Bugh!
"Auw!" pekiknya.
Riana terjatuh karena ketika terburu-buru, ia tak sengaja menabrak sesosok tubuh gempal yang berhenti mendadak di depannya.
Mata biru itu langsung menatap Riana dengan tajam. Terjejak jelas kekesalan sebab punggungnya ditabrak dari belakang.
Akan tetapi sedetik kemudian, ketika wajah perempuan yang menabraknya itu mendongak, ekspresinya berubah menjadi keterkejutan.
"Riana," panggilnya refleks.
Riana segera berdiri dari jatuhnya. Tentu saja, meskipun netranya terbingkai dengan kacamata, perempuan itu tahu jelas bahwa pria yang baru saja ditabraknya itu adalah Adam Son-mantan suaminya.
"Maaf, anda salah orang," kata Riana mengabaikan.
Pun saat itu ia berusaha keras menahan keterkejutan yang sama menderanya. Ia berusaha mengendalikan diri dan memasang wajah tak acuhnya.
Sementara itu, tangannya bergerak cepat memunguti barangnya yang terjatuh tadi.
Entah mimpi apa dia semalam, sehingga hari ini tak sengaja bertemu dengan mantan suaminya. Orang yang dalam mimpi saja, enggan ia temui.
"Maaf , lain kali saya akan lebih berhati-hati," sambung Riana lagi.
Usai mengatakan itu, Riana pun berlalu dengan langkah cepat. Tak sabar untuk segera menghindar dari Adam.
"Riana!" panggil Adam lagi dengan suara tegasnya.
Riana tak peduli dan hanya menghela napas sembari terus melangkah.
"Riana, aku tahu itu kau," kata Adam lagi. Pun jejak kakinya yang tak kalah refleks mengejar ke arah sang mantan istri berlalu.
Ya! Dia yakin bahwa perempuan kurus dengan kacamata bulat itu adalah mantan istrinya.
Dan entah kenapa, tiba-tiba perasaannya bergolak tak karuan.
"Riana, tunggu! Aku tahu itu kau. Kau berhutang penjelasan padaku, berhentilah!" tegas Adam sekali lagi.
Kali ini, ia telah berhasil sampai di sisi Riana dan mencekal pergelangan tangan perempuan itu untuk menahannya.
Tentu saja, berkat langkah lebar kaki panjangnya dia bisa sampai pada Riana.
"Lepas," pekik Riana seraya mengibaskan tangannya. "Sudah kukatakan, Anda salah orang," sambungnya kembali.
Sayangnya, hal itu tak dipedulikan oleh Adam. Toh gerakan Riana untuk memberontak tak berimbas apapun pada tubuh Adam yang berdiri tegap nan kokoh tanpa goyah sedikit pun.
"Ria—"
"Diam!" Satu hentakan tangan dengan keras kepalanya, Riana berhasil membuat Adam diam dan melepaskan cekalannya pada pergelangan Riana.
"Kita tidak saling mengenal." Usai mengatakan hal itu dengan penuh nada menekan, Riana kembali menjauh.
Kali ini, di balik wajah tirusnya yang tampak menderita, Riana menjatuhkan air matanya.
Sakit itu terasa lagi. Seolah-olah baru saja ada jarum besar yang sengaja dipanggang di atas bara api, lalu ditorehkan ke dalam hatinya.
Perceraian yang ia tangisi lima tahun yang lalu, kembali berputar dalam benaknya. Dan itu membuat luka hatinya kembali terbuka.
Pernikahan mereka memang bukan atas dasar cinta satu sama lain. Tetapi mereka telah terikat dalam perjanjian sebelumnya.
Riana tak menyangka, bahwa perjanjian tertulis itu dapat diingkari oleh Adam Son, yang padahal … saat itu Riana yakin bahwa cinta sudah mulai tumbuh di hati masing-masing.
Riana terus melangkah cepat dengan deraian air matanya. Rasanya ingin sekali ia segera menghilang dari tatapan Adam.
"Riana!" Adam masih terus mengejar mantan istrinya itu.
Sekali lagi dengan cepatnya ia dapat menangkap Riana di tengah keramaian pusat perbelanjaan itu.
"Riana, kau berhutang penjelasan padaku," geram Adam dengan kuat-kuat mencengkeram lengan Riana.
Riana tak bisa lagi membohongi perasaannya. Jantungnya berdebar hebat dipenuhi rasa sakit tak terperi. Begitu pun kemarahan mulai mewarnai matanya.
Ia menoleh pada Adam kemudian. Wajahnya yang mulai pias ia dongakan tinggi-tinggi untuk menatap mantan suaminya itu.
"penjelasan apa, Tuan?" katanya dengan penuh nada sindiran.
"Kau tidak pernah menjelaskan padaku, apakah kau dan dokter Shen ... lima tahun yang lalu ...-"
Riana tersenyum miring dalam kepedihan, hingga membuat Adam tak kuasa melanjutkan ucapannya yang terbata.
Ya, sedikit banyak, Adam merasa dialah yang sepenuhnya bersalah atas perceraian mereka lima tahun yang lalu.
"Kau meminta aku untuk menjelaskannya sekarang?" Dengan suara lirihnya, Riana masih berusaha mengendalikan dirinya.
"Ke mana kau lima tahun yang lalu?" sambung Riana lagi.
Tentu saja, kalimat itu terasa bagaikan tampara setengah mati bagi Adam.
Pasalnya, lima tahun lalu, di mana terjadi insiden yang membuat mereka terpaksa bercerai, Riana bukan tak mau menjelaskan. Tetapi Adamlah yang tak pernah memberi kesempatan bagi Riana untuk bicara.
Rasa sakit itu kembali mendera hati Riana.
Rekaman masa lalu itu terputar lagi di memory-nya. Di mana dia yang sedang memeriksakan kehamilan pertamanya pada seorang dokter, dan hendak memberi kejutan atas kehamilannya pada Adam, malahan dituduh sedang bermain belakang.
Riana sudah berusaha menjelaskan, akan tetapi dia kalah telak ketika Adam lebih mempercayai ibunya yang tak melihat jelas bagaimana kejadiannya.
Riana pun digugat cerai. Di persidangan, ia hanya bisa menitikan air mata tanpa berkata-kata. Sementara itu, tangan mungilnya yang saat itu masih berisi dan sehat hanya mengusap pada perut kecilnya.
"Ri-Riana ... aku--"
"Lupakan." Riana menghela napas ringan. Bagaimanapun, dia harus mengendalikan diri dan ekspresinya.
"Kelak, saat kita bertemu lagi jangan melihatku. Anggap saja kita tidak pernah mengenal. Aku pun akan berpura-pura tak melihatmu," sahut Riana yang langsung melepaskan diri.
Perempuan itu menyeka air matanya, baru setelahnya, ia kembali melangkah cepat pergi dari tempat itu.
Adam masih berdiri menatap kepergian Riana yang melewati pintu lobi pusat perbelanjaan itu.
Sekali lagi, dia hanya bisa menghujam hatinya dengan perasaan bersalah.
"Andaikan waktu itu terulang. Riana, aku tidak akan pernah menyakitimu," gumamnya dengan tangan mengepal kuat.
"Andaikan waktu terulang, aku tidak akan membiarkannya mengenalmu."
Tiba-tiba, suara lelaki lain menyahuti dari belakang Adam.
Adam membalikan tubuhnya ke belakang. Dan seketika keterkejutan kembali merayapi tulang pipinya yang tinggi.
Dia dokter Shen. Pria yang dahulu dituduhnya menyelingkuhi Riana. Yah, sekaligus adalah teman dekatnya sendiri.
"Kenapa? Kau terkejut karena aku di sini?" Pria itu berkata lagi.
Lebih dari itu. Adam juga terkejut sebab melihat, di kedua tangan dokter Shen digayuti dua bocah kembar - anak lelaki dan perempuan.
Hanya dengan melihat saja, Adam sudah dapat menebak, bahwa anak lelaki itu pasti miliknya. Sebab wajah sekaligus mata dan ekspresinya, jelas telah bocah itu warisi darinya.
Tetapi ... benarkah? Riana saat itu sedang hamil anaknya?
"Shen," lirih Adam tercengang.
"Tidak perlu seterkejut itu. Semua memang seperti yang kau pikirkan," sambung dokter Shen kemudian.
Dokter itu sebenarnya sudah sejak lama geram sekali ingin memberitahukan pada Adam tentang kedua anaknya. Tetapi Riana melarang. Karena bagaimanapun, kedua bocah itu adalah miliknya seorang.
Dia yang telah bersusah payah mengandung hingga melahirkan tanpa menyentuh sepeser pun kompensasi perceraian yang diberikan Adam padanya.
"Paman, Ayo. Ibu pasti sudah menunggu."
Si gadis cilik di gandengan tangan kanan dokter Shen, mengayun-ayunkan lengan berotot itu sambil merengek.
Dan entah kenapa, suara itu benar-benar semakin membuat Adam merasa bersalah.
"Anak-anakku ...." Tanpa sadar, Adam menyebutnya dengan kedua mata biru yang berkaca-kaca.
Bersambung ....