"Celsea, ayo!" Ansel menarik tangan adiknya yang masih erat memegangi tangan sang ayah.
"Celsea, ayo kita ikut ibu pulang," kata Ansel lagi, sembari menahan genangan air mata.
"Kakak …." Celsea meringih, mata bening dengan bongkahan kristal itu menatap sedih pada kepergian ibunya.
Ya, Riana tanpa perasaan telah melangkahkan kakinya menjauh dari kedua anaknya itu. Entah hanya untuk menggertak atau sungguhan, Riana tak menoleh kedua kali dalam langkah marahnya.
"Celsea, kita tidak butuh ayah. Kita hanya butuh ibu. Apa kau lupa, dia bukan bagian dari hidup kita selama lima tahun ini. Tepatnya, sejak kita dilahirkan. Ibu kita, adalah ibu. Ayah kita juga adalah ibu. Bukankah selama ini hidup kita baik-baik saja tanpanya?" ujar Ansel lagi dengan merujuk pada Adam, yang sontak membuat Adam melebarkan mata. Merasa tertampar setengah mati.
Bahkan anaknya sendiri, menyesali dirinya. Apakah Riana telah berbicara buruk tentangnya pada kedua bocah ini?
"Ansel …."
"Maaf, Paman. Kami harus pergi," sela Ansel berusaha mendinginkan sikap. Sementara itu, sebelah tangannya telah menarik tangan Celsea untuk membawa sang adik pergi.
Mereka kemudian berlari. Dan Adam hanya bisa menatap perih dari kejauhan. Kedua anaknya itu, benar-benar menyayangi ibunya. Hingga langkah lari mereka begitu cepat tak mau sampai kehilangan kesempatan hidup dengan ibunya.
"Ibu …." Mereka telah sampai di belakang tubuh Riana.
Riana berhenti. Membeku di tempatnya, ketika langkah itu mulai bergetar penuh sesal.
Dia telah menyakiti kedua anaknya hanya demi keegoisan dirinya. Hanya demi melampiaskan amarahnya pada Adam. Apakah ini adil?
"Ibu, maafkan aku," ucap Ansel langsung memeluk ibunya.
Pun Celsea yang langsung turut memeluk kaki ibunya dari belakang.
"Ibu, kami ingin ibu. Kami tidak ingin yang lain. Hanya ingin ibu."
Riana memejamkan mata. Sejenak ia terdiam demi menyeka air matanya. Usai itu, Riana kembali membalikan badan dan merendahkan diri untuk mensejajari kedua anaknya.
"Ayo pulang," katanya lirih dengan suara serak.
**
"Shen, kali ini saja. Aku akan melakukan apapun untukmu. Sekali ini saja, aku ingin bicara dengan Riana. Kami harus bicara, Shen," paksa Adam pada dokter Shen.
Saat ini, dirinya tengah berada di ruang kerja sang dokter. Sengaja datang untuk meminta bantuan pada dokter Shen agar dirinya dapat bertatap muka dengan Riana dalam waktu yang sedikit lebih lama.
Adam melakukannya bukan tanpa alasan. Sebabnya, Riana sering kali menghindarinya ketika mereka bertemu. Juga, tak mau memberinya kesempatan untuk bicara.
Ya, Adam tahu. Adam sadar, mungkin itu cara Riana melampiaskan dendamnya untuk lima tahun yang lalu. Tetapi, salahkah jika saat ini Adam ingin berhubungan lebih baik? Adam telah menemukan letak kesalahannya. Bisakah Adam kembali dan memperbaiki kesalahannya?
"Bukan aku tidak mau membantumu. Tetapi Riana bukan aku, Tuan Adam Son," tekan dokter Shen.
Adam diam sejenak. Memikirkan apa maksud Dokter Shen barusan.
"Apa maksudmu?" tanya Adam.
"Jika itu aku, mungkin akan kugunakan kesempatan ini untuk kembali bersatu denganmu. Demi anak-anakku dan demi perasaanku juga. Aku tidak seegois itu untuk terus marah dan membencimu. Tetapi kau tahu Riana. Jelas kaulah yang paling tahu. Dia keras kepala, di bebal, dan dia tidak mudah memaafkan," jelas dokter Shen dengan suara setengah jengkel.
Yang dikatakannya memang benar adanya. Riana sangat keras kepala. Bisa dikatakan, dia juga pendendam. Berbeda dengan dokter Shen yang mudah memaafkan.
Semua terbukti untuk saat ini. Dokter Shen sudah bisa duduk bersama dengan Adam dan berbicara baik-baik dengan lelaki itu, walau kadang ucapannya tak disaring.
Dokter Shen menerima permintaan maaf Adam Son beberapa hari lalu ketika Adam menyerbu masuk ke ruang kerjanya. Karena itulah, kali ini pun Adam bisa seenak pusarnya masuk ke kantor Shen.
Adam menundukan wajah. Kemudian kembali ia membanting diri dan duduk kasar ke atas sofa besar di dalam ruangan sang dokter.
Diingatnya kembali kejadian lima rahun lampau.
Dialah yang bersalah. Sepenuhnya bersalah.
"Shen—" Adam menatap dokter Shen penuh permohonan.
"Jangan memaksaku lagi. Kukatakan tidak bisa, maka aku tidak bisa," tegas dokter Shen tak memberi kesempatan bagi Adam untuk bicara.
"Kalau Riana harus dendam, kurasa cukup padamu saja. Aku tidak mau menjadi salah satu ataupun target selanjutnya sasaran balas dendamnya," sambung Shen kemudian sembari kembali duduk di balik meja kerjanya.
Dokter itu kembali membuka map-map yang bertumpuk tinggi di hadapannya. Yang menunggu disentuh dan dijamah oleh goresan pena dari tangannya.
Sementara itu, Adam tampak frustasi memikirkannya. Dia hanya bisa mengusap rambutnya dengan jemari untuk menghilangkan pening kepalanya.
"Kalau Tuan Adam Son tak ada urusan lagi boleh keluar sekarang. Saya masih harus mengerjakan banyak tugas," kata dokter Shen terang-terangan mengusir.
"Aku butuh bantuanmu, Shen. Tidak sudikah kau membiarkanku tetap di sini?" Adam semakin putus asa.
Semenjak kepergian ibunya, tak ada lagi tempatnya mengeluh begini.
Semua orang hanya menganggapnya sebagai atasan yang ditakuti. Jangankan untuk mendengarkan curhatannya, untuk menatap wajahnya pun, tak ada yang mau berlarut.
Sebab mereka memiliki ketakutan luar biasa pada sosoknya yang dingin dan datar itu. Mereka bahkan menganggapnya sebagai monster.
Di dunia ini, hanya Riana dan dokter Shen-lah yang menganggapnya sebagai manusia biasa.
"Kalau Tuan Adam Son tak keberatan menunggu sampai aku selesai mengerjakan tugasku, maka silakan menunggu di sana," kata dokter Shen sengaja seformal mungkin.
Ya, itu hanya sindiran. Tetapi Adam pun tak keberatan.
**
Pagi masih seperti biasa. Masih ada matahari yang menyinati jendel besar di kamar Adam dan masuk melalui celah-celah dari tirai putih itu, lalu memantulkan spektrum yang indah.
Adam mengernyitkan dahinya sebelum akhirnya, mulai berusaha membuka matanya.
Kamar itu masih sama. Masih tertata rapi seperti dahulu ketika ditempatinya bersama dengan Riana.
Interiorn serta tata letaknya pun tak sedikit pun berubah.
Riana yang dulu menatanya. Yang menyukai meja rias itu berada di sudut dan memindahkan meja belajar itu di dekat jendela, Riana-lah orangnya.
Dan pada sampai saat ini, Adam tak mengizinkan siapapun memindahkan seinci pun barang yang ditata Riana.
Sayang, semua itu tinggal bayangan sekarang.
Lima tahun lalu dia telah menuduh Riana berselingkuh. Menyakiti Riana dan menyia-nyiakannya. Melepaskan wanita sebaik itu dan membiarkannya berjuang seorang diri untuk kedua anaknya.
Adam meringis ironis. Dia mengutuki kebodohannya sebab secara impulsif mengambil keputusan menceraikan Riana. Bahkan mendengarkan penjelasan dokter Shen pun ia tak mau. Malahan memukuli sahabatnya itu sampai berakhir kritis di bangsal rumah sakitnya sendiri.
Beruntung Shen adalah devinisi sahabat yang sesungguhnya. Sehingga mau memaafkannya semudah itu. Walaupun terkadang masih menatap penuh permusuhan.
Mengganggu ingatan dan lamunanya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dengan sangat kuat dan panik.
"Tuan, dokter Shen menelpon. Beliau bilang sangat penting dan harus cepat, Tuan."
Asiaten rumah tangganya melapor dengan suara cemas bukan main.
Bersambung ....