Sesudah kembali ke tempat persembunyiannya, Udin segera melepaskan perangkatnya yang ia temukan di situ. Lalu perlengkapan yang tadi ia pakai, ia sembunyikan agar tidak ketahuan oleh yang lain. Baru saja ia selesai menyembunyikan perlengkapan yang ia pakai, terdengar suara Pak mandor yang memanggil-manggil namanya.
"Udin!"
"Udin! ke mana kamu?"
Segera terdengar suara Udin, "Pak mandor, saya di sini. Anda bisa menolong saya keluar dari sini?"
Mendengar suara Udin pak mandor pun segera menyusup ke tempat di mana Udin yang tadi menyamar masuk ke dalam tempat tersebut.
"Udin, kamu baik-baik saja?" tanya pak mandor sambil mencoba membantu Udin untuk berdiri.
"Sepertinya kaki aku agak terkilir sedikit." Kata Udin dengan suara yang terdengar sedih.
Mendengar perkataan Udin, si mandor segera berkata, "Sebaiknya kamu pulang saja. Kalau sudah sembuh, baru kamu kembali lagi ke sini."
Udin mengernyitkan dahinya. Lalu katanya lagi, "Aku minta istirahat sejenak saja. Karena aku butuh uang pak mandor. Untuk biaya hidup ibu dan kedua adikku. Karena ayahku baru saja meninggal."
Suara Udin terdengar sangat sedih.
Mendengar itu si pak mandor terlihat iba. Lalu katanya sambil mengeluarkan kantong uang, "Udin, ambillah ini untuk berobat. Dan juga untuk ibu kamu."
Melihat sejumlah uang yang di keluarkan oleh si pak mandor untuk di berikan kepada Udin, anak itu terlihat matanya berbinar-binar.
Salah satu pekerja yang melihat itu segera berkata, "Betul Udin, kamu ambil saja. Kami rela kok! Bukan begitu teman-teman."
Orang-orang yang sedang kerja itu berkata, "Benar Udin. terima saja!"
Tampak tangan Udin terlihat sedikit gemetar untuk menerima uang pemberian Pak mandor. Sedangkan si pak mandor segera menyerahkan uang itu, lalu katanya sambil berkata, "Sudah kamu pulang sekarang. Nanti kalau sudah sehat kamu kembali ke sini lagi."
Udin terlihat menitikkan air mata.
"Pak mandor, dan teman-teman semua. Saya ucapkan banyak terima kasih."
Udin menerima uang tersebut dan berusaha untuk jalan meninggalkan tempat itu, sekali lagi ia terlihat meringis kesakitan.
Melihat Udin masih merasa kesakitan, si pak mandor bertanya, "Apakah kamu mau di bantu di antar pulang?"
Si Udin segera mengangkat tangannya, tanda ia tidak perlu di antar pulang.
"Aku jalan perlahan-lahan saja pak mandor." Kata Udin sambil tersenyum.
"Kalau begitu, kamu hati-hati ya." Ucap pak mandor.
"Udin hati-hati!"
"Iya Udin, hati-hati!"
Seru teman-temannya yang lain.
Udin hanya membalas dengan melambaikan tangan ke arah teman-temannya.
Dalam hatinya ia berkata, "Emang enak Gue bohongi."
Udin terus berjalan keluar dari pintu gerbang proyek pembangunan tersebut.
Begitu ia sudah melewati pintu gerbang proyek tersebut, ia segera mempercepat langkahnya. Takut ada yang mengikutinya. Semakin jauh, semakin cepat langkahnya. Hingga akhirnya ia berlari. Selama berlari ia memutar otak, lalu katanya pelan, "Sebaiknya aku sembunyikan dulu uang ini, barulah aku cari bang Brewok untuk aku ambil kembali kartu emas tersebut."
****
Sementara itu Ari yang sedang menjajakan koran melihat bang Brewok dari kejauhan. Dan ia melihat di tangan bang Brewok ada sebuah benda.
"Kira-kira, benda apa itu?" tanya Ari dalam hatinya.
Tambahnya lagi, "Aku harus dapat melihat dengan jelas benda apa itu."
Tampak Ari perlahan-lahan mendekati bang Brewok. Ternyata ia sedang berbincang-bincang dengan seseorang.
Ari jadi tertegun sendiri ketika mendengar cerita orang yang sedang berbincang-bincang dengan bang Brewok.
"Brewok, kamu dapat dari mana kartu ini?" tanya orang itu dengan nada yang terdengar sedikit mendesak.
Dengan santainya bang Brewok berkata, "Aku nemu di jalan. Memangnya kenapa sih. Dari tadi kamu meragukan aku. Kamu pikir, aku mencuri dari seseorang?!"
"Bukan begitu Brewok. Beberapa hari yang lalu si Udin mencoba menjual ke saya. Dan saya tolak. Kini kamu mengajak aku ke luar, yang ternyata sama dengan Udin, yaitu untuk menjual kartu ini kepadaku." Kata orang yang sedang berbincang-bincang dengan bang Brewok.
"Sesungguhnya, kamu berniat membeli dari aku, atau tidak?" tanya si Brewok kepada orang yang sedang berbicara dengannya.
"Aku harus memberitahu kamu dulu tentang kartu emas." Kata orang itu dengan wajah serius.
Merasa penasaran juga, akhirnya bang Brewok berkata, "Hayo, ceritakan kepadaku. Agar aku tidak penasaran!" perintahnya kepada orang itu.
Orang itu tiba-tiba saja menoleh ke belakang sejenak. Tetapi tidak ada siapa-siapa. Kemudian orang itu berkata, "Kartu ini adalah lempengan emas yang di pakai oleh salah satu keluarga terkaya di dunia untuk melakukan transaksi. Saat itu satu kartu emas ini di nilai dengan harga seratus ribu dolar."
"Dolar apa?" tanya si Brewok penasaran.
"Dolar Amerika. Dan banyak orang yang hendak mencuri lempengan ini. seperti yang kamu lakukan." Kata orang itu sambil tersenyum.
"Enak saja. Kamu tidak berhak menuduhku sebagai pencuri." Kata si Brewok dengan wajah yang terlihat memerah. Tetapi orang itu diam saja.
Kemudian ia berkata lagi, "Kenapa banyak orang yang hendak mencurinya?"
"Iya, nilainya lebih tinggi di jual di toko emas dari pada di gunakan sebagai transaksi jual beli." Kata si Brewok.
"Tepat sekali, kalau aku hendak membelinya, kartu ini aku hargai dengan harga cukup tinggi. Sekitar seratus juta rupiah." Ucap orang itu sambil tersenyum, dan matanya memperhatikan perubahan di wajah si Brewok.
Si Brewok segera memegang kartu emas itu seraya berkata, "Aku jual ke Anda setengahnya saja. Jika Anda mau silakan ambil. Jika tidak, tolong segera kembalikan kembali ke saya."
Orang itu, berkata lagi, "Apakah kamu mau tahu, kisah yang sesungguhnya dari kartu emas ini?"
Brewok segera menarik kartu emas itu dari tangan orang tersebut sambil berkata, "Maaf! Aku, tidak perlu tahu hal itu, aku hanya perlu tahu siapa saja yang berani membayar kartu ini dengan harga tinggi." Sesudah berkata demikian, si Brewok meninggalkan orang itu.
Sebelum jauh si Brewok mendengar teriakan orang itu, "Berhati-hatilah dengan kartu itu!"
Sesudah agak jauh, Ari yang mendengarnya merasa penasaran. Lalu ia mendekati orang itu, seraya bertanya, "Memangnya ada apa jika memiliki kartu emas tersebut?"
Orang itu memperhatikan Ari, lalu ia malah balik bertanya, "Apakah koranmu hari ini sudah laku semua?"
Sambil tersenyum Ari berkata, "Puji Tuhan, masih ada tiga lagi."
Mendengar Ari berkata demikian orang itu memujinya dengan berkata, "Bagus, dalam kondisi apa pun kita harus mengucapkan syukur. Boleh kasih saya satu."
Dengan perasaan gembira Ari pun segera memberikan sisa koran yang masih ada kepada orang itu, dan orang itu memberikan uang dua puluh ribuan.
Melihat uang itu, Ari berkata, "Maaf tuan. Saya tidak punya kembalian. Uang kecilnya kurang untuk kembalian." Sesudah berkata demikian, Ari pun mengembalikan uang dua puluh ribu itu kepada orang itu.