis.
"Ah, manisnya. Pantas Tuan Josen memperlakukan Nona dengan sangat istimewa," puji Ana.
"Kamu terlalu memujiku, Kak. Apa Josen sebelumnya tidak pernah dekat dengan wanita? Sepertinya dia baik - baik saja saat berdekatan denganku," cerita Gaby dengan mimik keheranan.
"Setahuku, ya, Non, Tuan Josen pernah mempunyai seorang tunangan. Tapi mereka sudah putus sekarang. Saya dengar dari obrolan maminya waktu ke sini. Tuan Jason bisa berdekatan dengan tunangannya itu seperti pada Nona tapi... " Ana menggantung ucapannya.
"Tapi kenapa, Kak?" Gaby merasa penasaran.
"Em.. itu.. anu.. aku jadi nggak enak ngomongnya. Ini terlalu privasi soalnya. Nanti Nona juga akan tahu sendiri. Aku permisi dulu ya, Non." Gaby buru - buru pergi menginggalkan Gaby dan melanjutkan pekerjaannya.
Gaby merasa sedikit bingung. Tapi ya sudahlah, mungkin Ana merasa tidak enak harus membicarakan aib majikannya. Dia melanjutkan tujuan utamanya untuk mengecas ponselnya.
Saking tidak sabarnya, Gaby menekan tombol on untuk menyalakan Hpnya yang baru saja terisi daya beberapa persen saja. Beberapa detik kemudian layar ponsel sudah menyala dan menampilkan banyak pesan masuk yang jumlahnya ratusan. Kebanyakan pesan dari grup. Sudah hampir seminggu dia tidak masuk kuliah.
"Oh, My God." Gaby tersenyum lebar saat membaca satu pesan yang dia tunggu - tunggu. Rancangannya masuk dalam nominasi penghargaan yang diselenggarakan kampusnya. Dia masuk dalam 5 besar. Tapi senyumnya tiba - tiba memudar. Dia tidak tahu apakah dia masih bisa melanjutkan kuliahnya atau tidak. Haruskah dia mengatakan masalah ini pada Josen. Dia butuh keberanian yang besar untuk itu.
Gaby melanjutkan memeriksa pesan - pesan yang masuk. Berharap ada satu pesan dari seseorang yang dia tunggu - tunggu. Nihil. Pesan itu tidak pernah ada. "William, kamu dimana? Mengapa kamu menghilang di saat aku sangat membutuhkanmu? Apa kamu tidak akan menyukaiku lagi jika aku bukan seorang putri kaya keluarga Wilson lagi."
Gaby meletakkan ponselnya di meja dan membiarkannya terisi penuh. Sesampainya di kasur, dia merebahkan tubuhnya yang terasa pegal. Terutama di bagian betis dan pinggulnya. Dinginnya AC kamar itu membuat mata Gaby semakin berat hingga tak butuh waktu lama dia pun terbuai dalam mimpi indahnya.
••••
"Adam, apa jadwal selanjutnya?" tanya Josen pada managernya.
"Sepertinya sudah tidak ada lagi. Pemotretan akan ditunda dulu karena lokasi sedang berantakan karena hujan pagi ini," jawab manager Adam.
"Baiklah. Kalau begitu kamu tak perlu menyuruh Gio untuk menjemput teman wanitaku di apartemen. Aku akan pulang." Josen meraih jaket dan topinya.
"Kamu tidak makan siang dulu? Ini sudah hampir jam 12," ucap Adam mengingatkan.
"Tidak aku makan di rumah saja," jawab Josen singkat.
"Siapa wanita itu? Sepertinya kamu sangat memperhatikannya." Adam menatap Josen heran.
"Pacarku. Namanya Gaby."
"Wuih, aku ketinggalan berita besar kali ini. Kapan kamu akan mengenalkannya padaku?"
"Secepatnya. Kita bertemu nanti malam di rumah Helen. Aku akan mengajaknya ke sana."
"Gila! Aku nggak bisa bayangin gimana Helena nanti. Dia pasti akan sangat shok melihatmu datang bawa gandengan."
Josen hanya tersenyum menanggapi ucapan Adam.
"Aku cabut!" Josen segera berlalu dari hadapan Adam, rasanya dia ingin cepat - cepat sampai di apartemen.
Sepeninggalan Josen, Adam mengambil ponselnya lalu menelepon seseorang. Dia memberitahukan kabar tentang Josen dan pacar barunya. Adam tersenyum puas mengetahui seseorang di seberang sepertinya sangat senang mendengar kabar darinya. Dia kembali menyimpan ponselnya dan bersiap untuk pulang.
••••
Josen menekan beberapa digit angka untuk membuka pintu apartemennya. Begitu terbuka dia langsung masuk dan menuju kamarnya. Kebiasaan yang selalu dia lakukan setiap hari setelah datang dari luar. Mandi sampai bersih. Bahkan saking takutnya kotor kadang dia sampai dua kali menyabun tubuhnya.
Ana sibuk menyiapkan makan siang di dapur. Dia tidak menyadari kalau Josen sudah pulang sedari tadi. Melihat jam sudah melewati angka 12, Ana bergegas untuk memanggil Gaby. Semoga dia tidak terganggu jika aku membangunkannya sekarang.
"Non! Nona Gaby! Makan siang sudah siap," panggil Ana.
"Iya, Kak. Sebentar aku cuci muka dulu." Gaby duduk mengumpulkan energinya yang tercerai berai saat tertidur. Dia berjalan malas menuju wastafel. Wajahnya terlihat segar setelah mencuci muka.
Gaby nembuka pintu kamarnya perlahan dan....
Bukk!
Dia dikejutkan dengan sebuah pukulan yang mengenai keningnya.
"Aww..!" erang Gaby mengusap keningnya yang terkena pukulan.
"Maaf, Sayang. Tadi aku mau mengetuk pintu. Aku tidak tahu kalau kamu akan keluar," ucap Josen.
"Em, iya tidak apa-apa. Kamu udah pulang?" Gaby membetulkan rambutnya yang sudah rapi. Itu kebiasaan yang dia lakukan jika dia sedang merasa gugup.
"Sudah. Ada satu jadwal yang dicancel hari ini. Kamu sudah siap?" tanya Josen.
"Em, itu aku mau makan siang dulu. Tadi kak Ana sudah memasak untukku," jawab Gaby sambil menunduk. Dia tidak sanggup menatap Josen yang berdiri begitu dekat dengannya.
'Jantungku!' gumam Gaby sambil memegangi dadanya.
"Ya, udah, ayo!" Josen melangkah lebih dulu ke ruang makan.
Huft, akhirnya. Aku harus belajar keras untuk mengontrol detak jantungku. Aku tidak bisa terus - terusan gugup. Jika tidak, ini tak akan baik untuk kelangsungan hidupku.
*****
Bersambung...