"Siapa yang kau maksud anak-anakmu, Paman?"
Gadis cilik yang menggayuti dokter Sen itu mendongak. Memamerkan bening matanya yang penuh kecemasan.
"Mungkin kita," sahut sang kakak. Yaitu, bocah lelaki yang menggayut di tangan Shen yang lain.
Dia sengaja melontarkan kalimatnya dengan mengambang. Sebab setengah tak yakin bahwa dirinya dan adik kembarannya-lah yang dimaksud Adam - orang yang baru pertama kali mereka temui hari ini.
"Ansel, Celsea … ayo. Ibu pasti sudah menunggu. Kalian ke depanlah terlebih dahulu, Paman dokter hendak berbicara sebentar dengan Paman ini," tutur dokter Shen dengan lembut pada dua bocah itu.
Layaknya kerbau yang dicucuk hidungnya, dua bocah itu mengangguk patuh. Sebelum kemudian, mereka berlalu seperti yang dipinta paman dokternya.
"Kenapa kau meminta mereka pergi? Kau tidak ingin mereka tahu bahwa akulah ayah mereka?" serang Adam ketika dua bocah itu telah jauh darinya dan Shen.
Mendengar ucapan kekesalan mantan temannya itu, dokter Shen mendengkus ironis.
"Apa kau yakin mereka itu anak-anakmu? Bukankah lima tahun lalu kau dan ibumu mengatakan bahwa mereka adalah milikku?"
Mati kutu. Adam terdiam dan tak bisa membantah. Pasalnya, apa yang dikatakan dokter Shen barusan, adalah benar adanya.
Dia dan ibunyalah yang lima tahun lalu tak mempercayai Riana. Mengira Riana bermain belakang dengan dokter Shen dan sampai mengandung bayi dari dokter Shen.
Apapun yang dikatakan Riana, dia tak percaya karena terlanjur kecewa. Terbakar amarah dan cemburu hingga membabi buta hendak melenyapkan dokter Shen.
Dan sekarang? Pantaskan dia mengaku-ngaku sebagai ayah dari dua anak manis itu?
"Apa sekarang kau baru menyadari, apa kesalahanmu?" Dokter Shen memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana dengan sikap pongah yang disengajanya.
"Sayang, Riana tak mau mereka tahu bahwa kaulah ayahnya. Dan kuperingati, jangan berharap untuk diakui," usai mengatakan hal itu, sang dokter menepuk bahu Adam lalu pergi.
Termenunglah Adam seorang diri. Di keramaian itu, suasana hati Adam mendadak gelisah. Penyesalan kian menyiksanya tanpa ampun.
Tak seharusnya dahulu dirinya dengan impulsif mempercayai sang ibu.
"Aku harus beri tahu mereka bahwa aku adalah ayahnya. Mereka milikku, bukan Shen," sumpah Adam dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Pun tekat itu membawanya membalikan badan untuk mengejar anak-anaknya itu.
**
"Ibu, kenapa tidak menjemput kami tadi?" Celsea langsung merangkul ibunya yang bersandar di mobil.
Riana tersenyum. Berusaha keras menyembunyikan suasana buruk hatinya agar tak tercermin pada bola matanya. Atau kalau tidak, kedua malaikat kecil itu akan mencemaskannya.
"Ibu sedikit tak enak badan, Sayang. Tadi toiletnya sangat bau, jadi ibu segera keluar," kata Riana memberi alibi.
Sayangnya semua sandiwaranya itu tak mempan bagi Ansel. Si sulung itu menatap datar pada ibunya. Berbeda dengan Celsea yang manja, Ansel tampak jauh lebih dewasa. Padahal, perbedaan mereka dilahirkan hanyalah lima menit.
"Paman Shen membelikan kalian apa?" tanya Riana cepat mengalihkan topik.
Pertanyaan itu berhasil mencairkan suasana. Membuat Celsea berceloteh menceritakan permainan apa saja yang ia mainkan dengan sang kakak tadi.
Pun Ansel yang memilih untuk tak memojokan ibunya.
Tawa renyah melingkupi mereka hingga membuat dokter Shen tersenyum turut berbahagia.
Sebelum akhirnya, keheningan kembali menyusul ketika sosok Adam tiba mendekat pada mereka.
Lelaki itu menatap Riana. Baru kemudian beralih kepada kedua anaknya.
Tampak jelas di matanya bahwa Riana tak nyaman. Tetapi tak peduli, Adam semakin mendekat pada mereka.
"Ibu …." Celsea melirihkan suaranya seraya menatap penuh tanya pada Riana.
"Apa urusan Paman dokter dengannya belum selesai?" Ansel pun turut bertanya.
"Riana—"
Suara itu tercekat, ketika Riana memilih abai dan tersenyum pada dokter Shen.
"Ayo. Bukankah kau masih ada janji temu dengan klienmu?" kata Riana mengacuhkan Adam.
Tak menunggu Riana sampai merasa rrisih, dokter Shen pun segera bertindak.
"Lain kali kita lanjutkan perbincangan yang tadi, sekarang aku ada urusan lain." Dokter Shen menepuk pundak Adam sekali lagi sebelum pergi.
Sekali lagi, Adam ditinggal dan diabaikan.
Ya, dia tahu semua salahnya. Pantas jika sekarang dirinya tak dihargai. Sebab saat itu dialah yang tak menghargai Shen dan Riana. Bahkan tak peduli bahwa Riana sedang hamil anaknya.
Adam kembali mengepalkan tangannya dengan kuat. Sebelum akhirnya, ia melakukan panggilan telepon untuk seseorang.
"Cari tahu tentang mereka sekarang. Aku mau informasinya secepat mugkin," tegasnya kemudian.
**
Hanya ada Riana dan kedua anaknya di rumah itu. Rumah kecil yang hanya cukup untuk ditinggali mereka bertiga, bahkan tanpa adanya asiaten rumah tangga.
Riana tidak menempati rumah yang Adam berikan lima tahun lalu sebagai kompensasi.
Adam Son menghela napas. Ruapanya, bukan hanya itu, seluruh kompensasi perceraian yang ia berikan pada Riana lima tahun lalu, masih utuh tanpa sedikit pun tersentuh.
Pun semua dokumen-dokumen si kembar yang entah anak buahnya dapatkan dari mana ketika dia meminta tadi. Semua membuktikan bahwa mereka berdua benar adalag anak miliknya.
Kalau begitu pantaslah Riana tak sudi menyentuh sedikit pun harta yang ia berikan.
Pasti, sebagai seorang perempuan, Riana merasa sangat direndahkan.
Rupanya, itulah sebab kenapa penampilan Riana jauh berbeda dari luma tahun lalu. Gaya hidupnya pun berbeda.
Ya, dibandingkan dengan dirinya yang dulu - lima tahun yang lalu, Riana saat ini bukanlah apa-apa.
Tubuhnya yang kurus kering dengan kaca mata membingkai besar untuk menutupi lingkar hitam matanya, membuat Riana seperti tak pernah mengurus diri.
Atau ... memang Riana tak bisa mengurus dirinya setelah bercerai dari Adam?
Adam memejamkan mata seraya menghela napas kasar. Rasanya ingin sekali dia masuk ke sana dan bersimpuh memohon maaf pada Riana dan kedua anaknya.
Akan tetapi ... apakah ada kemungkinan Riana akan memaafkannya?
Adam membanting kepalanya pada sandaran jok yang ia duduki.
Perasaan bersalah kembali menghantam hatinya. Meninggalkan luka perih yang sepertinya sulit untuk terobati.
"Maaf karena aku tak mempercayaimu saat itu," gumamnya dalam hati.
"Di mana Ansel dan Celsea disekolahkan?"
Setelah menegakan punggung kembali dan meletakan dokumen itu ke sampingnya, Adam menatap pada spion mobil yang ditumpanginya itu. Memastikan bahwa saat dia bertanya, sang sopir yang sekaligus adalah asisten pribadinya dapat mendengar dengan jelas.
"Mereka dititipkan di Taman Kanak-kanak di pinggiran kota, Tuan. Sore hari nona Riana baru mwnjemput mereka karena nona Riana harus bekerja. Terkadang, dokter Shen-lah yang menjemput mereka dan membawa mereka pulang ke rumahnya," jelas sang sopir dengan tanpa ragu.
Mendengarnya, Adam tampak setengah kesal. Berani-beraninya Shen memperlakukan mereka seperti anak-anaknya? Memangnya siapa dia? Batin Adam mengumpat marah.
"Mulai besok, aku yang akan mnjemput mereka. Dengan ataupun tanpa izin Riana, aku akan menjemput mereka," kata Adam penuh tekat.
"Baik, Tuan. Akan saya aturkan untuk Anda," jawan sang asisten dengan lugas.
"Tetapi, Tuan. Ada satu hal lagi yang harus Anda tahu. Informasi ini tidak dapat kami suguhkan dalam bentuk dokumen. Hanya bisa saya sampaikan pada Anda. Dan ini jauh lebih penting dari apapun."
Bersambung ....