"Katakan!"
Saking tak sabarnya dengan apa yang hendak sopirnya sampaikan, Adam pun tampak menggertak. Hingga sopir itu pun segera melontarkan maksudnya.
"Nona Riana dan dokter Shen tidak pernah ada hubungan apapun, Tuan. Mereka tidak—"
"Apa menurutmu aku tidak tahu, sehingga kau perlu memperjelasnya?" sela Adam bernada marah yang seketika membuat sang sopir diam dan hanya mengernyit ironis.
"Lakukan saja tugasmu yang kuperintahkan. Yang tidak, kau tidak perlu ikut campur," seloroh Adam lagi memeringati.
Tentu saja, kalimat itu membuat sang asisten merinding. Meskipun tak dibalut dengan ancaman, nadanya saja cukup mengerikan baginya.
**
Seperti yang dikatakan asistennya bahwa akan diaturkan waktu agar Adam bisa menjemput Celsea dan Ansel, Adam pun mendatangi Taman Kanak-kanak itu seusai bekerja.
Dia telah memarkirkan mobilnya di halaman gedung dengan nuansa pelangi itu.
Ketika turun dari mobil, Adam membuka kacamata hitamnya dan mulai melangkah sembari menolah-noleh mencari Ansel dan Celsea.
Semua anak dan orang tua yang menjemput di sana tampak menatap Adam dengan penuh pertanyaan.
Tentunya, karena ini adalah kali pertamanya mereka melihat Adam Son.
Perasaan miris melingkupi hati Adam kala itu. Bagaimana tidak? Anak-anaknya tumbuh di lingkungan yang begitu buruk. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang bergelimang harta. Yang andaikata diwariskan sampai tujuh turunannya pun tak akan ada habisnya.
"Ayo kita pulang. Ibu sudah memasak makanan kesukaan kalian."
Suara itu tiba-tiba membuat Adam berhenti. Terdengar jelas di telinganya, bahwa suara itu adalah suara yang sangat ia kenal.
Itu Riana.
Adam pun segera berbalik badan. Dan tepat sekitar dua meter di hadapannya, Riana sedang menggandeng Celsea dan Ansel di kanan kiri tangannya.
"Riana," panggil Adam, kemudian mendekat pada mereka.
Sontak, kedua bocah yang digandeng ibunya itu berhenti dan membalikan badan secara bersamaan.
"Ayah!" Keduanya bergumam lirih. Tetapi tanpa memiliki keberanian untuk mendekat pada Adam, dan menjauh dari Riana.
Mendengar panggilan itu, Adam terkejut dengan sangat. Matanya memerah dipenuhi rasa haru, sementara napasnya tersengal seakan ia tak percaya.
Rupanya, sebelum dia datang dan mengenalkan diri, Riana telah lebih dulu memberitahu tentang dirinya pada anak-anaknya itu.
Ya, semuanya sebab Riana tahu dari dokter Shen, bahwa Adam telah menyelidiki tentang dirinya dan anak-anaknya. Dan Riana tak mau kedua anaknya tahu hal itu dari Adam.
Mereka memang harus tahu siapa ayahnya, tetapi bukan dari mulut Adam. Dia sendirilah yang akan mengatakannya pada Ansel dan Celsea.
"Riana, mereka ... mereka benar-benar anak-anakku, bukan?" Usai mengendalikan dirinya, akhirnya Adam mampu berkata.
Sayangnya, tatapan Riana tampak sedingin salju dengan sikap mencemooh. Dan hal itu benar-benar membuat perasaan Adam tidak tenang.
Mata yang dahulu memujanya dengan penuh cinta dan kehangatan, kini menatapnya dengan sarkas nan penuh kebencian.
"Kalau kau ragu, jangan sebut mereka anakmu. Mereka hanya anak-ku seorang. Aku hamil seorang diri, bukan?"
Perkataan Riana seolah menyindir Adam dan menegaskan kepalsuan bahwa Adam sama sekali tak pernah menidurinya.
"Riana, kita perlu bicara berdua. Kita perlu waktu—"
"Tidak dulu, tidak sekarang, kita tidak perlu untuk bicara. Kita tidak saling mengenal," tegas Riana tanpa ragu.
Pun ia tak sedikit pun menyembunyikan hal itu pada kedua anaknya yang masih kecil.
"Ibu ...." Celsea melirihkan rengekannya, ketika Riana hendak membawa tangannya dan Ansel untuk kembali berbalik badan.
Mata kucing anak perempuannya itu benar-benar menyihir Riana. Membuat Riana tak tega untuk melanjutkan langkah.
Tetapi, mereka telah ditinggalakan. Mereka disia-siakan oleh pria sebajingan Adam.
"Celsea ingin memeluk ayah, sekali ini saja. Ibu ... bolehkah?" Sekali lagi, tatapan mata kucing itu membuat Riana tak bisa berkata-kata.
Riana terdiam. Kedua anaknya itu, setiap hari membicarakan tentang ayah. Menyuarakan keinginan mereka memiliki ayah, seperti teman-temannya.
Dan sekarang, tiba kesempatan di mana mereka bertemu dengan ayahnya. Mungkinkah Riana tega untuk tak memberikan kesempatan bagi mereka melampiaskan kerinduan?
Anak-anaknya juga masihlah seorang anak biasa, bukan? Yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua yang utuh?
Riana masih terdiam. Tak ada sebersit kerelaan hatinya membiarkan Celsea mendekat pada Adam sedikit pun.
Akan tetapi, ketika mata berbingkai bulat itu menunduk dan melihat pada Ansel, perasaannya semakin berkecamuk.
Ansel hanya diam dan menatap balik padanya. Tetapi Riana tahu, sebagai seorang anak laki-laki, Ansel-lah yang paling rindu pada sosok seorang ayah. Hingga selama ini, dia sangat dekat dengan dokter Shen.
Sinar mata Ansel seolah menunjukan permohonan yang sangat. Membuat Riana benar-benar tak tega.
Pada akhirnya, Riana hanya bisa mengangguk setengah tak rela.
Melihat hal itu, Adam langsung bergegas berlutut. Bersiap merentangkan kedua tangannya untuk memeluk kedua anaknya.
Pun Ansel dan Celsea yang langsung berlari ke arahnya. Mereka dengan deraian air mata langsung menghabur pada masing-masing bahu Adam.
"Anak-anakku," gumam Adam penuh haru. Air matanya sudah tak lagi dapat ia tahan.
Begitu juga dengan perasaan bersalah dan berdosa yang semakin menghujam hatinya.
"Maafkan ayah, Nak. Maaf ...." katanya penuh permohonan.
Kedua bocah itu hanya menangis tersedu. Tentunya, karena kebahagiaan mereka yang tak lagi terbendung.
Baru saja semalam, Riana menjanjikan pada mereka untuk membawa mereka bertemu Adam kalau ada kesempatan. Dan sekarang mereka mendapat kesempatan itu.
Tetapi nyatanya, kebahagiaan mereka harus segera terenggut, ketika Riana dengan suara dingin memanggil mereka.
"Ansel, Celsea, ayo pulang," kata Riana sangat dingin.
Seperti ibu tiri yang kejam.
Tersentak, Adam melebarkan mata. Melepas pelukan kedua anaknya dan membuat kedua bocah itu turut menoleh pada Riana.
"Ibu ...." Celsea tampak tak terima.
"Riana, kau—"
"Sudah hampir petang. Kita harus segera pulang." Tanpa peduli dengan ucapan Adam, Riana membalikan badan dan menunggu kedua anaknya.
"Ibu ... kami masih merindukan ayah." Kali ini, Ansel yang berbicara.
Anak itu jarang bicara, apalagi mengenai keinginannya. Dia nyaris tak pernah memiliki permintaan. Tetapi kali ini ia mau repot-repot melontarkan suaranya demi keinginan hatinya.
"Terserah kalian. Kalau masih ingin di sini, ibu tinggal," kata Riana tanpa perasaan.
"Riana, jaga egomu! Mereka tidak tahu apapun dan tidak boleh jadi korban emosimu," sela Adam yang pada akhirnya mampu berdiri dan berkata tegas.
"Ibu, sebentar saja." Celsea memohon lagi.
"Tidak, Sayang. Kalian bahkan bisa tinggal bersama Ayah kalau mau," lirih Adam menenangkan kedua anaknya.
"Celsea, Ansel, kita pulang!" Suara Riana terdengar semakin emosi, kala ucapan Adam terlontar.
Pun kedua tangannya yang mengepal kuat. Ingin sekali rasanya ia menampar mulut yang bicara seenaknya itu. Tetapi itu semua tak dilakukannya demi Ansel dan Celsea.
Tinggal bersamanya, katanya? Memangnya dia siapa? Ayah? Ayah yang tidak melakonkan perannya sebagai seorang ayah? Apakah pantas disebut ayah?
"Ibu ... tidak bolehkah sebentar saja?" rengek Celsea lagi.
"Ibu, ibu pernah bilang akan mengabulkan tiga permintaan kami di hari ulang tahun kami. Bolehkan aku mengajukan permintaan itu sekarang?" Kali ini Ansel kembali repot mengeluarkan suaranya.
Ya, ulang tahun mereka tinggal empat hari lagi. Tepat lima tahun setelah hari di mana mereka dilahirkan secara prematur.
"Ibu, permintaanku hanya satu. Aku ingin tinggal bersama ayah dan ibu. Seperti teman-temanku yang lain," sambung Ansel dengan berani.
Kalimat itu semakin membuat Riana tersulut amarah. Seketika itu, dia membawa wajah merah murkanya menatap kedua anaknya.
"Itu tamak namanya. Kalian tidak bisa memiliki kesempatan itu." Riana menegaskan dengan jelas.
"Ayo pulang," ajak Riana lagi dengan emosi.
"Ibu—" Kedua anak itu tampak berkaca-kaca dan memohon.
"Ansel, Celsea, pilih! Kalian ingin tinggal bersama ibu atau ayah? Kalau tinggal bersama ayah, jangan harap ibu akan datang menemui kalian lagi."
Tak mau amarahnya semakin meletup-letup, Riana langsung melangkah pergi.