Sementara itu Udin yang sudah berada di rumahnya tidak berani keluar kamar. Walaupun sudah di panggil-panggil oleh ibunya.
Anak itu akhirnya tertidur juga. Dalam tidurnya seperti biasa ia terbawa terbang melayang. Lalu tahu-tahu tubuhnya jatuh ke sebuah tempat.
"Tempat apa ini?" tanyanya dalam hati. Begitu ia berdiri di dalam gelap. Tak lama kemudian terdengar suara burung hantu.
Suaranya membuat tubuh Udin merinding sendiri. Ia melihat kesana kemari, tetapi karena terlalu gelap ia tidak dapat melihat apa-apa. Tak lama kemudian ia merasakan ada sesuatu yang mengenai tubuhnya.
Mula-mula tidak terasa sakit, tetapi lama kelamaan membuat Udin berteriak sekuat tenaga karena kesakitan.
"Apa-apaan sih ini!" teriaknya dengan suara keras.
Suaranya terdengar menggema dan berbalik lagi ke telingganya sendiri.
Sekali lagi Udin mencoba berteriak, tetapi kali ini tidak menggema seperti tadi. Tapi tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah bunyi suara burung hantu saja.
Saking kesalnya Udin pun berteriak lagi, "Burung hantu, diamlah! Atau kalau kau tahu tempat apa ini, tolong segera beritahu kepadaku."
Baru saja Udin selesai berteriak, sekali lagi ia merasakan sebuah benda yang di timpukkan kepadanya. Kali ini terasa lebih sakit lagi dari yang terakhir, dan membuat tubuhnya jatuh terjerembab. Begitu tubuhnya jatuh, tangannya memegang sesuatu.
"Apa ini?!"gumamnya sambil meraba benda tersebut, karena ia masih tidak dapat melihat dengan jelas. Hanya samar-samar saja. Tiba-tiba dari bawah situ terdengar suara, "Ini rumahku. Sedang apa kau di situ."
"Rumah?!" gumam Udin dengan perasaan heran dan penuh tanda tanya. Ketika masih merasa penasaran, Udin merasakan tanah yang ia pijak bergetar hebat. Lalu ia pun meluncur ke bawah dari tanah yang bergetar itu, dan membuatnya kembali berteriak dengan sekuat tenaga, "Tolong!"
Tahu-tahu ia merasakan kepalanya sakit. Ia pun segera membuka matanya dan ternyata ia sudah berada di lantai kamarnya.
"Berarti aku baru saja jatuh dari atas tempat tidurku sendiri." Umpatnya sambil memukul ubin lantai tersebut, sedangkan tangan yang lain mengelus-elus kepalanya yang sakit. Sesudah berbuat demikian Udin segera membuka pintu kamar, karena ia merasa saat itu sangat lapar sekali.
Bocah itu berjalan menuju ke ruang makan, setibanya di ruang makan, ia terlihat merasa sedikit kecewa.
"Ya! Makanannya sudah tidak ada. Sudah habis." Selesai berkata demikian ia bergegas keluar. Rencananya untuk mencari warung makan.
Sambil berjalan mencari warung makan, ia terus memegang perutnya sendiri dan tiba-tiba ia teringat akan janjinya dengan si pak mandor. Agar si pak mandor memberikan sesaji kepada penunggu di tempat proyek tersebut, "Sedangkan yang jadi penunggu itukan aku." Ucapnya sambil segera berlari menuju ke proyek tempat ia bekerja dan sekaligus menjadi penunggu.
Baru setengah jalan ia berlari tampak ia berhenti sejenak. Karena ia melihat sebuah warung nasi yang masih buka. Udin pun memindahkan langkahnya menuju warung nasi tersebut.
Begitu ia masuk ia segera memesan makanan dan makan dengan tergesa-gesa. Seperti orang yang tidak makan selama tiga hari.
Orang yang melayani di warung nasi itu hanya geleng kepala saja ketika melihat cara Udin makan seperti itu.
Selesai makan ia pun segera keluar dari tempat tersebut dan berjalan cepat-cepat menuju ke tempat ia bekerja. Dan sepertinya telinganya tertutup, tidak mendengar teriakan para pegawai warung nasi yang meneriakinya.
Kenapa Udin di teriaki seperti itu?
Karena dia belum bayar dan main tinggal saja tanpa ada rasa bersalah.
Tampak Udin terus mempercepat langkahnya, seperti ia makan dengan tergesa-gesa. Hingga ia tiba di depan pintu gerbang proyek tempat ia bekerja.
Setibanya di depan pintu gerbang proyek tersebut, "Ternyata gelap sekali ya. Tidak ada penerang sama sekali." Gumamnya pelan.
Udin dia sejenak. Ia terlihat ragu untuk masuk ke proyek yang gelap itu, karena ia teringat kembali akan kejadian yang baru saja menimpanya. Yaitu mimpi yang ia dapatkan sebelum ia datang kesitu. Tetapi kata hatinya menyuruh ia untuk tetap masuk.
"Ingat Udin! Kamu sudah minta persembahan. Jangan kamu sia-siakan begitu saja. Ini kesempatanmu. Kapan lagi kamu mendapatkan rezeki nomplok. Hayo masuk saja!"
Pada akhirnya Udin membuat keputusan untuk melangkahkan kakinya ke dalam proyek tersebut, karena dia mengincar persembahan yang telah ia minta kepada si kepala proyek berupa Segepok uang lima puluh ribuan, semen lima sax dan batu bata tiga gerobak. Serta seporsi ayam panggang dan juga sapi panggang.
Udin pun dengan mantap melangkahkan kakinya ke dalam. Baru saja beberapa langkah, ia sudah mencium aroma daging bakar. Aroma daging bakar itu, membangkitkan kembali selera makannya. Sambil berjalan, ia sudah membayangkan daging bakar tersebut hingga ia lupa sedang berjalan dalam gelap. Langkah kakinya pun menendang sesuatu, dan ia menjerit kesakitan.
Ketika ia sadar kalau berada di dalam proyek, ia pun lekas menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya. Sambil memperhatikan di sekitarnya, ia pun terlihat tidak berani bergerak sama sekali. Udin menunggu sesaat lagi, untuk memastikan kalau di tempat itu sepi. Tidak ada siapa-siapa.
Setelah yakin tidak ada siapa-siapa di tempat itu, barulah ia berani melangkahkan kakinya lagi menuju ke tempat yang telah ia tetapkan di mana si pak mandor meletakan sesajen.
Setibanya di depan tempat sesajen, Udin terlihat matanya berbinar-binar karena senangnya.
"Ternyata pak mandor memenuhi semua permintaanku." Ucap Udin sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil sepotong daging yang tersedia di situ bersama dengan permintaannya yang lain.
Belum sampai tangan itu menyentuh daging sapi tersebut, tiba-tiba Udin merasakan ada yang menyambitnya.
"Siapa itu!" teriaknya dengan kesal.
Dan jawabannya pun membuatnya semakin terkejut. "Saya penunggu di sini."
Udin pun memberanikan diri, "Tidak mungkin kau penunggu di sini."
Kemudian terdengar suara lagi, "Sepetinya kamu tidak percaya apa yang baru saja saya katankan." Bersamaan dengan itu Udin merasakan ada yang menimpukinya dengan batu.
Udin merasakan kesakitan.
Sekali lagi Udin berteriak, "Jika kamu penunggu di sini, tolong perlihatkan dirimu!" lalu terdengar suara tertawa. Suara tawanya membuat merinding seluruh badan bagi yang mendengarnya. Tapi di situ tidak ada siapa-siapa lagi kecuali Udin sendirian. Ia pun terlihat mulai merinding sendiri.
Tak lama kemudian dengar suara bunyi burung hantu.
Mendengar suara burung hantu itu, membuat Udin teringat akan mimpinya. Kemudian ia bergegas mengambil semua yang telah di siapkan oleh pak mandor sebagai sesajen di tempat proyek tersebut dengan menggunakan kantong semen bekas yang tercecer di tempat tersebut.
Pada saat si Udin sedang memasukkan semua barang persembahan itu, kembali terdengar suara lagi, "Jangan di ambil semuanya. Sisakan sedikit buat kami makan."
Udin pun menyisahkan separoh daging sapi yang telah di panggang itu, tetapi selain itu semuanya tidak ada yan tersisa satu pun.