Prolog (Perjuangan Martha)
"Saya hanya baru mendapat ini sebagai petunjuk, untuk lebih lanjut nanti saya usahakan informasi lebih valid, silahkan dicek… " Seseorang menyerahkan beberapa foto kepada Martha yang sedang bersidekap memangku ke dua tangannya. Martha mengambil satu foto yang menampilkan gambar seseorang sedang membuka pintu mobil sembari matanya melihat ke arah lain.
"Terima kasih, Sanders. Kerjamu hari ini cukup, silahkan jika kamu akan pulang terlebih dulu," ucap Martha mempersilahkan asistennya itu. Sanders pun pamit undur diri, dan menutup pintu ruangan Martha.
Martha-- Seorang wanita yang memiliki nama panjang Samantha, berprofesi sebagai pengacara yang aktif mengambil kasus-kasus tentang kewanitaan, juga seorang pembicara dalam pendukung penggagas kebebasan wanita. Tidak banyak ada yang tahu alasan Martha yang sesungguhnya sangat mencintai kegiatannya tersebut, orang-orang hanya menilai Martha sebagai wanita yang telah sukses menjadi dirinya sendiri, merdeka dalam pilihannya, dan bahagia dengan sesuatu yang tak pernah menggantungkan kepada penerima cinta, dia terlihat tak butuh itu, bahkan cukup sebagai penebar tanpa harus ada balasan.
Marta memandangi wajah yang berada di gambar tersebut, hatinya tiba-tiba geram, sesak, dan sangat kesal sampai tak sadar tangannya mengepal membuat gambar tersebut sedikit lecek. Masih sangat terekam jelas, ketika Marta mendapat pengaduan yang tak diketahui identitasnya meminta bantuan kepada dia.
"Mohon sangat hormat, datangnya surat ini saya ingin meminta bantuan anda untuk penanganan kasus yang selama ini saya curigai, tetapi masih menjadi tanda tanya yang cukup menantang sebab semua gerak-gerik yang berkaitan dengan hal ini sedikit pun tak pernah menandakan adanya kejanggalana. Saya tahu anda dari beberapa media yang memuat tentang profile anda sebagai salah satunya aktivis perempuan. Saya mohon dengan sangat hormat sekali lagi. Untuk itu terima kasih sebelumnya."
Martha ketika menerima email tersebut belum paham apa maksud si pengirim, tetapi ketika beberapa jam Martha melihat pendukung dari isi permohonan tersebut, dia menyimpulkan satu hal, dan tanpa alasan apapun lagi, jiwanya sudah terpanggil. Dia tak membalas pesan emailnya tetapi dia bergegas mencari bukti lain untuk mendukung pendapat si pengirim, salah satunya beberapa hari ini dia menitah Sanders, yang tak lain pegawai yang selama ini mengabdi kepadanya untuk mencari tahu siapa Tander Alfenzo. Dalam penyimpulan hal ini bukan kasus main-main, contoh kasus tentang kekerasan rumah tangga sudah Martha anggap hal wajar dalam menanganinya, dia tak pernah sekalipun tak percaya diri, dia selalu menang dalam menjadikan si pelaku mendekam di penjara.
Tander Alfenzo, Martha bergumam beberapa kali. Sampai ingatannya melayang pada saat di mana dia mengelist salah satu sasaran selanjutnya. Ketika saat itu, nama Tander Alfenzo yang akan diceklis tapi tak jadi, sebab kegiatan lain sudah menunggunya. Padahal untuk mengetahui wajahnya pun, Martha belum tahu. Dia menuliskan namanya, berdasar artikel yang sempat dia baca tetapi hilang lagi dalam beberapa saat sudah menghilang.
"Tander Alfenzo, seorang pembisnis yang sukses. Namun benarkah semua itu berasal dari perdagangan ilegal?" Martha membaca sekilas, bahkan belum sampai selesai tetapi lamannya sudah tak bisa diakses, dengan kecepatan analisisnya yang dimiliki untungnya Martha sudah menuliskan beberapa poin tentang artikel itu. Salah satunya paragraf yang membahas tentang perdagangan wanita.
"Di taekdown ini laman pasti, anda belum berurusan sama saya berarti yaa… " Martha lalu menulis namanya tapi ketika tangannya akan bergerak untuk menceklis, ada suara yang memanggil.
"Permisi Bu, apa ibu sudah siap?" tanyanya.
"Ahh--" Martha menoleh dan menyimpan bolpoin beserta bukunya.
"Saya sudah siap, tunggu lima menitan lagi saya akan menyusul." Sejak saat itu, tepatnya tiga bulan yang lalu Martha melupakan tulisannya dan baru mengingat setelah melihat foto dan nama serta pengaduan.
"Yah saya mengingatnya, tapi kenapa saya pun tak asing dengan wajahnya. Kapan saya bertemu yaaa Tuhan?" tanya Martha pada dirinya. Tidak ambil pusing, dia kemudian membereskan gambar-gambar yang sudah sedikit berserakan itu ke dalam tasnya, lalu siap-siap untuk bergegas pergi. Tepat ketika matahari sudah bergerak ke arah barat setumbak sebelum tenggelam.
***
Sedikit cahaya remang melingkupi ruangan itu, tampak pengap tapi sepertinya sedikit menenangkan, tampak gelap tapi tak sedikit pun menyeramkan, seperti penjara tapi tidak juga. Seseorang sedang menggerakan kursinya, ritme gerakan bahu dia menandakan kegusaran tengah melingkupinya, bahkan terlihat sudah sangat lama, penampilannya cukup berantakan.
Di tangannya dia sedang memegang sebuah gawai yang memperlihatkan sebuah fose seorang perempuan yang tengah duduk sambil menyuapi makanan terhadap anak dengan rentang usia sekitar lima tahunan, serta frame pendukung tapak sebuah tempat pengungsian.
"Apa arti dari semua ini Tuhan? Tidak seperti biasanya," gumam Tander. Yahh, namanya Tander Alfenzo. Dia sedang merenungi semua kehidupannya, dan kenapa perasaan dia seperti tampak berpusat pada seorang wanita itu. Kejadian pengungsian yang tampak tak disengaja itu, sedikit membuka ruang kusut dari jiwanya yang dia biarkan itu.
Untuk harta dia tak perlu lagi mencari untuk mendefinisikan kepuasaannya, untuk wanita dia bebas memilih semalam dengan siapa saja, untuk tahta siapa yang tak kenal dengan Tander Alfenzo ini. Namun, tak pernah diberitahukan kepada siapapun, dalam kesendirian kadang memanjarakan jiwanya, itu membuat diri Tander kadang bertanya-tanya. Kesendirian itu membuatnya rapuh, kesepian itu membuatnya terlihat sangat buruk.
"Sialan… Saya tak boleh selemah ini, Saya tak akan menghancurkan semua reputasi yang telah dibangun." Tander mengakhiri perenunganya selalu dengan kemarahan. Dia menyesal dan kembali seperti biasa lagi. Menjadi sangar dan terlihat arogan tapi kharisma wajahnya bak seorang pangeran pun memancar. Dia sedikit menjambak rambutnya tapi setelah itu merapikannya kembali.
Lain dengan kondisi di mana Martha sedang berkelana dalam pikirannya seperti jalanan yang sedang dia lalui, panjang, tanpa bebatuan, tapi berbelok juga. Pikirannya mengajak berdialog sebentar.
"Apakah benar tak ada tujuan lain dari hidupku selain memanusiakan diri dan manusia yang lain, terlebih wanita… "
"Saya rasa tidak, sampai hari ini saya selalu bahagia dan tak pernah menyesal dengan keputusan yang sudah dilakukan… "
Egonya selalu berhasil menutupi keinginan hati yang semakin hari tampak jauh, suara hati terdalamnya yang terdengar tapi selalu dihiraukan.
"Ibu saya mati dengan naas, saya sudah sendirian sejak lama kenapa tiba-tiba mempertanyakan hal lain."
"Ayah… Apa kabar? Ayah sama ibu pasti sudah bertemu kembali yah, semoga kalian bahagia di sana. Tunggu saya kembali juga."
Diantara bisikan-bisikan dalam dirinya, yang terdengar pastilah seruan tersebut, padahal ada hal lain dalam hatinya yang selalu dia tekan sekuat-kuatnya.
"Apa definisi kebahagiaan untuk wanita yang sejatinya, cinta itu bagaimana rupanya, apakah selama ini saya tak pernah merasakan hal tersebut atau memang telah buta oleh luka-luka yang dirawat sejak lama."
Martha membuang nafasnya gusar, entah keberapa kali dia hampir saja menabrak kendaraan lain yang berada di depan mobilnya.
"Pada nyatanya, saya akan kembali pada fakta. Hidup bukan perihal apa yang saya inginkan, tetapi bagaimana menjalani setiap skenario yang Tuhan gariskan," gumamnya kemudian.
"Tander Alfenzo, itu yang harus kupikirkan sekarang bagaimana agar bisa masuk jejaringnya," tukasnya lagi.
Martha memang seringkali berbicara seorang diri, tanpa suara atau ada. Itu sudah seperti kebiasaannya, keseharian yang sulit dia lepaskan. Martha mengganggap hal itu sebuah kewarasan, dia perlu bercengkrama dari hati ke hati, bukan sekedar nalar logika saja. Dia tak tak punya kawan untuk diajaknya bicara, dia sudah pada titik pemahaman, tak ada yang mengenali dirinya selain jiwanya sendiri.